Sarah terdiam. Dia memang mengakui kemarin dirinya tidak bisa ingat apa-apa sejak turun dari mobil. Dan tahu-tahu dia sudah tidur dengan nyaman di atas kasurnya sendiri. Ditambah dia juga melihat Endra menjaganya sampai harus tertidur di kursi. Jadi, besar kemungkinan Sarah memang sudah sangat merepotkan Endra kemarin. Tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk mengucapkan terima kasih pada Endra. Ditambah lagi, Sarah juga sudah melukai hidung Endra sampai meninggalkan memar, tentu saja harga dirinya juga terlalu tinggi untuk mengatakan maaf secara tulus.
"Aku pergi ya," Endra sudah berhasil meraih gagang pintu, karena ternyata Sarah tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Kalau gue belum nyuruh lo pergi, jangan pergi dulu!" semprot Sarah tiba-tiba, kesal.
"Emang ada apa lagi sih?" Endra kembali menatap Sarah, bingung.
Sarah tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Tapi sebenarnya, sejak kejadian kemarin Sarah terus saja memikirkannya. Tapi dia tidak bisa menampakkannya di depan Endra. Entah bagaimana, sejak Endra mengatakan kalau dia akan melindunginya, Sarah merasa aman saat bersama Endra. Dan apa yang dilihatnya saat di basement perusahaan JK, benar-benar membuatnya tidak bisa tenang. Keberadaan Endra di sekitarnya entah bagaimana sedikit banyak membantunya merasa aman. Tapi, Sarah tidak tahu cara mengungkapkannya tanpa harus menanggalkan keangkuhan yang terlanjur melekat pada dirinya itu.
"Karna kemaren lo udah jagain gue, jadi sebagai bentuk terima kasih, gue ijinin lo make sofa gue buat tidur." Sarah enggan menatap Endra saat mengatakan itu. Matanya memandang ke arah lain.
Endra tentu saja dibuat kaget. Memang sih di ruangan ini ada sofa penerima tamu, tapi ... apa ini benar-benar si sadis Sarah yang selama ini Endra kenal?
"Nggak perlu, lagian nggak enak juga kalau aku tidur di sini, sementara kamunya kerja," tolak Endra langsung.
"Udah sih nggak usah protes. Gue udah berusaha bersikap baik sama lo yah." Sarah langsung berkacak pinggang menatap Endra kesal. Sikap baik yang sudah susah payah ditunjukkannya justru harus mengalami penolakan. Tentu saja Sarah tidak akan bisa menerimanya. "Lagian, gue nggak mau kalau sampai nanti gue butuh bantuan lo, gue mesti repot nelpon Asti segala buat bangunin lo. Mending lo di sini sekalian kan, jadi biar kalau gue butuh apa-apa gue bisa langsung tendang lo biar bangun."
Endra menatap Sarah curiga. Sarah sampai harus bicara panjang lebar hanya untuk memintanya tidur di sini, dan lagi ... arah tatapan Sarah saat mengatakan kalimat tadi terasa aneh. Apa jangan-jangan ... Sarah masih teringat kejadian kemarin saat ada di basement, dan dia takut kalau sampai Endra tidak ada dalam jangkauannya.
Ah, bodohnya, kenapa Endra tidak peka sih. Mengenal bagaimana sifat Sarah, akan sangat tidak mungkin perempuan itu jujur pada perasaannya sendiri. Jadi sudah pasti ucapan tadi hanyalah pengalihan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya Sarah inginkan. Yakni, meminta Endra untuk tetap berada di dekatnya. Mungkin saja ketakutan Sarah waktu itu masih mengganggunya hingga sekarang kan.
"Oke, oke, aku bakal tidur di sini. Kamu silakan kembali ke meja kamu," kata Endra akhirnya. Dia baru menyadari maksud tersembunyi perkataan Sarah yang menyuruhnya untuk tidur di sini.
"Tapi jangan ada suara apa pun, gue mau tetep tenang," peringat Sarah setengah mengancam.
"Iya, Bu Sarah yang cerewet," balas Endra acuh tak acuh.
Tadinya Sarah sudah berniat untuk berbalik menuju mejanya, tapi mendengar Endra berkata begitu, tatapan Sarah langsung kembali tertuju pada Endra.
"Apa tadi lo bilang?"
"Nggak kok, aku cuma mau tidur aja," balas Endra santai. Endra sudah berjalan menuju sofa. Badannya masih terasa pegal dan matanya benar-benar sulit diajak kompromi.
"Ah gue inget sekarang. Dulu lo pernah manggil gue apa? Estri?" Sarah masih menuntut Endra bicara.
Sementara Endra sudah melepas sepatunya agar bisa leluasa untuk meluruskan kakinya. Untungnya sofa ini cukup panjang sehingga membuatnya bisa tidur dengan nyaman.
"Heh, lo belum jawab pertanyaan gue ya!" semprot Sarah karena merasa Endra mengabaikannya.
"Si sadis Sarah, itu emang nama yang cocok buat kamu. Udah ya, aku mau tidur," Endra benar-benar seenaknya sendiri sekarang.
Sarah tadinya masih ingin mengomeli Endra lagi, tapi melihat Endra sudah dalam posisi telentang dan langsung menutup matanya, keinginan Sarah untuk mengomel harus ditahannya kuat-kuat.
Sarah lantas kembali ke meja kerjanya. Dia berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, meski tak lama kemudian, ingatan tentang ucapan Endra tadi pagi kembali muncul.
"Kamu tau, saat kamu mimpi buruk semalem, aku benar-benar khawatir. Sampe aku nggak sadar megang tangan kamu, dan kamu tau reaksinya apa? Mimpi buruk kamu itu menghilang."
Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Itu jelas tidak mungkin.
Sarah akhirnya melihat tangannya sendiri, seolah berusaha mengingat apa yang Endra ucapkan itu. Seharusnya tubuhnya menolak sentuhan apapun yang diberikan laki-laki. Tapi ... saat semalam Sarah terbangun, dia memang dibuat terkejut saat tangannya menggenggam tangan Endra. Dan itu bukan mengada-ada, karena Sarah sendiri yang mengalaminya.
Selama ini, Sarah tidak pernah membiarkan dirinya disentuh oleh laki-laki manapun. Beberapa kali memang Sarah berusaha menekan phobia-nya saat diharuskan untuk berjabat tangan dengan laki-laki. Tapi itu juga tidak sering. Hanya laki-laki tertentu saja yang dibiarkannya bersentuhan dengan tangannya. Yang jelas, Sarah selalu yakin kalau laki-laki yang dia jabat tangannya adalah laki-laki yang membuatnya tidak merasa terancam. Contohnya saja, ayah Endra. Sarah dulu juga pernah mencium tangan ayah Endra sebagai bentuk penghormatan, dan reaksi yang didapatkannya juga masih bisa dia tahan.
Meski Sarah tidak akan pernah mengungkapkannya langsung pada Endra, tapi harus Sarah akui, Endra juga termasuk ke dalam laki-laki itu. Sarah ingat sekali saat acara resepsi di kampung halamannya Endra, bahkan saat itu dia sampai diharuskan mencium pipi Endra segala gara-gara sorakan dari ibu-ibu di sana. Saat itu, meski tubuhnya bergetar, tapi setidaknya masih bisa dia tahan. Tidak sampai jatuh pingsan segala.
Berbeda dengan situasi saat tubuhnya merasa terancam, seperti bertabrakan secara tiba-tiba, seperti kejadian dulu saat Sarah akan membayar di kasir, Sarah bahkan sampai jatuh pingsan selama beberapa jam. Atau saat seseorang secara paksa menyentuhnya, seperti yang Endra lakukan dulu, saat akan merebut ponsel milik Endra sendiri. Reaksi yang didapatkan tubuhnya akan sangat berbeda dibanding saat Sarah tidak merasakan adanya ancaman apapun.
Baiklah, saat ini Sarah akan memastikannya langsung. Dia tidak ingin menduga-duga saja, dia harus memastikannya sendiri.
Setelah yakin Endra sudah jatuh tertidur, Sarah bangun dari kursinya dan mengitari meja untuk menuju sofa. Meskipun separuh dirinya berteriak keras akan tindakan yang mau dilakukannya ini, tapi separuh dirinya yang lain justru bersorak untuk segera mewujudkan tindakannya.