webnovel

37. Nana : Nona Lilin lebah (1)

Suasana malam terasa begitu tenang diiringi dengan rintik gerimis di sepanjang kota. Hawa dingin menyeruak masuk ke dalam tulang belulang, mencengkram kuat. Menandakan siapapun yang ingin keluar, harus benar-benar merapatkan mantel dan jaket tebalnya jika tak mau mati kedinginan di luar sana.

Rumi duduk manis di beranda rumah. Ditemani secangkir kopi dan buku pelajaran untuk ujian terakhirnya besok, peminatan IPA. Di luar hidupnya yang begitu pelik, tentang Mr. Tonny si raja mafia atau perselingkuhan sang mantan kekasih, Rumi hanyalah gadis biasa. Dia sama dengan yang lainnya, punya mimpi dan harapan. Hidup bahagia di masa depan, tak pontang-panting ke sana kemari tanpa arah tujuan yang benar. Punya satu orang kepercayaan yang mencintainya apa adanya.

Pandangannya tertuju pada cakrawala, jenuh sedikit di sela dengan menghela nafasnya. Hapalan kalimat demi kalimat masuk di dalam ingatannya, sebagian. Tak seratus persen. Dia memang pandai, tetapi tidak benar-benar pandai seperti Genta atau yang lainnya. Rumi tak pernah mendapat 10 besar di peringkat sekolah. Tak seperti Genta yang selalu menduduki peringkat satu atau paling buruk adalah peringkat tiga.

Jika ujiannya berakhir, waktu berlalu, dan hari berganti, akankah Mr. Tonny benar-benar membawanya pergi dari Indonesia? Benarkah dia akan menjadi istri dari seorang mafia yang brutal? Hidup dengan bahagia? Tidak! Pria yang tidak punya cinta tidak bisa membuat siapapun yang ada di sisinya bahagia. Kekhawatiran Rumi mulai melalang buana.

Samar-samar langkah kaki terdengar. Rumi mengembalikan pandangan mata. Seseorang datang, naasnya itu bukan Mr. Tonny. Jujur saja beberapa hari pria itu menghilang, katanya sih, mengurus sesuatu yang ada di Hawtorn. Atau apalah itu namanya. Dia kembali ke Las Vegas.

Wanita di balik payung merah mulai menampakkan wajahnya. Sisi tubuhnya basah dengan rambut panjang yang lepek. Mungkin sebab hujan di luar sana. Dari dandanan yang menor dan seksi, Rumi kenal siapa dia. Bibi Nana.

"Bibi ...." Nata bangun dari kursinya. Meletakkan buku tebal di sisi cangkir teh. Melangkah mendekati wanita yang baru saja menutup payungnya. Tangannya menepuk-nepuk sisi pundak dan beberapa bagian tubuhnya, berharap basah hilang dari dan.

"Bi Nana gak jadi pergi ke Malaysia atau Singapura?" Rumi pergi pada poinnya. "Bibi tidak ada ...."

"Sudah makan?" Nana menyela kalimat Rumi. Dia memberikan kantung plastik besar dengan bakso hangat di dalamnya. "Ada tukang bakso di depan sana, jadi aku membelinya sekalian." Nana menyodorkan itu pada Nata. Memaksa gadis itu menerimanya, meskipun jelas-jelas ini benar-benar aneh untuknya.

Nana masuk ke dalam, meninggalkan Rumi yang diam kikuk di tempatnya.

"Cepatlah! Aku juga lapar!" Nana berteriak dari dalam. Rumi buyar, lantas mengiyakan perintah bibinya. Masuk dan menutup pintu.

••• Big Man •••

Rumi duduk di depan Nana. Menatap semangkok bakso dengan kepulan asap yang membawa aroma yang begitu khas dan nikmat. Nana melayani dirinya layaknya seperti seorang ibu pada putrinya. Meksipun itu tak sempurna. Dia merindukan sang nenek.

"Kamu belum pernah pergi ke makam nenek lagi?" Nana tiba-tiba saja membuka suaranya. Melirik wajah sayu si keponakan. Berhenti. Sadar bahwa dia membenci tatapan itu. "Tatapan itu lagi!" Nana menunjuk Rumi dengan menggunakan ujung garpu. "Jangan pernah menatap seseorang dengan tatapan begitu lagi. Setidaknya kamu harus terlihat kuat meskipun hati kamu sedang hancur."

Rumi tersenyum tipis. "Itu yang bibi lakukan selama ini?"

Nana diam, tak mau menggubris. Kembali meneruskan aktivitasnya. Dia memang terlihat tak peduli, tetapi nyatanya, kepedulian Nana pada Rumi lebih besar dari dugaan. Dia mengawasi keponakannya dari jauh, meksipun begitu, tetap saja luput pada fakta bahwa seorang mafia sedang mengawasinya juga.

"Sekali-kali datanglah ke makam nenek lagi. Dia pasti merindukan cucunya yang sudah lama tidak berkunjung."

Rumi mengangguk. "Rencananya besok setelah ujian. Aku ingin datang ke sana."

Nana menghela napasnya kasar. "Rumi ...." Dia memanggilnya. Lekat menatap mata si keponakan. "Maafkan aku ...."

Rumi mengerutkan keningnya. "Untuk apa minta maaf? Karena bibi tidak pernah datang? Aku berpikir itu adalah hal yang wajar, bibi adalah orang sibuk sejak dulu. Bahkan saat masih ada nenek, bibi juga tidak pernah datang. Jadi aku memaklumi itu."

Nana menghela nafasnya. Hatinya berguncang kalau melihat Rumi. Dia hanyalah gadis muda dengan nasib yang malang. Tak ada catatan kelahiran yang pasti. Tak ada kenangan wajah ayah dan ibu dan nenek yang dia punya, sudah pergi terlebih dahulu. Namun, seakan tak pernah puas, semesta mengujinya habis-habisan.

"Aku hanya ingin minta maaf saja sebelum tidak sempat mengatakannya," imbuh Nana, tersenyum getir. Mengabaikan Rumi kemudian, memakan bakso yang ada di depannya.

"Ada yang mengajakku menikah," ucap Rumi tiba-tiba. Kalimatnya membuat Nana menyemburkan kembali bakso di dalam mulutnya. Tersedak, hampir saja.

Kedua tatapan mata mereka saling bertemu satu sama lain. "S--siapa ...."

"Seorang penjahat. Dia bos mafia yang membunuh banyak orang. Katanya aku harus membayar hutang."

Nana diam. Dia tahu siapa yang dimaksud oleh keponakannya. Mr. Tonny Ayres. "Terima saja."

"Huh?" Rumi menyentakkan kedua alisnya. Jawaban yang tidak disangka akan keluar dari celah bibir Bibi Nana.

"Terima saja. Jika dia bos Mafia, maka dia adalah orang kaya. Poroti harta-hartanya dan bunuh dia setelah itu. Kamu kabur kembali ke Indonesia setelahnya. Las Vegas tidak akan—"

"Darimana bibi tahu dia dari Las Vegas?"

... Bersambung ...