webnovel

Chapter 2

Chapter 2 : Tentang Dean dan Rion

Lisha mengganti pakaiannya dengan baju olahraga. Tak lupa, ia mengikat rambutnya. Lisha dengan segera, pergi ke lapangan basket di gedung olahraga.

"Hah, mengapa aku harus mengikuti ekskul ini hanya demi mereka? Harusnya, aku ikut ekskul menggambar..." Lisha melamun sepanjang perjalanan, sampai akhirnya—tanpa ia sadari, ia terjatuh karena tersandung batu.

BRUG!

"Aww..." Lisha meringis. Ia bangkit kemudian membersihkan debu yang ada di celananya.

"Batu sialan." Gumamnya.

Ketika hendak berjalan, mata Lisha melihat sesuatu yang membuatnya agak kaget. Di belakang pohon, ia dapat melihat siluet dua orang yang sedang berciuman.

Karena penasaran, Lisha memutuskan untuk mengintip kedua orang tersebut.

"Hah-mmphh..." Lisha membekam mulutnya sendiri, guna menahan teriakan yang akan keluar. Matanya membulat dan kakinya gemetar.

"Dean, Rion?!"

"Sudah kuduga, sudah kuduga!!" Lisha bergumam kecil, ia tertawa pelan sembari menutupi wajahnya dengan telapak tangannya.

"Kau mendengar sesuatu?" Dean bertanya pada Rion. Rion menggeleng, "Aku tidak mendengar apapun..."

"Ehm... Mungkin aku salah dengar..." Dean menggenggam tangan Rion.

"Ayo."

Dean dan Rion pergi dari tempat itu, meninggalkan Lisha yang masih syok setengah hidup.

"D... dugaanku, selama ini benar. BENAR! KYAAAAAAAAAAAAAAA!" Lisha tak tahan lagi, ia berteriak, ia tak peduli jika orang lain mendengarnya.

***

Dean dan Rion, mereka adalah sahabat sejak kecil. Jika disitu ada Dean, pasti juga ada Rion disitu.

Dean adalah anak yang cuek. Ia tidak peduli pada siapapun, kecuali pada Rion. Dean merupakan anak yang pintar sejak kecil. Semua mata pelajarannya selalu mendapatkan nilai di atas rata-rata. Kekurangan Dean adalah, dia tak bisa bersosialisasi karena sifatnya yang cuek.

Rion, dia adalah kebalikan dari Dean. Jika Dean adalah orang yang cuek, maka Rion adalah orang yang supel dan ramah. Rion memiliki banyak teman, tetapi, kebanyakan dari mereka itu, tidak baik dan bermuka dua. Hal inilah yang membuat Dean menjadi overprotektif terhadap Rion.

Dean dan Rion selalu bersama, dimana saja, dan kapan saja. Mungkin itu karna rumah mereka yang dekat.

Terkadang, Dean akan datang ke rumah Rion jika Rion tidak bisa tidur. Dean akan memeluk Rion, dan mengelus-elus kepalanya hingga ia jatuh tertidur.

Lalu, jika Rion tak mengerti pelajaran yang ia pelajari di sekolah, Dean dengan sabar akan mengajarinya hingga ia paham.

Dean dan Rion sangat-sangat dekat, hingga hampir tak dapat dipisahkan. Dean menyayangi Rion, tapi rasa sayangnya lebih dari itu.

Dean menyadari rasa sayangnya terhadap sahabatnya itu lebih. Ia mencintai Rion. Ia ingin membuat Rion menjadi miliknya, hanya miliknya.

Tapi, apakah Rion merasakan hal yang sama? Itulah yang ia pikirkan.

Dean terus menerus menyimpan perasaannya. Sampai akhirnya, ia tak sanggup lagi. Dean harus mengungkapkan perasaannya.

"Ada dua pilihan. Aku akan mengungkapkan perasaanku, tapi mungkin aku akan kehilangan Rion. Dan yang kedua, aku akan terus menyimpannya sampai... sampai aku mati." Dean frustasi, ia masih bingung harus memilih yang mana.

Jika Dean mengungkapkan perasaannya, itu artinya ia akan lega tapi Rion mungkin saja akan menjauh darinya. Atau memendam perasaannya hingga ia mati, itu artinya ia tak dapat mengungkapkannya dan membiarkan perasaannya terkubur dalam-dalam.

Ya, itu sama saja dengan, membuatnya pergi atau membuatnya bertahan di sisimu.

.

.

.

Hari ini, Dean memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya. Ia tak mampu menahannya lagi. Dean akan menerima konsekuensinya, dan dia tahu, kemungkinan besar jika Rion akan menjauhinya.

Dean sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Rion di sebelah rumahnya. Malam ini, ia akan menginap di rumah Rion. Mungkin saka, ini adalah malam terakhirnya bersama Rion.

Dean mengetuk pintu. Mama Rion membuka pintu tersebut dan menyapa Dean dengan senyuman.

"Kamu mau menginap, kan? Ayo silahkan masuk." Ujar mama Rion, ramah.

Dean membalasnya senyuman Mama Rion kemudian mengucapkan terimakasih.

Dean menaiki anak tangga demi anak tangga. Hatinya resah. Ia masih belum siap, tetapi dirinya tetap memaksakan diri.

Dean mengetuk pintu kamar Rion lalu membukanya. Tidak dikunci.

"Dean?" Rion tersenyum lebar kemudian menghampiri Dean. Ia memeluk Dean, manja.

"Bobo yuk." Rion mengangkat kepalanya, matanya berbinar.

Dean mengelus kepala Rion. "Ada... ada sesuatu yang ingin kubicarakan." Dean tersenyum pahit.

Rion mengangguk. Ia menarik Dean ke tempat tidur.

"Kamu mau ngomongin apa?" Rion menyundul-nyundulkan kepalanya ke dada bidang Dean. Rion saat ini, terlihat seperti anak kucing yang manja.

"Errr..." Dean merasa semakin ragu.

"Em, lain kali. Ini bukan waktu yang tepat." Dean tersenyum. Ia mengelus-elus kepala Rion kemudian menidurkannya di tempat tidur.

"Emm... kenapa?" Rion memeluk erat tubuh Dean.

"Karna ini bukan waktu yang tepat." Dean mengelus-elus kepala Rion, kemudian menyuruhnya untuk tidur.

"Maafkan aku, Rion. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat. Aku belum siap..." batin Dean.

Dean memeluk tubuh Rion dengan sangat erat, seolah-olah ia akan kehilangan Rion. Hal itu adalah sesuatu yang benar-benar ia takuti dalam hidupnya.