webnovel

SAPAAN PALSU.

" Kok sudah habis gorenganya?" Tanya Vino tiba-tiba.

May berusaha menenangkan diri se santai mungkin, agar tidak terlihat gugup tapi tetap anggun. Jepit bunga di rambutnya hampir jatuh, ia cepat-cepat membenahi tepat di kepala bagian kiri. Ah, Kali ini May benar-benar bersemangat.

" Iya kak, mau saya masakin lagi?" May menawarkan pelan-pelan, barangkali Vino menyetujui dan May bisa berlama-lama memandang wajah ganteng Vino. May merapatkan giginya sambil menatap Vino penuh harap.

"Mau-mau aja, tapi sorry aku bohong!" Jawab Vino cetus.

"Ya udah sana pulang!" May keceplosan, spontan ia menutup mulutnya rapat-rapat. Dan terdiam pasrah penuh penyesalan.

Vino hanya mengangkat pundaknya lalu beranjak pergi, setelah Vino sudah berjalan cukup jauh, May hanya mematung kaku sambil memukuli dahinya. Dan loncat-loncat berteriak memarahi dirinya sendiri.

"Kamu bodoh May, kamu tidak tau apa yang sebenarnya kak Vino mau sampaikan ke kamu, dia mau jujur dengan perasaanya!" May ngelantur penuh percaya diri. Lalu beberes barang-barangnya untuk di bawa pulang.

Kurang lebih 15 menit, May sudah sampai di rumah. May membuka pintu rumah dengan langkah gontai, di lemparkan wadah gorengan ke meja samping pintu, lalu membanting tubuhnya ke lantai tanpa alas. Sedetik May baru memejamkan mata, ia mendengar obrolan bapak dan ibunya dari dalam kamar.

"Tidak Pak jangan, Ibu sudah terima kok dengan semua yang bapak kasih, jangan pergi ya Pak" Bu Siti, Ibu May menjawab sesuatu yang baru saja Bapak utarakan.

"Bapak sebagai kepala di rumah tangga merasa tidak terima buk, melihat istri dan anak bapak harus merasakan serba kekurangan setiap hari. Bapak ingin merubah nasib buk" Bapak menimpali, suaranya tidak kalah lantang dari ibunya.

May terdiam di balik pintu kamar ibunya. Sambil mengelap air matanya yang jatuh di pipi kusutnya. Dia sebagai anak terahir dari dua bersaudara merasa belum bisa andil untuk membahagiakan kedua orang tuanya.

Kak Dimas, kakak May yang sekarang sedang bekerja di luar Kota. Sebagai buruh di sebuah pabrik kain di Surabaya. Tiba-tiba dada May terasa sesak dan tidak bisa menahan air matanya, bayangan wajah kak Dimas seperti menyumbat di kelopak mata May, dia menangis Dan memanggil nama kakaknya berulang kali.

Raut muka May seketika berubah, ketika suara pintu terbuka dari belakang May. Ibunya menyapa seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya, May juga menyembunyikan bekas air matanya lalu cepat-cepat mengelap dengan lengan bajunya. May selalu begitu, tidak pernah menampakkan kepedihanya, dia selalu membungkus wajahnya dengan senyum tulus kepada siapapun.

Dengan senyum mengembang May memeluk ibunya yang duduk di sampingnya.

" Ibuk tidak ke ladang hari ini" Tanya May sambil memijit lengan ibunya.

"Kata bapak suruh istirahat dulu, badan ibuk juga kaya capek gitu nak" Ibu May menarik kedua tanganya kebelakang.

May tidak tahan dengan situasi saat itu, ia berpamitan untuk istirahat di kamar. Tangisnya pecah ketika mengingat obrolan yang menyangkut akan kepergian Bapaknya. Bukankah Hal berat jika salah satu keluarga harus terpisah dengan waktu yang cukup lama?

May kebingungan, ia menutupi telingaya. Dan ia mencoba mencari kebahagiaanya sendiri. Kakinya loncat-loncat di kasur kapuk yang sudah mimpes, lalu menghibur dirinya dengan menyanyikan lagu Melayu favoritnya.

Oh mungkinkah diri ini, dapat merubah buih yang memutih, menjadi permadani, seperti pinta yang kau Ucap dalam janji cinta… oh Mas Vinooo!!!

Suara May begitu hancur, dan tidak ber irama. Lalu menambahkan embel-embel nama Vino di belakang lagu itu, mungkin hanya Vino yang bisa merubah suasana hatinya, meski itu hanya sebatas nama.

****

Pagi sekali laju sepeda May begitu kencang, dia tidak mempedulikan ayam-ayamnya yang berteriak minta jatah. Dan membawa sepadanya pergi dengan membawa se ember gorengan di keranjangnya.

Pukul 06:00 May sudah sampai di depan gerbang sekolah, sepertinya Pak satpam sudah lebih dulu sampai sehingga pintu gerbang terbuka lebar. may menyapa hangat dan berlari menuju kantin. Kebiasaanya May di pagi hari sebelum memulai jam pelajaran, ia sengaja tidak mengenakan seragam, memilih memakai kaos oblong dengan mengikat rambutnya menjadi satu bagian. Sandalnya jepit yang sudah sedikit trepes itu membuat ciri khas May menjadi semakin melekat.

Dia tidak pernah memperdulikan itu, May tetap nyaman dengan apa yang dia punya. Jam dinding terus menjadi pantauan May setiap di pagi hari. Waktunya hanya tersisa 40 menit untuk membantu ibunya mempersiapkan jualanya di kantin.

Menggoreng Pisang, tahu, tempe, dan ote-ote. Lalu menyapu seluruh ruangan kantin dan ganti baju seragam setelah jam menunjukkan pukul 06:50.

"Sepuluh menit lagi mak! May ganti baju dulu langsung masuk ke kalas yaa!" Teriak May lantang, buru-buru mengambil tas Dan kantong kresek bewarna merah berisi seragamnya hari ini.

"Emang kamu sudah mandi?!" Seru ibunya dari kejauhan, sambil menata gorengan di meja.

"Sudah mak, kemarin sore!"

May lagi-lagi mengulang kebiasaan anehnya, dia jarang sekali mandi. Selalu mengandalkan cuanya untuk memberi satu sachet pewangi pakaian seharga 500 rupiah, dengan idenya yang terlalu unik, lalu May memasukkan pewangi ke dalam botol kecil bekas parfum dengan menambahkan sedikit air, jadilah seperti parfum sungguhan sebagai alat pengamanya jika ia tidak sempat mandi.

"Duh segerr!" May menyemprotkan pewangi ke seluruh badanya, lalu mengucir rambutnya tanpa lebih dulu di sisir. May mengaca di kaca mading depan perpustakaan, meski terlihat tidak terlalu jelas May sudah merasa dirinya sangat cantik di kaca itu.

Lima menit lagi bunyi bel masuk berbunyi. May masih mengecek ulang rambutnya di kaca mading itu satu kali lagi. Tapi ada yang aneh di kaca itu, seperti ada bayangan yang menyerupai pangeran Eropa. May menerawang dengan seksama, mengelap kaca mading dengan rambut panjangnya, di elap lagi, dan masih belum nampak jelas. Matanya di ucek, barangkali itu hanya gambar yang menyelip di kelopaknya. Bayangan itu muncul suara cool, bulu kuduk May spontan berdiri rapi. May bergidik sambil memegangi lehernya, merinding.

Ehem!

Mata May merem rapat, lalu pelan-pelan ia menoleh ke belakang. Sepasang mata tertangkap tepat menusuk pandangan May, ia langsung tersenyum lebar. May Tau kalau kak Vino belum bisa menyukainya, tapi paling tidak harus ada perjuangan untuk meraih bintang di langit.

"Eh kak Vino mau ngaca juga?" Ucap May, lalu mengambil langkah kesamping agar Vino bisa berdiri tepat di depan kaca mading tanpa terhalang tubuhnya.

"Mau baca berita" Cetus Vino tanpa sedikitpun melirik May.

May mencoba memunculkan wajahnya di kaca, barangkali Vino gagal fokus dengan ke imutan wajahnya. Tapi Suara bel itu membuat rencananya gagal total.

Kriiiing!!

May dan Vino berlari bersamaan depan belakang, May mengikuti Vino dari belakang dengan langkah cepat. Fikiran May panik hingga sesuatu di luar dugaan terjadi sangat memalukan pagi itu.

"Kamu sudah naik kelas? Sejak kapan kamu jadi anak kelas XII?" Ujar Vino menahan tawa.

Mulut May menganga lebar, matanya melotot tubuhnya banjir keringat dingin dengan suhu panas.