webnovel

#063: Kosa Kata Baru

"Jadi gimana? Mau ke sana sekarang?" tanya Endra pada Sarah.

Beberapa saat sebelumnya, setelah keduanya selesai sarapan, Endra mulai bercerita banyak hal pada Sarah. Keduanya duduk saling berhadapan di atas ranjang. Awalnya karena Sarah sendiri yang meminta Endra untuk bercerita mengenai kampung halamannya ini. Yang langsung disambut antusias oleh Endra. Dan segera menceritakannya tanpa banyak pikir.

Semua kesedihan yang beberapa saat sebelumnya mengungkung mereka, kini sudah lenyap digantikan oleh perasaan lega. Sarah merasa lega karena Endra bersikeras menahannya dan menyuruhnya untuk tetap tinggal di sisinya meskipun ada banyak konsikuensi yang menunggunya nanti. Sementara Endra merasa lega karena Sarah tidak jadi pergi dan menetap bersamanya.

"Dari dulu ... aku udah biasa bantu Ibu di kebun teh. Sebenarnya, karena usaha keluargaku memang begini, jadi aku nggak punya pilihan lain selain membantunya," kata Endra saat itu, memulai ceritanya.

Ekspresi wajah Sarah yang biasanya muram dan penuh dengan tatapan kosong, kali ini tampak antusias mendengarkan. Meskipun ekspresi wajahnya kali ini masih belum sepenuhnya pulih, tapi melihat sorot matanya yang menantikan cerita dari Endra membuat Endra semakin bersemangat untuk menceritakannya.

"Biasanya Ibu akan pergi ke kebun teh setelah jam delapan, sampai agak siangan sebelum akhirnya pulang ke sini untuk menyiapkan makan siang." Endra memberikan jeda sebentar pada ceritanya. "Sementara Ayah, dia bertugas mengawasi persediaan teh yang akan dikirim ke pabrik yang bekerja sama dengan kebun teh keluargaku dengan teh yang akan dijajakan untuk langganan kami."

Untuk pertama kalinya sejak Endra membawa Sarah ke rumah orang tuanya ini, baru kali inilah Sarah bersedia mendengarkan cerita. Sudah lewat dari seminggu Sarah hanya terdiam murung dengan tatapan kosong, dan helaan napas berat yang membuat siapapun yang melihatnya akan bersedih hati.

Jadi kali ini, Endra seolah sedang diberi satu kesempatan langka untuk memberikan kebahagiaan baru pada Sarah terlepas dari masalah Sarah yang sebenarnya masih belum menemukan jalan keluar. Setidaknya, Sarah tidak perlu terus terjebak dalam penderitaan itu sepanjang waktu.

"Kalau nggak salah, semenjak aku lulus kuliah, aku jadi sering mengurusi perkebunan teh jauh lebih sering dari sebelumnya. Yah, mungkin karena nggak ada kegiatan lain, dan memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai anak pertama, jadi aku berusaha untuk tetap menjalankan bisnis teh yang dijalankan keluargaku ini." Endra menceritakannya dengan ekspresi wajah yang canggung. Seolah-olah Endra sedang mempresentasikan dirinya yang sangat tidak bisa diandalkan.

"Dari yang aku lihat sih, sepertinya memang bisnis teh yang dijalankan keluarga kamu bukanlah bisnis kecil. Jadi pantas aja kalau kamu diminta untuk lebih bertanggung jawab. Toh, nantinya juga bisnis orang tua kamu akan diturunkan ke kamu kan?" Tanpa diduga, rupanya Sarah benar-benar mendengarkan cerita Endra dengan serius. Endra saja sampai dibuat kaget mendengar komentar Sarah barusan.

"Yah, kalau kamu bilang begitu sih, aku malah jadi malu." Endra tiba-tiba saja tersenyum canggung. "Sebenernya ... dibanding bertanggung jawab dengan bisnis yang dijalankan orang tuaku, aku lebih pantas disebut sebagai pekerja kasarnya."

Sarah menatap Endra tak mengerti, bahkan sampai harus memiringkan kepalanya sekian derajat. Ekspresi bingungnya terlihat jelas di wajah Sarah.

"Karena seringnya Ibu pergi ke kebun jam delapan, aku biasanya sudah ada di sana saat matahari baru akan terbit. Habisnya, para pekerja juga sudah berkumpul sebelum jam enam kan. Jadi, ya ... bagaimana yah bilangnya. Bisa dibilang ... kalau aku sama aja seperti pekerja yang lainnya. Aku juga ikut memetik teh bersama mereka." Endra tertawa canggung, menyadari betapa jauhnya tanggung jawab yang biasa Endra emban dengan tanggung jawab yang Sarah emban.

Levelnya sudah seperti bumi dan langit. Endra hanya bisa mengerjakan hal-hal remeh yang bisa dikerjakan semua orang. Sementara Sarah sudah bertanggung jawab atas beberapa toko fashion yang memiliki cabang di beberapa tempat. Belum lagi, Sarah harus mengomandoi pegawainya secara langsung. Mengambil keputusan penting untuk kelangsungan bisnisnya. Dan melakukan banyak pekerjaan penting lainnya yang rasanya sangat jauh dari kemampuan Endra sebagai manusia biasa.

"Sebenernya ... bukan cuma di kantor kamu aja, tapi dari dulu aku juga emang pantesnya jadi pesuruh sih." Endra memaksakan tawa. Dia tidak tahu kenapa malah menertawakan ketidakbergunaannya itu. Habisnya Endra merasa, memang tidak ada pekerjaan penting yang pernah dilakukannya selain hal-hal remeh yang biasa dikerjakan semua orang.

Mendengar itu, Sarah sedikit tersentak, tapi di detik berikutnya tersenyum tipis. Sepertinya memang itu sudah jadi ciri khas Endra sekali kan?

"Jadi, setelah memetik teh bersama yang lainnya, apa yang biasa kamu lakukan lagi?" tanya Sarah kemudian, lebih mirip seperti wawancara. Dia penasaran dengan keseharian apa yang biasanya Endra jalankan di kampung halamannya ini.

Endra tidak langsung menjawab, dia menatap Sarah yang berjarak satu meter dari tempatnya duduk, lantas tersenyum.

"Eh, ada apa? Kenapa kamu malah senyum-senyum gitu?" Sarah tiba-tiba merasa canggung.

"Enggak, aku cuma ngerasa seneng aja ngelihat sisi lembut kamu sekarang," balas Endra masih menyisakan sedikit senyuman.

Sarah mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Biasanya kan nada suara kamu itu selalu tegas, jadi ... saat tiba-tiba kamu berbicara normal gini, aku jadi ngerasa--"

"Jadi kamu lebih suka cara bicaraku yang biasanya, hah?" Sarah langsung memotong kalimat Endra sembari menyedekapkan tangannya dengan raut kesal. Nada tegasnya secara ajaib langsung muncul begitu saja.

Endra buru-buru menggerak-gerakkan tangannya ke depan. "Nggak, aku sama sekali nggak suka. Aku malah seneng banget sama cara bicara kamu sekarang. Kamu jadi lebih pantes buat dijuluki bidadari."

Sarah menarik wajahnya dengan tatapan heran. "Ah iya, gara-gara kamu ngomong gitu, aku jadi inget. Dulu kamu juga pernah manggil aku dengan sebutan itu kan?" tanya Sarah.

Endra tertawa. Dia menggaruk kepalanya demi menyembunyikan perasaan gugupnya. "Sebenernya ... saat pertama kali aku ngelihat kamu dulu, aku bener-bener ngira kalau kamu itu bidadari yang turun dari surga."

"Jangan bodoh!" bantah Sarah merasa sedang dipermainkan.

"Eh, bener kok. Aku malah langsung jatuh cinta sama kamu sejak pandangan pertama itu. Yah, walaupun akhirnya aku merasa kecewa saat tahu sifat asli kamu sih."

Mendengar itu, Sarah tiba-tiba saja mengarahkan pandangannya ke bawah. Wajahnya juga seketika langsung berubah murung.

"Ah, maaf, soal itu nggak usah dipikirin. Aku juga tahu sifat asli kamu jauh lebih baik dari itu kok." Endra langsung meralat ucapannya.

Sebenarnya bukan itu yang sedang Sarah pikirkan. Tapi ucapan Endra tadi saat mengatakan jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama. Sarah tidak mungkin mengabaikannya. Dia sangat sadar, terlepas dari sikap baik Endra padanya, ada alasan lain yang bisa Sarah simpulkan. Yakni perasaan Endra terhadapnya. Ya, Sarah tahu Endra mencintainya. Tapi bagi Sarah, jatuh cinta itu hampir tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya. Itu semacam kosa kata baru yang sama sekali tidak pernah membuatnya tertarik.

Karena bukankah selama ini Sarah selalu memiliki dendam terhadap laki-laki gara-gara masa lalu kelamnya? Jadi, dengan alasan itu saja sudah cukup bagi Sarah untuk tidak pernah berhubungan baik dengan laki-laki, apalagi sampai jatuh cinta.

Next chapter