Cling!
Harum parfum Citrus menguar secara tiba-tiba, membuat aku yang sudah kehilangan mood semakin enggan mencari pemiliknya. Tetapi, seseorang terasa duduk di sebelahku. Hangat tubuhnya membuat jantung seperti habis lari marathon.
"Nggak usah ngadu kenapa, kalau habis ketemu calon pangeran!"
Ia bicara, mengomel entah ditujukan kepada siapa. Aku tetap bergeming, pura-pura tidak peduli karena masih sakit hati.
"Ditolong tu bilang terima kasih, bukannya jelek-jelekin aku hantu!" Lanjutnya.
Tunggu, suara itu ....
Aku seketika menoleh, mendapati seorang laki-laki super tampan berpakaian serba emas. Tatapan matanya lurus ke arah jalan setapak di depan rumah, wajahnya datar seperti kalimat-kalimat yang baru saja terucap. Pikiran dan kesadaranku bekerja bersamaan, menghubungkan mimpi, misi penyelamatan serta cerita yang dianggap angin lalu.
Menggeser duduk, perasaan takut berkecamuk hebat sekarang.
"Kenapa takut? Aku ini manusia beneran sepertimu. Bukan kaleng-kaleng!" lanjutmya copy paste kalimat sebelum tersenyum sinis.
"Aku juga sudah mendengar cerita kamu tadi, Tenang saja, nggak bakalan marah, kok!
Cuma ... kasihan sekali, cerita gadis cantik cuma dianggap angin lewat!" Ia terus saja meledek meski tanpa respon. Persis penyiar radio membaca SMS.
Kenapa bisa serba tahu? Manusia jenis apa yang kuhadapi sekarang?
"Manusia purba!" tandasnya. Benar, pikiranku adalah buku terbuka yang bisa dibaca sambil lewat.
Sebelum ia kembali menebak pikiran, kuberanikan duri bertanya.
"Kamu, kenapa ... kenapa dari tadi seolah tahu pikiran aku?"
"Bukan seolah, aku memang serba tahu!"
Skak mat sudah.
"Kamu manusia dari jenis apa?"
Laki-laki berpakaian serba emas itu langsung menatap tajam, wajah tampannya merah padam seperti akan tersulut api unggun.
"Sembarangan tanya jenis! Memangnya ketampanan sepertiku mirip ayam pasar?"
Nah, impas. Begitu rasanya kena ledek, Tuan Prajurit!
"Terus apa?"
"Dengarkan, Naya. Aku ini prajurit berpangkat paling tinggi, yaitu pengawal raja. Tugasku melindungi, menjaga keselamatan, serta mengikuti dengan setia ke mana saja Sang Prabu pergi. Mengerti?"
Mirip pembacaan teks proklamasi pas upacara kenegaraan, ya? Sa-ngat.
"Kamu tahu namaku?" tanyaku keheranan. Padahal aku saja tidak pernah tahu namanya.
"Aku serba tahu!" balasnya dingin.
"Kamu pengawal raja di era be--"
"Nay, sarapan!"
Pertanyaanku langsung terputus oleh teriakan Bi Siti, yang entah sejak kapan sudah berdiri di tengah pintu, mengamati. Segera mengiyakan, aku buru-buru meninggalkan laki-laki aneh yang katanya dari zaman purba, dan emak jomblo ahli kepo satu desa.
°°°°
"Bicara sama siapa tadi di teras?" Bi Siti mengikuti langkahku ke dapur, langsung kepo.
Aku seketika berhenti di tempat, kebingungan harus menjawab apa. Ingin mencoba biasa saja tetap gagal, kalau berterus terang pasti dikira gila dadakan.
Cling!
"Bilang, kamu lagi hafalan puisi, Naya!"
Sesemakhluk pengawal raja itu datang di waktu yang tepat, memberi jawaban cepat saji.
Aku yang sudah diberi bocoran ide, hanya bisa senyum-senyum menutupi gugup. Apa benar Bibi tidak melihatnya?
"Cepet jawab, Naya!" titah makhluk tampan itu.
"Eh, itu, Bi. Lagi hafalin puisi. Buat pembukaan manggung di alun-alun nanti malam!"
"Oh, Bibi kira kesambet hantu mimpi!"
Bi Siti kemudian berlalu membuka pintu belakang, menyisakan perasaan lega aku terbebas dari kekepoan wartawan desa. Tapi, tidak dengan sosok tampan di sebelahku, ia menggerutu habis-habisan karena lagi dan lagi dikatakan hantu.
Dasar aneh!
"Terima kasih sudah membantuku," ucapku setelah menyelesaikan dua suap sarapan.
Makhluk tampan itu mengangguk, mengucapkan satu kalimat sebelum menghilang. "Jangan bercerita tentang pertemuan kita lagi, karena hanya kamu yang bisa melihat aku!"
Plas!
Ia lenyap sebelum aku menjawab satu patah kata atau mengangguk. Meninggalkan wangi parfum Citrus seperti kedatangannya tadi. Padahal aku masih ingin tahu tentang dia.
Katanya, yang bisa melihatnya cuma aku? Terus, terbuat dari apa ia bisa muncul dan menghilang tanpa bisa dilihat orang?
°°°°
"Naya ambil parfum, terus berangkat, Bi," ucapku sekaligus pamit.
Sebagai penyanyi solo yang kali ini sengaja enggan menginap di hotel, aku membutuhkan persiapan lebih hendak berangkat ke kota. Jangan sampai terlambat sampai alun-alun nanti malam.
Lagipula, di rumah juga suntuk. Wajah laki-laki aneh tadi pagi yang terus terbayang merusak fokus. Kan, lebih baik berada di keramaian kalau caranya begini.
"Yakin mau berangkat jam lima? Bepergian jelang magrib itu pamali, Naya!" Bi Siti mengingatkan, tentu perbedaan situasi kota besar dan desa.
Aku hanya tersenyum canggung. "Bagaimana lagi, Bi. Waktunya mepet."
Meski terlihat berat hati, tapi Bi Siti tidak bisa menghalangi langkahku. Membuka pintu kamar, mematut diri sekali lagi di depan cermin dengan tas tangan baru. Begitu semua pas, aku segera meraih botol parfum berwarna ungu muda dari nakas.
Cling!
"Masih nekat pergi sendirian?"
Astaga!
Parfum lepas dari genggaman, membentur lantai hingga menyatu cairan wangi dan serakan kacanya. Aku mundur teratur, berteriak melihat hantu supaya Bi Siti atau Kakek memberi pertolongan pertama. Beruntung adik bungsu Ayah tanggap, segelas air putih tandas kuminum setelah dipapah dari kamar dan duduk bersandar sofa.
"Naya, kenapa?" Bi Siti panik.
"Hantu, Bi. Naya melihat dia lagi!" Hampir saja aku menangis saking takutnya.
Bi Siti menyuruh aku tenang, kemudian beranjak ke kamarku untuk membuktikan. Tentu saja ia kembali tanpa melihat apa-apa. Sosok aneh di sana pasti lebih pintar mengelabuhi pengelihatan orang.
"Tidak ada apa-apa, Naya," ucap Bi Siti begitu kembali. "Parfum yang kamu bilang pecah juga masih utuh di meja."
Aku membelalak demi mendengar itu. Bagaimana bisa? Sedangkan tadi aku melempar parfum dengan sadar, benar-benar berantakan di lantai.
Utuh?" ulangku memastikan.
Bi Siti mengangguk. "Mungkin hantu yang kamu temui itu baik. Numpang lewat dan tidak jail, bisa jadi."
Numpang lewat? Baik? Mana ada sejarah hantu baik!
Aku mengembuskan napas berat, memberanikan diri ke kamar untuk melihat kenyataan. Jam keberangkatan semakin mendekati magrib, mau tidak mau jadinya. Dan, sebuah pemandangan membuat aku nyaris runtuh. Di tepi ranjang, ia duduk menunduk. Sesekali mendongak untuk bertemu pandangan denganku, rasa bersalah tersirat begitu dalam.
"Maaf," lirihnya. Masih tetap menunduk. "Aku sudah membuat kacau semua rencanamu. Datang selalu tiba-tiba sehingga kamu ketakutan. Aku hanya ingin memperingatkan bahaya bepergian waktu magrib."
Aku diam, mendengar semua ucapannya sampai selesai. Laki-laki minta maaf itu langka, kalau ada berarti ia sangat romantis.
"Mintalah apa saja sebagai penebus rasa bersalahku, Naya. Apa saja, termasuk harus pergi dari hidupmu."
Fix, drama cinta dimulai!
"Pergi? Apa sebuah kepergian bisa mengundur waktu?" Berusaha keras menepis rasa takut, ide untuk menuntut banyak hal tiba-tiba terlintas. "Aku terlambat gara-gara kamu! Nggak nyaman selama di sini juga karena kamu!"
Enak saja mau kabur setelah usil berkali-kali. Itu bukan penebus kesalahan, tapi semakin menyebalkan.
"Lalu aku harus bagaimana?"