webnovel

B16 – Messy

*****

Masih dengan seragam yang melekat Danica melangkah memasuki rumah yang bahkan sudah lama tidak ia kunjungi, ia sempat menghela nafasnya pelan mencoba mengusir rasa sesak pada dadanya.

Danica langsung melangkahkan kakinya menuju kearah kamarnya namun langkahnya terhenti saat mendengar dua suara saling menyahuti dari dalam kamar, ia pun terdiam dan mencoba mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh dua orang dewasa.

"Mau apalagi yang kau ambil?"

"Aku tidak menyukai Danica."

"Tapi dia juga masih keponakanku. Aku sudah mengikuti keinginanmu dan Ayahnya juga sudah tidak tinggal disini lalu apa lagi yang akan kau permasalahkan?"

Diam diam Danica mengepalkan tangannya menahan amarah yang akan meledak kapanpun.

"Rumah ini harus menjadi milik kita."

Danica langsung melupakan keinginannya untuk masuk kekamarnya, ia seketika tidak ada niat untuk mengambil barangnya. Danica pun langsung melangkah meninggalkan rumah dengan emosi yang masih berada di ujung.

Danica langsung menggeram kesal saat ia dikejutkan dengan sosok adiknya yang menangis tepat setelah ia membuka pintu, ia pun langsung menutup pintu dan menatap adiknya dengan bingung dan khawatir.

"Ada apa? Kenapa menangis?"

Stella hanya menangis tanpa mengatakannya, Danica pun langsung memeluk adiknya. Mau sebenci apapun Danica pada sang adik tetap dia adalah seorang Kakak dan hanya dia yang dimiliki Stella sejak kepergian sang Ibu.

"Kakak…."

Stella masih menangis keras sembari memanggilnya, ia pun langsung melepaskan pelukannya untuk melihat apa yang terjadi dan matanya langsung menatap tangan kanan sang adik yang terdapat tiga goresan memanjang. Shit, itu tiga bukan satu. Pikir Danica.

"Apa yang terjadi? Siapa?"

Tatapan Danica bahkan langsung berubah tajam, jangan salahkan Danica yang seketika berubah bahkan Danica sendiri tidak akan mengenali dirinya sendiri saat sedang meledakkan amarahnya.

"Siapa Stella?"

"Tante…."

"Sekarang ketempat Kak Kiki dan tunggu aku sampai pulang ya…."

Stella hanya menganggukkan kepalanya dengan sesenggukan sedangkan Danica langsung berlari menuju ketempat sang Ayah, nafas Danica bahkan terasa begitu berat karena amarah dan tubuhnya yang tidak bisa diajak kerjasama.

Sesampainya didepan kontrakan Danica langsung berhenti dan mencoba mengatur nafasnya, ia pun dapat mendengar teriakan demi teriakan didalam rumah.

Ia langsung masuk dengan tergesa dan membuka pintu dengan kasar membuat kedua orang dewasa didalam terkejut.

"Danica?"

"Orang tua mana yang tidak punya malu setelah melukai anaknya?"

"Jangan ikut campur ini urusan orang dewasa Danica."

"DAN STELLA SUDAH ANDA LUKAI, aku tidak bisa diam."

Amarah Danica meluap membuat keadaan seketika berubah hening, sang Ayah pun hanya menghembuskan nafasnya pelan.

"Aku tidak menyukai hal apapun yang membuat Stella terluka termasuk anda, saya bahkan tidak perduli apa yang terjadi dengan anda yang saya ingin pergi dari sini atau Stella aku bawa pergi. Ayah tinggal pilih."

"Kau bisa bawa Stella pergi, Ayah juga akan pergi jauh."

Disini Danica terdiam, hal yang paling Danica benci. Sang Ayah tahu kelemahan Danica dan itu membuat emosinya tertahan sesaat.

"Kau bisa pilih membawa Stella pergi dan tidak melihat Ayah, atau tetap pada pendirianmu sebelumnya."

"Aku? Aku yang memilih?"

Danica tersenyum miring dengan remeh lalu menatap kedua orang dewasa itu dengan tajam. Ia tidak pernah bisa melawan sang Ayah sebab ia masih ingat akan posisinya sekarang adalah sebagai seorang anak.

"Aku hanya tidak suka Stella selalu pergi kesana setiap kami bertengkar." Danica langsung mengalihkan tatapannya dengan tajam.

"Apa salahnya? Disana ada aku dan aku masih kakaknya, agar kau bisa melukainya begitu?"

"Disana ada Agung dan Riska, mereka akan tertawa melihat keluargamu yang berantakan."

"Mereka bahkan tidak perduli itu hanya opinimu sialan."

"Bicara yang sopan pada orang tua Danica."

"Kau tidak pantas disebut orang tua."

"Cukup Danica, sekarang maumu apa? Ayah akan menurutinya."

Danica terdiam, harusnya ia bisa mengatakan apa keinginannya tapi kenapa semua terasa berat sekarang. Disini ia tidak menyukainya, apapun amarahnya dan pada siapapun pelampiasannya Danica tidak perduli akan melukainya tapi jika ada Ayahnya dia bahkan berubah menjadi terdiam. Amarahnya seketika tertahan.

"Jadi orang jangan seenaknya sendiri."

"Aku punya pendapat."

"Tapi pendapatmu salah."

"Setidaknya aku masih punya malu, bukannya minta maaf malah seenaknya marah marah." Setelah mengucapkan kalimat itu Danica langsung berjalan keluar rumah dengan tergesa.

Ia hanya ingin segera pergi meninggalkan rumah kontrakan itu agar bisa meluapkan amarahnya lagi. Air mata itu bahkan langsung turun tanpa komando darinya, Danica menyekanya dengan kasar sembari sesekali menghembuskan nafasnya dengan kasar saat rasa sesak menghadang pada dadanya.

*****

Kharel duduk dibalkon rumahnya dengan tenang namun itu tidak berlangsung lama saat sang Kakak mengacuhkan segala ketenangannya, ia pun langsung mendengus kesal saat sang Kakak duduk di sebelahnya dengan penuh keributan.

"Ada apa Kak? Jangan menggangguku."

"Ada apa eoh? Memikirkan apa?"

"Kak Nia tidak akan tahu sekalipun aku memberitahumu."

"Kenapa? Danica?"

Tepat sasaran, Kharel menghembuskan nafasnya kasar saat sang Kakak dengan mudah menebaknya. Titania pun hanya terkekeh gemas saat ia merasa tebakannya benar.

"Ada apa dengan Danica? Kenapa memikirkannya?"

"Tidak tahu, hanya perasaanku saja yang tidak enak."

"Tidak ingin kembali dengan Danica?"

"Jangan bercanda Kak, Danica bahkan menyukai Bara."

"Kau yakin?"

"Kakak…."

Kharel langsung merengek pada Titania saat ia tahu Kakaknya akan kembali menggodanya, Titania pun hanya terkekeh melihat adiknya itu jauh berbeda saat di rumah dan di sekolah.

Kharel langsung berhenti merengek saat ponselnya bergetar menandakan ia mendapat pesan, ia pun langsung membaca dan tatapannya berubah membuat Titania bingung.

"Shit."

"Ada apa?"

"Kak sepertinya aku pulang malam." tanpa menjelaskan apapun Kharel langsung berlari pergi membuat Titania menatap bingung.

*****

Rehal keluar dari ruang ganti dan berniat untuk langsung pulang tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara riuh didalam ruangan peralatan beladiri.

"Kak Hal…"

"Apa yang terjadi? Ada yang masih latihan?"

"Tidak Kak, Kak Danica mengamuk."

Rehal langsung berlari masuk kedalam ruang peralatan, pemandangan pertama yang ia lihat adalah mata tajam milik Danica.

"Sudah berapa lama?"

"Sejak 30 menit yang lalu, yang lainnya pun langsung ku suruh pulang." Rehal hanya mengangguk mendengar penjelasan Damar.

"Kau boleh pulang, Danica menajdi urusanku."

"Baik Kak."

"Danica…"

Rehal langsung menghentikan langkahnya saat suara cempreng itu terdengar sangat nyaring menandakan dia sedang marah.

Samsak gantung itu pun menjadi pelampiasan amarah Danica, Rehal pun kembali dikejutkan dengan mata merah Danica dan lelehan air mata yang tidak mau berhenti.

"Danica stop, apa yang kau lakukan."

Rehal langsung mendekati Danica dan berusaha untuk menjauhi samsak gantung itu, namun Danica semakin membabi buta.

"Danica sialan."

"Jangan ikut campur Hal."

Setelah mengatakan itu Danica kembali membabi buta samsak dan tatapan yang semakin tajam, Rehal terkejut hingga akhirnya ia memilih menghubungi Devan karena jika sudah seperti ini ia tidak bisa menghentikan amarah Danica.

"Tangan mu akan sakit Nic."

"Hallo…"

"Cepat kemari Dev, Danica mengamuk."

"Shitt…"

Sambungan itu langsung terputus begitu juga Rehal yang kembali memperhatikan Danica. Ia masih mencari cara bagaimana untuk membuat Danica menjauh dari samsak.

"Danica tenang." Rehal kini dapat menjangkau tubuh Danica, ia menarik tubuh ringkih itu namun dengan gerakan cepat Danica mendorong tubuh Rehal membuatnya tersungkur karena tidak siap dan tidak seimbang.

Danica semakin mengamuk, teriakannya semakin menggema. Ia memang sudah tidak mendekati samsak namun semua peralatan didalam berantakan karena ulah Danica.

Ia terus melempari barang barang didekatnya dan jangan lupakan teriakannya yang sesekali terdengar begitu emosi. Air mata itu pun bahkan tidak sedikitpun berhenti.

Danica berada diujung kesakitannya, Rehal tahu itu tapi ia tidak tahu bagaimana caranya menghentikan kemarahan Danica.

"DANICA…"

Rehal terkejut saat teriakan lain terdengar, ia pun menolehkan kepalanya menatap bingung sosok yang berlari kearah Danica sekarang.

"Kharel? Bagaimana bisa?"

Kharel langsung menarik tubuh Danica dan memeluknya dengan erat, Danica mencoba memberontak tapi gagal saat tangan kanan Kharel menutup matanya sembari memeluknya.

"Danica, heeyy stop."

"Tutup matamu dengan rapat, eoh?"

Kharel semakin mengeratkan pelukannya saat tangisan Danica semakin pecah hal itu membuat Rehal menatap bingung dan tidak percaya. Kharel pun terus mengutarakan kalimat penenang untuk menghilangkan amarah Danica.

"Hey, it's okay Danica. Pejamkan saja matamu semua akan baik baik saja, percaya padaku."

Suara tangisan yang semakin menjadi itu membuat Rehal tidak bisa berkata kata, bahu itu bahkan sangat bergetar. Ini pertama kali Rehal melihat Danica seterluka itu.

"Aku disini, jangan takut. Tidak apa apa."

"REHAL…"

Rehal menolehkan kepalanya dan ia langsung menangkap sosok Devan bersama dengan Bara dan Ervin. Ketiga sosok itu pun menatap dengan bingung dengan pemandangan didepan mereka.

Devan langsung menatap Rehal sedangkan yang ditatap hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu.

"Ibu…"

Lirihan Danica membuat Kharel langsung menepuk pelan bahu Danica, keduanya langsung terduduk saat tubuh Danica meluruh mengingat Kharel tidak ingin melepas pelukannya sebelum emosi Danica hilang semuanya.

"Tidak apa, Ibu mu bahagia disana. Tenang yaa…"

Danica langsung mencengkram kuat ujung baju Kharel saat sesak terus menguasai dadanya, ia marah, kecewa dan juga terluka. Danica membenci kekalahan dan ia juga terluka saat dirinya tidak bisa menyelamatkan adiknya.

****