webnovel

Bonoki

Kisah ini berawal dari seorang pemuda labil bernama Juliet. Dia tak tau tentang jalan hidupnya. Namun semua itu berubah ketika ia membeli sebuah kalung kujang dari seorang pedagang misterius. Kisah ini semakin menarik ketika ia bertemu dengan Kirana Sang Ratu bangsa astral. Kehidupannya semakin berwarna, ketika bertemu dengan dua mahasiswi program pertukaran pelajar, yaitu Himiko dan Eliza. Kemudian ketiga gadis cantik dan jenius itu, memutuskan untuk melatih dan membantunya untuk mencari jati dirinya. Bagaimana kisahnya? Selamat membaca.

Tampan_Berani · Urban
Not enough ratings
155 Chs

Hot and cool

Ketiga poltar, mengadakan sebuah permainan ular naga. Sebelum itu, kami diminta untuk membereskan bangku terlebih dahulu, setelah itu kami pun membagi tugas. Dua orang senior menjadi gerbang, sedangkan kami berbaris memanjang seperti ular. Permainan pun dimulai, kami pun berjalan sambil berpegangan melewati gerbang, sambil menyanyikan lagu anak ular tangga.Setiap anak yang ditangkap, para senior memerintahkannya untuk bernyanyi, pantun, dan terakhir tebak-tebakan. Tetapi ketika giliranku tertangkap, suasana pun menjadi gelap. Lalu mereka pun berkata."

"Selain menangis dan merengek, kau bisa apa?" tanya senior yang berada disisi kanan.

"Eh jangan-jangan, tanyakan kenapa waktu itu dia minta pulang?" tanya senior disisi satunya.

"Kalian jangan bertanya seperti itu, suruh saja dia untuk menangis. Aku belum melihat bagaimana tangisannya, bisa mengabil hati para raider itu" ujar senior dibelakangku.

Jujur pertanyaan mereka membuat hatiku sakit. Ingin rasanya aku membungkam mulut mereka, dengan tinjuku. Setelah itu aku jahit mulut mereka, hingga tak bisa merasakan nasi. Namun apa dayanya diriku, seorang pria lemah yang berjalan seorang diri dengan berlinang air mata. Kulihat sebagian temanku menundukkan kepala, dan sebagian lainnya diam menahan tawa. Para senior itu terus saja memaksaku untuk menjawabnya, namun aku bingung harus menjawab apa. Tiba-tiba dibalik jendela, senior David memanggil mereka bertiga lalu memerintahkan kami untuk berbaris. Kemudian membentuk barisan, lalu berjalan dan berkumpul di lapangan basket yang tak jauh dari kelasku.

Setelah itu, kami semua duduk bersila dibawah panasnya sinar matahari. Sebelum rutinitas siang dimulai, rencanaya hari ini akan diadakan promosi ekstrakurikuler. Satu persatu dari mereka, mulai mempresentasikannya dimulai dari barongsai, rohis, renang, drama, sepak bola, badminton, dan terakhir marching band. Penampilan yang dipertunjukkan, sungguh memukau namun itu semua tidak membuatku tertarik. Satu jam telah berlalu, sebelum rutinitas dimulai senior aditiya menyampaikan pengumuman. Bahwa bulan depan, akan diadakan penobatan resmi menjadi seorang taruna. Seluruh catar senang mendengarnya, mereka pun mulai bersemangat untuk menerima penobatan tersebut.

Apalagi keluarga tercinta akan hadir disana. Sementara aku hanya bersikap biasa saja, tidak tertarik dengan penobatan atau hal yang lainnya. Yang aku pikirkan adalah hal mengerikan apa yang akan terjadi setelah ini berakhir. Setelah itu kami semua mulai berbaris, membentuk pleton dengan anggota sebelumnya. Lalu kami semua kecuali taruni, bertelanjang dada lalu mengelilingi akademi dengan kompak, sebanyak tiga keliling. Belum sampai dua putaran, aku sudah mulai tertinggal oleh pletonku. Dari arah belakang senior Robi mendekatiku, lalu ia menendang bokongku, dengan sepatu pantofel yang ia gunakan. Dia pun berkata.

"Heh babi, baru segitu kamu sudah kehabisan nafas. Lemah sekali, kalau kamu gak susul kawanmu habis kau!" ancam senior Robi.

"Siap senior!"

"Siap minta pulang kamu?!" tanya Soni dibarisan paling belakang.

Aku pun tidak menghiraukannya, lalu diriku kembali menyusul pletonku yang tertinggal jauh. Selanjutnya dilanjutkan dengan push up, sit up, back up, dan terakhir pull up. Namun dalam melakukan push up dan sit up, metode yang dilakukan sedikit berbeda. Biasanya ketika melakukan push up, telapak tangan menjadi tumpuan, kini tangan harus mengepal dan menyentuh aspal. Lalu dalam menggunakan sit up, biasanya baju yang kita gunakan bisa menjadi bantalan saat ditanah. Kini kami harus melakukan sit up, dengan bertelanjang dada sambil menempel di aspal yang panas.

Sebenarnya metode sit up di atas jalan aspal yang panas, itu sangat tidak dianjurkan. Sebab bisa membahayakan kesehatan kulit, bahkan bisa menumbuhkan sel kanker. Beruntung ketika melakukan sit up, rasa panasnya berkurang berkat keringat yang keluar dari tubuh. Rasanya kami tidak jauh berbeda dengan sosis panggang. Selesai melakukan hal itu, mereka pun duduk bersila dibawah tempat yang merdu. Sekarang hanya ada aku seorang diri, yang sedang berusaha untuk melakukan push up dan sit up. Para senior itu melempariku dengan kata-kata kasar, lalu menghinaku di depan banyak orang.

Mereka semua hanya terdiam, lalu menundukkan pandangan. Lama kelamaan para senior pun jengkel denganku, lalu mencambukku hingga aku bisa, menuntaskan apa yang mereka suruh. Berkali-kali diriku menahan sakit seorang diri, sedangkan yang lain hanya bisa menonton. Setelah menyelesaikan semuanya, para catar yang sudah berteduh sejak tadi langsung berbaris. Para senior tidak memberikan waktuku untuk beristirahat, dengan terpaksa aku bergabung ke dalam barisan. Kemudian dilanjutkan dengan latihan baris berbaris, lalu kami pun diajarkan tentang formasi, seperti jalan sambil hormat dan lain-lain.

Minggu pertama aku dapat mengikuti pelatihan dengan baik. Sedikit demi sedikit aku bisa mengikuti, apa yang pelatih ajarkan. Awalnya aku sering melakukan kesalahan, namun sedikit demi sedikit aku bisa mengikutinya dengan baik. Perlakuan senior terhadapku tidak ada perubahan sama sekali. Entah apa yang dipikirannya, mereka masih saja menyebutku cengeng. Suatu hari sepulang dari akademi, aku dipanggil oleh senior Aditiya. Dia ingin memintaku untuk menemaninya di pos. Lalu duduk duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu, dibawah sebuah lampu jalan. Sebelum itu ia memintaku untuk membuatkan teh, sekalian aku membuat segelas susu hangat. Kami berdua pun mulai berbicara, mengenai kegiatan hari ini. Ketika aku bercerita, senior Aditiya mendengarkan setiap perkataanku dengan baik.

Setiap keluh kesah yang aku ceritakan, dia selalu memberikan motivasi kepadaku. Dengan harapan agar diriku bisa menjadi seorang yang lebih baik. Tak terasa hari pun semakin gelap, angin darat mulai berhembus ke laut. Waktu yang kuhabiskan berdua terlewati begitu saja. Tiba-tiba senior Aditiya pun terdiam, lalu ia menatap wajahku dengan prihatin. Kemudian ia bertanya mengenai alasanku, untuk meminta pulang saat MADABINTAL. Lalu aku pun menjawab.

"Waktu itu aku sempat mengucapkan hal itu, sebanyak dua kali. Yang pertama aku mengucapkan hal itu, hanya untuk mengawali percakapan dengan teman disampingku" ujarku.

"Benarkah?"

"Iyah itu benar senior, aku tidak mengada-ngada. Untuk yang kedua, sungguh aku sudah titdak tahan lagi, dengan kondisi fisikku. Karena fisikku yang lemah, temanku yang harus menerima akibatnya. Maka dari itu, lebih baik aku berhenti saja dari pada diteruskan itu bisa menyiksa diriku sendiri" ujarku.

"Elu benar-benar orang baik, sayangnya kebaikanmu itu tidak pada tempatnya. Namanya MADABINTAL, para catar di didik agar menjadi seorang taruna yang kuat. Tetapi kuat saja tidak cukup, jika tidak di bentengi dengan hati nurani. Biasanya mereka akan menggunakan kekuatanya, untuk bertindak arogan dan sewenang-wenang. Elu ngerti apa maksud gue?"

"Siap mengerti!" ujarku.

"Syukurlah kalau begitu, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bercerita. Anggap saja gue ini pelatih Sugianto. Semangat yah, apapun yang terjadi gue bakal selalu ngedukung elu" ujarnya.

Tiga hari telah berlalu, rasanya hari yang aku lalui tidak ada perubahan. Rasa lelah dan letih telah menjadi sarapan sehari-hari. Mau bagaimana lagi, namanya juga seorang taruna mana ada yang enak. Jika ingin hidup enak, jadilah senior lalu mengikuti seleksi semester akhir, kemudian lulus dan mendapatkan pekerjaan. Sayangnya butuh waktu lama untuk mendapatkannya, lagi pula ini baru dua bulan menjalani masa pendidikan.