3 Memberi Pelajaran

"Oh jadi ayah lo sekertaris di perusahaan bokap gue?"

Tak ada pilihan selain untuk memberitahukan kebenarannya pada Dewa, toh pekerjaan sebagai sekertaris di suatu perusahaan besar bukan hal memalukan.

"Artinya lo bawahan gue juga dong."

"Kita setara, Dew." Elkan melirih sembari menahan tubuhnya yang sekarang gemetar hebat.

Sontak suara tawa memenuhi kelas. Dewa dan teman-temannya tertawa bak orang gila yang kemudian mendadak membisu lagi.

"Berani-beraninya lo nyetarain gue!"

"Apa pantas seorang Dewa disetarakan dengan sampah?" bisikan Dewa di telinga Elkan.

Sifat Dewa yang ingin selalu di dewakan memang seringkali  menyakiti hati orang. Dewa tidak  akan segan menindas siapa saja yang terlihat meniru dirinya, mau itu dari style pakaian, kendaraan dan lain-lain. Pada intinya ketika Dewa merasa terusik di situlah ada mangsa yang harus dibereskan.

"Huh? Pantas?"

"Denger ya Elkan! Dewa itu pewaris Titian Group, perusahaan besar. Cabangnya sudah ada di luar negeri! Lo sama sekali gak pantas disetarakan dengan Dewa dari segi apa pun!" imbuh Bella, sepupunya Dewa.

"Jadi sekarang, mending copot sepatu lo. Ini peringatan terakhir, jangan beli barang yang sama, sama gue lagi! Gue jijik lihatnya!"

Elkan tampak diam saja. Meskipun sebenarnya  takut, namun memilih enggan melepaskan sepatu ini karena sepatunya hadiah dari bunganya. Mana tahu jika sepatunya  mirip dengan punya Dewa. Untuk sekelas Elkan, ia juga merasa dirinya kaya dan pantas memakai sepatu bermerek buatan Paris ini.

"Gak mau copot sendiri?"

Dewa memberi kode pada teman-temannya agar membawa  Elkan ke tengah lapangan utama.

***

"Eh?"

"Kok ada kucing di sini?" Anna celingak-celinguk mencari pemilik dari kucing menggemaskan ini.

Sepertinya Anna sedikit familiar dengan kucing yang tengah ia pangku ini, tetapi ia tak ingat pernah melihatnya di mana.

Anna membawanya ke luar, tepatnya ke halaman sekolah. Ada kusri panjang lalu anak duduk di sana bersama kucing yang kini tengah ia elus manja.

"Nama kamu siapa?"racau Anna pada kucing berwarna abu putih tersebut.

Kucingnya mengeong, seolah memberitahukan namanya pada Anna.

Sebelum Anna mendaratkan bibirnya pada kucing tersebut, seseorang lebih dulu menggertaknya hingga membuatnya tersentak kaget.

"Heh lo!"

Anna berpaling, mencari sumber suara yang memanggilnya.

Seorang cowok tampan sedang berdiri tak jauh dari Anna. Lantas Anna segera terbangun dari duduknya.

"A—aku?"

"Kembalikan milik gue!"

"Kucing!" Juna menunjuk kucingnya yang ada di pangkuan Anna.

Anna langsung gelagapan, tak mengira jika pemilik kucing ini adalah Juna. Sesegera mungkin Anna menjulurkan kucing itu pada pemiliknya.

"Jangan sembarang ambil milik orang lain, apalagi sampai mau menciumnya!"

"Haa ...." Anna menjamah bibirnya. Sungguh ini membuatnya malu.

"Sorry, kak. Aku gak tahu kalau kucing ini milik kakak." Anna menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.

Juna tak menghiraukan Anna, ia pergi begitu saja bersama dengan kucing kesayangannya.

***

Semua orang berlarian ke lapangan Mereka mendengar jika salah satu kelas bahasa mencari masalah dengan Dewa

Sontak anak bernama Elkan itu menjadi tontonan dan bahan tertawaan semua orang. Cowok itu sedang mengigit sepatunya, berusha menghancurkan sepatunya sendiri dengan giginya.

Dewa tanpa belas kasihan meminta agar Elkan mengunyah bagian dari sepatu tersebut. Rasa-rasanya Anna yang sedang menyaksikan dari atas benar-benar dongkol dengan apa yang dilakukan Dewa dan kawan-kawannya.

Anna heran kemana para guru, kenapa tidak  ada yang muncul padahal kejadian saat ini ada di lapangan utama. Seharusnya kegaduhan ini dapat terdengar oleh mereka.

Jujur saja sejak kejadian beberapa hari yang lalu Anna sering sekali melihat Dewa dan kawan-kawannya menindas kaum lemah tanpa rasa iba. Entah mengapa ia harus melihatnya, rasanya ingin sekali menjambak rambut Dewa dan membenturkan kepalanya ke tembok lalu meneriaki cowok itu sampai tuli. Namun semua harapannya hanya bisa di pendam dalam hati, tidak mungkin ia melakukan adegan berbahaya itu.

Tujuan Anna ke sini hanya untuk belajar dengan serius. Belajar demi meraih predikat sempurna lalu mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Ya, hanya itu.

Mau tidak perduli, tetapi Anna tak bisa. Ia tak bisa berpura-pura diam. Anna melihat mata cowok belasteran Inggris  itu erkaca-kaca, kedua pipinya memerah seperti menahan amarah.

Tangan Anna gatal, rasanya ingin melakukan sesuatu untuk sekadar memberi pelajaran pada cowok bernama Dewa Tianframata tersebut.

Tidak ada cara lain untuk melampiaskan kekesalannya selain ....

Anna membuka sebelah sepatunya dan melemparnya dari atas tepat ke kepala Dewa.

"Mending gak usah tertarik sama yang mereka lakukan deh. Kita gak ada urusan buat peduli juga toh." Andrea menimpali saat Lean ingin memberi peringatan pada Dewa agar berhenti menindas orang lagi. 

Cowok-cowok kalem seperti mereka ini paling malas jika melihat Dewa bersikap seenaknya.  Meski terlihat cuek, ketus dan dingin, tetapi mereka tak sedikit pun tertarik merendahkan orang seperti Dewa beberapakali memebsar-besarkan masalah sepele yang berujung perundungan.

"Spesies yang kayak si Dewa ini yang bikin nama sekolah kita jelek," kata Liam ikut nimbrung. Cowok berkulit sawo matang itu pernah sekali mendapat sindiran karena kulitnya yang berbeda dari yang lain.  Namun tak Liam ambil pusing karena beberapa kali mendapat arahan dari Juna agar tidak terpancing.

"Lo harus ingat, Li. Apa pun yang Dewa lakukan, pasti ditutupi sama pihak sekolah. Jadi kejelekan Dewa gak ada yang tahu dan ... Nama sekolah tetap aman

"Bersyukur kita bukan bagian dari mereka." Liam kembali menyahut.

Cowok yang sedari tadi memerhatikan cewek di sebrang sana, tepat di balkon gedung bahasa, melempar sepatunya dengan tepat sasaran ke arah Dewa.

"Gila, berani banget cewek itu!" tunjuk Prince seraya tertawa.  Cowok yang satu ini suka dengan sesuatu yang baru dan hal berbau unik.

Telinga Dewa seakan menggema kala kepalanya ditempuh sepatu dari langit.

"Siapa woi!" teriak Dewa geram.

"Di atas Dew." Cealse menunjuk siswi yang tidak kelihatan wajahnya berlari menghindar.

"Tangkap orang yang udah ngelempar gue!"

Semua orang berbondong-bondong ke lantai tiga untuk menangkap sang pelaku. Agaknya akan ada drama besar hari ini.

Sontak semua pasang mata menengok ke atas, saat itu Anna sudah terbirit meninggalkan balkon sehingga tidak ada yang melihatnya.

Saat berlarian di koridor yang berada di lantai tiga, semua orang melihatnya dengan curiga. Anna baru sadar jika sebelah kakinya telanjang.

"Anna!" panggil seorang yang membuat Anna refleks berpaling.

Gadis yang memanggil Anna tadi adalah Cleo. Gadis itu melambaikan tangannya, memberi isyarat agar Anna segera berlari ke arahnya yang berada di dalam lift.

"Buang sepatu lo, Na. Mereka bakal cari yang lempar Dewa. Ayo cepetan buang!" Siapa saja pasti akan curiga bila melihat Anna memakai sepatu hanya sebelah. Tidak ada keraguan dari Dewa dalam menyangkal siapa pelakunya  nanti.

Karena tergesa-gesa, Anna melempar sepatunya sembarangan ke luar lift sebelum lift itu tertutup.

****

avataravatar
Next chapter