webnovel

Bagian 4

Putri mengakhiri tarian keempat dengan apik. Tepuk tangan bersahutan seiring dengan kotak mengamen yang kembali diisi para penonton. Pertunjukkan hari itu telah selesai. Empat tarian sudah cukup menguras tenaga. Tyas juga telah menghabiskan lima botol air mineral saking hausnya.

Mereka pun mulai bersiap untuk pulang. Putri melepas aksesoris seperti mahkota, gelang, kalung, untuk kemudian menyimpannya dalam kotak khusus. Dia dan Tyas bermaksud berganti pakaian di toilet dan berpesan pada Paijo untuk menunggu sebentar. Namun, baru saja hendak melangkah, terdengar suara sumbang.

"Lebai banget sih orang-orang, tarian jadul gitu kok banyak yang suka?" Celetukan seorang gadis muda membuat Putri, Tyas, dan Paijo kompak menoleh.

Ada dua gadis muda tengah duduk di bangku taman tak jauh dari mereka. Keduanya mengenakan pakaian modis dan kekinian, juga seksi. Paijo sempat melotot melihat kaki jenjang yang mulus, tetapi mukanya langsung dibebat Tyas dengan selendang Putri. Bukannya marah, pemuda itu malah kegirangan karena mengira Tyas cemburu.

"Itu, kan, Tari Jaipong, Rani. Budaya negeri kita lho," sanggah teman si gadis muda julid tadi.

Suasana hati Putri yang mendadak buruk karena hinaan sebelumnya terasa lebih mendingan. Entah kenapa dia jadi mengurungkan niat ke toilet dan duduk kembali, menyimak pembicaraan dua gadis muda itu.

"Tetap aja jadul kali, Tiana. Yang keren itu dance-dance modern gitu, kayak dance K-Pop atau dance barat yang lebih energik," sergah Rani si julid, membuat temannya yang bernama Tiana menggeleng pelan.

Sementara itu, Tyas melotot. Hampir saja dia berdiri dan melabrak si julid Rani. Untunglah, Putri dan Paijo sigap menahannya. Sementara kedua gadis muda melanjutkan obrolan mereka.

"Eh, ngomong-ngomong soal K-Pop, katanya grup idola lo mau datang ke Indonesia, 'kan?" celetuk Tiana.

"Iya, dong. Performanya besok di acara pembukaan hotel yang baru dibangun perusahaan papi gue kerja sama dengan perusahaan dari Korea. Papi juga bakal usahain biar gue bisa ketemu secara pribadi. Pokoknya gue bakal dukung mati-matian deh Oppa Yeon!" seru Rani dengan menggebu.

Tiana menggeleng pelan. "Gue tau ngidol tuh healing buat lo, tapi lo juga mesti mikirin real life juga. Bentar lagi kita udah 30 taon lho, tapi gue liat lo masih doyan war fandom sampai bar-bar. Terus lo enggak kepikiran mau nikah gitu? Ato jangan-jangan lo niat mau nikah sama idol Korea juga lagi?" cerocosnya hampir tak berjeda.

Rani mendecakkan lidah. "Gue enggak segila itu keles. Gue bakal nikah sama Oppa Yeon versi lokal dong."

"Versi lokal?"

"Bang Aldi maksud gue."

"Plis deh, Ran. Lo udah ditolak berkali-kali sama senior satu itu masa, sih, masih ngarep juga."

Rani mencebik. Sementara itu, Putri dan Tyas kompak menutup mulut. Mereka susah payah menahan tawa. Menguping memang bukan perbuatan baik, tetapi entah kenapa aib makhluk angkuh bin julid itu terasa menyenangkan untuk didengar, juga sayang untuk dilewatkan.

"Cuman tujuh kali ditolak, menyerah? Bukan Rani namanya kalo lemah gitu. Gue bakal ngejar Bang Aldi sampai dapat! Terus, kami bakal nik–"

Rani tiba-tiba terdiam. Dia terlihat kehilangan kata-kata. Tiana refleks melihat ke arah pandangan sang kawan. Putri dan Tyas juga ikut menoleh ke satu arah. Sosok jangkung bertopi hitam dengan wajah tertutup masker tengah mendekat.

"Itu bias aku! Bias aku! Oppa Yeon!" Rani heboh sendiri.

Meskipun tidak terlalu mengerti istilah para penggemar artis Korea, Putri bisa sedikit menebak. Menurut dugaannya, sosok pemuda tinggi itu adalah artis Korea idola Rani, yang dari tadi disebut Oppa Yeon. Dia sering mendengar para idola itu kadang harus menyamar, tetapi penggemar fanatik tetap mampu mengenali mereka.

"Hebat juga nih si julid," puji Putri dalam hati.

Sebuah deheman membuyarkan lamunan Putri. Tak disangka, idola Rani sudah berdiri di hadapannya. Pemuda itu tersenyum manis, sehingga menyebabkan sepasang mata sipitnya tinggal segaris tipis. Putri terperenyak untuk sesaat. Namun, dia cepat menggeleng.

"Yes, Mister. Can I help you?" tanyanya ramah.

"No, no, I just ... hmm ... I mean ... it's Beautiful, your dance and the song too," puji si idola.

Putri tersenyum semakin manis. Diam-diam dia melirik ke arah dua gadis muda di bangku taman. Hatinya puas melihat si julid tampak kebakaran jenggot.

"Thank you, Mister. This dance is called Jaipong ...."

Putri pun menjelaskan tentang Tari Jaipong, apa saja gerakan dan maknanya. Si idola mengangguk-angguk dengan antusias. Tyas dan Paijo terperangah, tak menyangka Putri memiliki kemampuan bahasa Inggris sebagus itu. Tentunya, Rani semakin membara di bangku taman.

Di akhir obrolan, artis tampan itu meminta izin untuk mengambil gambar. Tentu saja, Putri setuju. Selain bisa membuat Tari Jaipong lebih dikenal, dia juga bisa membuat seseorang yang sombong terbakar amarah dalam kekalahan.

Putri memasang kembali aksesoris, juga mengambil sampur yang sudah terlilit di leher Paijo. Selanjutnya, dia berpose dengan anggun dan memancarkan pesona tak main-main. Tyas dan Paijo juga tak ketinggalan ikut berpose.

Sementara itu, Rani menggeleng kuat. "Enggak mungkin! Enggak mungkin!"

Dia bangkit dari bangku taman, hendak melangkah ke arah Putri. Namun, tangannya dipegangi oleh sang kawan.

"Udah, udah mending kita pulang daripada kamu emosian," sergah Tiana.

Akhirnya, gadis julid bernama Rani itu diseret pulang oleh temannya. Putri diam-diam tersenyum penuh kemenangan. Si idola tampan juga sudah tampak puas mengambil gambar dan pamit pergi setelah memasukkan beberapa lembar uang bergambar Soekarno Hatta ke dalam kotak mengamen.

"Wah, rezeki nomplok nih kita!" seru Tyas girang setelah mereka selesai beres-beres dan menghitung pendapatan. "Rezeki orang terzolimi mulut julid," lanjutnya, lalu terkekeh.

"Oh iya, ini jatah kamu, Jo."

Putri menyodorkan beberapa lembar uang kepada Paijo. Awalnya, dia memang mau memanfaatkan tenaga pemuda secara gratis. Namun, melihat pendapatan lumayan, Putri menjadi sedikit berbaik hati.

"Enggak usah, Put," tolak Paijo. "Buat adek-adek di panti aja, gimana kalo dibelikan ayam goreng KPC? Kemarin, aku denger mereka kepengen ayam goreng KPC."

Tyas tak sengaja menatap wajah Paijo yang tengah tersenyum tulus. Pipinya mendadak bersemu. Namun, dia cepat menggeleng. Putri tersenyum nakal saat melihat gelagat temannya.

"Kenapa, Tyas? Ada yang tiba-tiba jadi ganteng, ya?" bisiknya jail.

"Apaan sih, Put? Ayo, ayo, pulang!"

"Siap, Yayang Tyas!" Sahut Paijo.

Tyas menjadi bertambah kesal. Dia berjalan lebih dulu dengan langkah yang sangat cepat. Paijo buru-buru mengikuti pujaan hati. Putri terkekeh, lalu mengekori mereka dengan pikiran sedikit berkelana ke masa silam.

"Dulu, aku pun selalu bersemu setiap melihat senyummu, Mas Jo. Kenapa kebencian ini tak bisa menghilang rasa rinduku ...," gumamnya lirih dengan sorot sendu.

***

"40 % sudah nilai maksimal yang bisa kami berikan. Jika melebihi itu, kami bisa merugi," tegas Aldi.

Dia tengah mengadakan pertemuan mengenai pembangunan apartemen. Rekan bisnisnya membuat permintaan tidak masuk akal terkait bagi hasil. PT. Indah Permai Jaya milik Pak Broto Wiguna itu memang sering kali memancing emosi dengan niat licik terselubungnya. Aldi semakin muak karena mereka juga membawa sekretaris seksi dadakan.

Dadakan karena gadis muda dengan tubuh menggoda itu bukan benar-benar sekretaris. Mereka hanya umpan yang digunakan Broto untuk mendapatkan keuntungan besar dari partner bisnis yang mata keranjang. Taktiknya sudah banyak membuahkan hasil bahkan sampai membuat kolaps perusahaan saingan.

Sayangnya, Aldi bukan kucing garong jelalatan. Wajahnya tetap tegas. Keputusan sang Presdir muda tak bisa diganggu gugat. Akhirnya, pertemuan bisa mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

"Terima kasih atas kerja sama Anda sekalian. Saya tutup pertemuan hari ini," ucap Aldi mengakhiri pertemuan yang sudah menguras emosinya itu.

Dia segera kembali ke ruangan presiden direktur, lalu menghempaskan badan di sofa. Tangannya yang penuh baret mengusap wajah. Mata sipit tetapi tajam terpejam.

Aldi benar-benar lelah. Ancaman kakeknya masih terngiang-ngiang, ditambah pekerjaan menumpuk. Belasan pertemuan, juga puluhan berkas yang harus diperiksa dan ditandatangani seolah mencekik leher. Untunglah, pertemuan tadi adalah kegiatan terakhir. Dia bisa segera pulang, mandi air hangat, dan istirahat dengan nyaman sambil memeluk pigura berisi foto gadis itu.

"Wulan, aku rindu ...," lirihnya.

Pintu yang dibuka dari luar membuyarkan lamunan Aldi. Dia membuka mata. Pemuda tampan yang tak lain adalah sepupunya tengah mendekat.

"Gilang?"

"Iya, ini gue," sahut Gilang sembari ikut duduk di sofa.

"Ada apa? Apa ada masalah dengan Proyek di Jalan Kesturi?" cecar Aldi.

Gilang memang mendapat tugas sebagai ketua tim pembangunan taman umum di Jalan Kesturi.

"Ah, Elo kerjaan mulu yang dibahas. Ini, kan, dah mau jam pulang."

Aldi mendelik, membuat Gilang terkekeh.

"Gue ke sini karena khawatir sama lo."

"Gue? Emang gue kenapa?"

Gilang menatap iba, lalu menepuk bahu Aldi. "Gue liat lo kayak pusing seharian ini, Al. Ada apaan emangnya? Apa ada hubungannya sama panggilan Eyang Dirja?" tebaknya.

Aldi menghela napas berat. "Ya, soal foto yang beredar itu."

"Hmm ... Foto dan gosip itu, ya .... Lo tinggal nyari pacar ajalah buat ngebuktiin elo normal," sahut Gilang ringan.

Aldi melotot.

"Hanya ada Wulan ...."

"Elah, Wulan, Wulan lagi! Kayak cewek di dunia ini cuman dia," sergah Gilang.

"Tapi, di hati gue cuman ada dia."

Gilang menghela napas berat, lalu mengelus dagu. Setelah beberapa saat, wajah kesalnya mendadak semringah. Dia menjentikkan jari dengan riang.

"Lu cari pacar kontrak aja, Bro," cetus Gilang antusias. "Gimana kalo Rani anak Pak Broto. Dia, kan, ngefens sama lo pasti rela lakuin apa aja demi lo?"

"Rani ...."

Wajah cantik dengan senyuman manja seketika melintas. Aldi bergidik seiring dengan ingatan masa lalu mampir di benaknya. Memori buruk saat di perguruan tinggi.

***