webnovel

Penolakan Alana

Mata cokelat hitamnya menatap lurus langit – langit kamarnya. Hening pun menyelimuti, hanya detik jarum jam yang terdengar. Gadis itu melirik sisi kanannya, terlihat Safiya tengah terlelap. Mulutnya sedikit terbuka, dengkuran halus pun terdengar. Sesekali Safiya mengeluarkan suara–suara aneh dalam tidurnya. Ia pun terkekeh, sepertinya gadis di sampingnya ini mengalami mimpi buruk.

Hela napas keluar dari mulutnya. Pandangannya kembali mengarah pada langit –langit kamar. Pikirannya kembali berkecamuk. Insiden beberapa jam lalu masih berputar dalam benaknya, sepertinya ia akan terjaga untuk malam ini.

"Kamu belum tidur, La?" Suara serak Safiya memasuki telinganya. Alana menoleh menatap Safiya, mata gadis itu sedikit terbuka.

"Aku belum mengantuk," jawab Alana pelan.

Mulut Safiya terbuka lebar. "Memangnya sekarang pukul berapa?" tanyanya seraya menguap.

Alana melirik ke sisi kiri ranjangnya. Tangannya terulur mengambil sebuah jam weker berwarna merah muda yang terletak di atas meja kecil. Matanya menatap jarum jam tersebut. "Sekarang pukul 01.43 dini hari," jawabnya sembari meletakkan kembali jam tersebut pada tempatnya.

Safiya meregangkan kedua tangannya. Gadis itu mengucek sebelah matanya seraya menatap Alana. "Apakah kamu terjaga sepanjang malam?" tanyanya.

Gadis bermata cokelat kehitaman itu terkekeh sembari menganguk pelan. "Kamu tidak ingin tidur?" Safiya kembali bertanya.

Hela napas kembali lolos dari mulut Alana. "Aku ingin sekali tertidur, tetapi mataku tidak ingin tertutup."

Safiya memiringkan tubuhnya, ditatap Alana dengan lekat. "Alana," panggilnya.

Alana melirik Safiya.

"Miringkan tubuhmu agar aku dapat menatapmu!" titah Safiya.

Alana menghela napas. Dimiringkan tubuhnya menghadap sisi kanan, ditatapnya mata hitam Safiya. "Ada apa?" tanyanya pelan.

"Apakah kamu masih memikirkan kejadian itu?" tanya Safiya.

Bibirnya sedikit terangkat, sebuah senyuman miris terukir di wajah Alana. "Kejadian itu bahkan tidak dapat lenyap begitu saja dalam benakku," gumamnya.

Mata hitam itu menatap sendu.

"Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa Ayah akan memberikan kejutan seperti ini untukku dan juga Bunda." Alana tertawa sumbang. Mata cokelat kehitamannya kembali menatap Safiya dengan kosong.

Melihat kehampaan dari sorot mata itu, membuat Safiya menghela napas. Dirinya tidak dapat berbuat banyak dalam hal ini. Ia pun tidak tahu harus mengatakan apa saat ini.

"Apa yang harus ku lakukan, Sa?" Alana menatap mata hitam Safiya. Gadis itu melihat mata cokelat kehitaman Alana telah berkaca–kaca. "Apakah masa kebahagiaanku telah berakhir, Sa?" Setetes air mata terjatuh dari pelupuk matanya. "Apakah ini adalah hadiah dari Tuhan untuk ulang tahunku?" cecarnya.

Alana mencecarinya, tetapi lidahnya terasa kelu.

"Apa yang harus ku lakukan, Sa?" Alana tidak dapat membendung air mata, tangisnya seketika pecah.

Safiya membentangkan kedua tangannya, dirinya mendekap Alana.

"Apa yang harus kulakukan, Sa?" Isak tangisnya terdengar memilukan. Safiya pun hanya mengusap pelan punggung sahabatnya. Ia terlalu bingung untuk menjawabnya.

"Safiya, apa yang harus kulakukan?" Alana terus mengulang ucapannya dalam isak tangis. Rasa dingin semakin menyelimuti. Dirinya bahkan tidak dapat merasakan kehangatan dari dekapan sahabatnya itu.

Safiya tetap memeluknya, sedangkan air mata Alana masih bercucuran. Gadis itu menangis hingga mengundang rasa kantuk, dan akhirnya ia terlelap.

***

Sinar matahari berhasil memasuki celah gorden kamarnya. Alana sedikit menggeliat ketika silaunya sinar matahari mengenai matanya. Gadis itu memiringkan tubuh ke sisi kanan. Tangannya meraba ranjangnya dan tidak terdapat seseorang.

"Safiya?" panggilnya seraya membuka mata secara perlahan. Sahabatnya itu tidak terlihat. Panik, itulah yang dirasakan Alana. Gadis itu langsung terbangun. Dirinya sedikit mengerang ketika rasa pening langsung menyerang kepalanya. "Safiya!" Alana menyerukan nama gadis itu sembari memegangi kepalanya.

"Safiya, kamu di mana?" Alana mengedarkan pandangan. Rasa takut mulai menghampiri. Pikiran buruknya mulai bermunculan.

"Safiya!"

"Ada apa, Alana?" Pintu kamar terbuka, terlihat seorang gadis bermata besar tengah berdiri di ambang pintu. "Mengapa kamu meneriaki namaku seperti itu?" Safiya merasa khawatir sebab suara Alana terdengar parau dari luar kamar.

"Kamu dari mana?" Alana menatapnya dengan cemas. Suaranya pun terdengar bergetar.

"Aku dari kamar mandi, mengapa kamu mencariku seperti itu?" Safiya berjalan memasuki kamar. Ia mendudukkan dirinya di atas ranjang Alana.

Alana menghela napas lega. "Aku pikir kamu meninggalkanku begitu saja," ujarnya sedikit lirih.

"Alana." Safiya menatap sahabatnya dengan sendu.

"Kalau begitu ayo turun ke bawah, Bunda pasti telah menyiapkan sarapan!" seru Alana seraya menggandeng tangan Safiya. Senyumnya kembali merekah. Gadis itu seolah lupa akan kejadian semalam.

"Alana." Safiya memanggilnya dengan lirih, bahkan sangat lirih sehingga gadis itu tidak mendengarnya.

Alana menarik tangan Safiya untuk beranjak dari ranjangnya. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan semangat ketika menuruni tangga. Sementara Safiya, gadis itu hanya menatap punggung Alana dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Bunda, aku dan Safiya telah siap untuk sa—" Suaranya tercekat ketika matanya tidak melihat Mareta di ruang makan. "Ayah, di mana Bunda?" Alana segera bertanya pada Erik yang tengah menyeruput secangkir kopi.

Erik menoleh menatap Alana. "Bundamu berada di kamar," jawabnya dengan datar.

Alana mengerutkan keningnya. "Mengapa Bunda di kamar? Apakah Bunda tengah sakit, Yah?" cecar Alana.

"Bundamu tengah—"

"Mas, sarapannya telah siap!"

Sontak Alana, Erik dan Safiya menoleh ketika suara seorang wanita terdengar.

Alana menatap heran wanita asing itu. "Anda siapa? Mengapa Anda keluar dari dapur rumahku?" Gadis bermata cokelat kehitaman itu langsung mencecarinya.

Wina, wanita itu tampak gugup. Matanya melirik Erik seolah meminta bantuan pria itu.

Erik yang sadar arti tatapan itu ikut menghela napas. Mata cokelat kehitamannya menatap mata anak pertamanya itu. "Alana, dia adalah Ibumu juga."

"Apa?" Gadis itu berseru seraya menatap Erik dengan mata terbelalak. "Apa maksud Ayah dengan wanita itu adalah Ibuku?" pekik Alana sembari menunjuk Wina dengan telunjuknya. "Ibuku hanyalah Bunda," tegas Alana dengan mata tajamnya

"Alana, Sayang." Erik bangkit dari tempatnya. "Tolong tenanglah terlebih dahulu." Erik menyentuh pundak Alana. Namun, gadis itu langsung menepisnya.

"Apakah Ayah mengkhianati Bunda?" tanya Alana. Kilatan tajam terpancar dari matanya.

"Alana." Erik masih melembutkan suaranya. "Tolong dengarkan Ayah--"

"Mengapa, Yah?" Gadis itu langsung memotong ucapan Erik. Kepalanya sedikit mendongak untuk menatap Erik. "Mengapa Ayah membawa wanita asing itu kemari?" teriak Alana.

"Alana, dia adalah Ibumu juga!" bentak Erik. Pria itu kehilangan sabarnya.

"Dia bukan Ibuku. Ibuku hanyalah Bunda Mareta!" Alana tidak ingin mengalah, gadis itu membalasnya dengan teriakan. "Wanita murahan itu tidak akan pernah menjadi Ibuku!" lanjutnya seraya melirik tajam Wina yang sedari tadi masih berdiri mematung di antara mereka.

"ALANA!" Sebuah tamparan mendarat pada pipi kanan Alana. "Jaga ucapanmu itu!" bentak Erik seraya menatap tajam putrinya.

"Alana." Safiya mengucapkan namanya dengan lirih. Dirinya pun ikut terkejut melihat kemarahan Erik. Tak pernah sekali pun pria itu ringan tangan pada anggota keluarganya, terlebih pada putri satu–satunya itu.

Sementara Alana, gadis itu masih menundukkan kepala seraya memegangi pipi kanannya yang terasa panas. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk seringaian. 'Bahkan Ayah berani menamparku hanya karena wanita murahan itu.' gumam batinnya.

Diangkat kembali kepalanya, ditatap Erik dengan sinis. Wajah pria itu tampak merah padam, tetapi dirinya menghiraukan. Alana mendesis, "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menerima kehadiran wanita murahan itu."

***