webnovel

My Boy

Suara bel pulang sekolah pun, akhirnya berbunyi. Zefa yang tengah membereskan buku di kelasnya, menghela napas dalam-dalam. Ia memikirkan berbagai cara untuk menjadi pelarian agar ia tidak bertemu dengan Joshua.

Ia menyangga dagunya dan mulai berpikir lebih kritis serta keras. Tidak mungkin jika ia harus melompat dari jendela, sebab rok nya bisa saja sobek atau yang lebih mengenaskan, jika sampai tersikap ke atas dan ada pria yang tidak sengaja melihatnya.

Hari juga sudah menjelang sore. Dia melihat ke arah jam dinding yang menempel tepat di depan Zefa. Ia hanya akan menjadi hantu penunggu jika terus berada di dalam kelas.

Dengan penuh niat serta keberanian. Zefa lantas berlari lewat pintu. Ia bisa Menghindari Joshua jika dirinya bisa keluar sebelum senior itu sampai ke kelasnya.b

Buak! "Arkhhh," erang Zefa.

"Kenapa kau lama sekali," ucap Joshua. Zefa benar-benar tidak pernah berpikir serta bersikap sembrono jika suatu ide sudah melintas di otaknya.

Ia tidak memperhatikan area di depannya hingga berakhir dengan menabrak dada Joshua yang memasukkan sebelah lengannya ke dalam saku celana seragam serta, satu lengan lagi mengenggam tali tas gendong yang ia sampirkan hanya di bahu kanannya.

Keren sekali.

"Oh kak Joshua, aku baru aja mau menemui kakak," ucapnya kaku. Ia mengulas senyum dengan kekehan paling manis ketika Joshua malah menyipitkan matanya.

Ia setengah merunduk ketika Zefa kurang tinggi serta hanya mencapai dagunya saja. "Kau tidak berencana akan kabur dariku bukan?" tanya Joshua curiga.

Zefa menelan salivanya gugup. "Hahaha tentu saja tidak," jawabnya kaku. Sungguh, Zefa memaksakan semuanya hingga menangkup kedua lengan di depan tubuh sembari berkedip dengan manisnya.

Joshua yang masih mematri datar itupun, lantas menarik pergelangan tangan Zefa dengan erat. Walau Zefa sedikit meringis tatkala Joshua menariknya kuat. Ia mencoba untuk berprotes, walau malah terpaku diam ketika Joshua menyeretnya hingga parkiran.

Joshua pun, lantas melepaskan tangan Zefa, menggerakkan torso agar ia masuk ke dalam kendaraannya.

"Masuklah. Tanganmu masih berfungsi dengan baik bukan?"

"Ma-masih." sahut Zefa. Ia kemudian membuka pintu mobil, ketika Joshua berlalu ke seberang untuk duduk di kursi pengemudi.

Joshua menghela napasnya, jujur... Ia merasa gugup sebab pertama kalinya pergi bersama dengan Zefa.

Joshua kemudian menggulirkan pandangan kepada kursi di sampingnya. Walau ia tercekat sebab tidak ada orang di sana, hingga spontan mengalihkan atensi ke belakang.

Joshua lagi-lagi mendengkus, tatkala mendapati Zefa yang tengah duduk manis di kursi sana. "Ngapain di sana?" tanya Joshua.

"Duduk."

"Kau kira aku sopir pribadi? Cepat pindah kedepan!" ucap Joshua dengan nada tinggi nya. Mendengar hal tersebut pun, Zefa segera beralih ke kursi depan di samping Joshua yang mulai menyalakan mesin mobil dan melakukan nya.

Di sepanjang perjalanan, Zefa terus menatap ke arah luar jendela. Suasana terasa lebih canggung di sini. Bisa di pastikan punggungnya berkeringat saat ini.

Apalagi, Joshua selalu menatapnya tajam, hingga membuat Zefa enggan sekali bertanya.

***

Entahlah, apa yang terjadi pada kedua insan yang saat ini berpijak di sebuah teras cream bermotif. Sebab Zefa saat ini, sedang terperangah, kala Joshua mengajaknya ke sebuah rumah yang sangat besar.

Ia pun memusatkan netra, kepada oknum yang membuat Zefa kini berada di sini. "I-ini di rumah siapa?" tanyanya gugup.

"Rumahku," balas singkat Joshua. Ia menggerakkan torso, agar Zefa melangkahkan tungkai, masuk ke dalam hunian Joshua.

Begitupun dengan Zefa yang sontak mengedarkan pandangan ke seisian ruangan yang tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan. "Kemana semua orang?" tanya Zefa.

Ia mengangumi setiap sudut ruangan yang membuat binaran di matanya menyala, mulai dari berbagai seni lukisan cantik hingga beberapa arsitektur, ukiran yang berhasil memanjakan mata itu pun, pada akhirnya membuat Zefa, lagi-lagi memusatkan atensi kepada Joshua yang berada di sampingnya.

"Ayah kerja, Ibu kerja dan para pengurus rumah sudah pulang, kau duduk dulu aku akan ganti baju."

Zefa mengangukkan kepala tatkala melihat kepergian Joshua yang menaiki anak tangga. Begitupun dengan Zefa yang lekas duduk di atas sofa empuk.

Melihat dari sepinya tempat ini, Zefa menebak, mungkin saja Joshua sendirian setiap hari. Ia pun lantas, menilik satu persatu, foto yang terpajang rapi di ruang tamu.

Atensi Zefa malah tertarik, pada sebuah foto yang berada di dekat sebuah guci besar. Foto masa kecil Joshua yang membuatnya ikut mengulas senyum, sebab anak kecil tersebut juga tengah tertawa dengan riangnya.

"Tatapan matanya tetap menyebalkan sedari dulu ternyata," gumam Zefa. Ia dengan isengnya memencet hidung anak kecil tersebut, saking gemasnya dengan Joshua terdahulu.

"Foto itu di ambil saat liburan sekolah." sontak saja, hal tersebut membuat Zefa terkejut. Ia menggulirkan pandangan, kepada Joshua yang sudah berada di belakangnya.

Zefa lantas menghadap ke arah Joshua dengan sebuah ulasan cantik, yang membuat Joshua merasakan sesuatu yang berdentum di dadanya.

Walau Joshua spontan mengalihkan hal tersebut dengan decakan—sebal, serta menarik Zefa yang mendengkus ketika mendapat respon dingin tersebut.

Joshua menariknya kembali masuk ke dalam mobil untuk beepulang ke rumah Zefa, apalagi tarikan yang sedikit memaksa itu sering kali membuat Zefa terus menghela napasnya sembari bergumam satu kata untuk menebalkan imannnya.

'sabar Zefa'

***

Satu jam pun berlalu begitu saja, setelah mengendarai mobil cukup jauh. Joshua menghentikan kendarannya pada sebuah pusat perbelanjaan ternama di kota tersebut.n

Mereka berdua pun, lantas melangkahkan tungkai bersama-sama masuk ke dalam, sembari berjalan dengan berdampingan.

"Aku ingin membeli barang untuk ibuku dahulu karena satu minggu lagi ulang tahunnya," ucap Joshua.

Zefa memusatkan atensi kepada Joshua yang masih fokus dengan jalanan lurusnya sebab Zefa mulai merasa heran serta bertanya-tanya. Kapan ia akan di antar pulang ke rumah?

"Kenapa kakak gak mengajak pacarnya saja?" tanya Zefa.

"Aku gak punya pacar tapi untuk saat ini kau menjadi kandidat pertama," balas Joshua dengan dingin.

"Kandidat pertama?" Mendengar hal tersebut, Zefa sontak terkejut, walau ia menunjukkan rasa itu di dalam hatinya. Ia hanya bisa mengepalkan kedua lengan bingung antara harus senang atau sebenarnya mengumpat banyak-banyak.

Sebenarnya, Zefa merasa tidak nyaman jika terus mengikuti Joshua seperti sekarang ini, tanpa menanyakan kemana pria tersebut menyeretnya.

Namun, Zefa juga tidak bisa membantah setiap perkataan Joshua. sebab semuanya terasa membeku, hanya karena pria bertipikal pemarah ini menatapnya.

Zefa lebih ke arah takut untuk melawan, di banding menurut serta mau- mau saja di ajak ke sana kemari oleh Joshua yang tidak berkompromi terlebih dahulu dengannya.

Walau semua gerutuan dalam hati Zefa pun, luluh lantah dengan netranya yang mendapati sebuah poster yang terpampang jelas di depan etalase sebuah toko.

"Oh, pacarku," ucap Zefa.

To Be Continued...