webnovel

BAB 8

Elmira tersenyum saat mendengar pertanyaan dari Alana, ya keduanya masih melakukan panggilan video. Alana memang mengetahui kondisinya seperti apa, kedua orangtuanya bagaimana, semua tentangnya Alana tahu.

Sebenarnya itu bukan keinginannya agar Alana tahu, pada saat itu Alana ingin datang ke rumahnya dan kebetulan juga ada kedua orangtuanya. Alana tak sengaja melihat bagaimana Elmira dengan kedua orangtuanya dan berakhir dengan Elmira yang menceritakan semuanya pada Alana.

Untungnya Elmira memiliki sahabat yang bisa mengerti dirinya dan tak membiarkan kondisi keluarganya sampai ke telinga teman-temannya. Yang dilihat orang lain adalah dirinya yang terlahir dari keluarga orang kaya, bisa membeli apapun yang ia inginkan.

Tetapi menurut Elmira hal itu tak membuat dirinya bahagia, justru yang membuatnya bahagia adalah keharmonisan dari keluarganya, bukan hanya dari harta.

'Percaya sama gue, El. Mereka terus-terusan kerja itu juga buat lo, biar lo bisa sekolah lebih tinggi lagi, biar lo bisa beli kebutuhan lo sendiri. Gue bisa jamin kalau mereka itu sayang banget sama lo.'

Belum sempat Elmira menjawab pertanyaan Alana sebelumnya, tetapi Alana sudah lebih dulu melanjutkan perkataannya seolah sudah tahu apa jawabannya. Elmira menggeleng dengan tersenyum miris, pandangannya beralih ke arah lain.

"Gue udah gak yakin akan hal itu lagi, Na. Kalau memang mereka sayang sama gue, pasti kemarin waktu gue pamitan mereka langsung kaget dan gak nganggep hal itu sebagai lelucon. Lo paham gak sih gimana rasanya jadi gue?!" tanya Elmira di akhir kalimatnya dan tanpa sadar nadanya naik, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar emosional jika sudah membahas perkara seperti ini.

Alana menghela napasnya pasrah. 'Gue paham, sangat paham, El. Yaudah sekarang lo istirahat, deh. Gue juga mau ganti baju dulu, nih,' di seberang sana Alana menunjukkan seragamnya yang masih melekat di tubuhnya.

"Sorry kalau tadi gue kesannya marah sama lo."

'Santai aja, yaudah sana istirahat! Nanti malem kita cerita-cerita lagi, bye!'

Panggilan pun terputus, Elmira melirik ke arah luar dan mendengar tawa Rivanya bersama orang di seberang sana. Pasti Rivanya masih berbincang dengan mamanya, Elmira jadi menginginkan hal itu.

Rasanya percuma juga jika dirinya yang terlebih dahulu menelepon mami atau papinya, pasti mereka tak akan menjawabnya karena terus-terusan sibuk dengan kertas-kertas itu. Kertas-kertas yang menurutnya tak ada gunanya.

**

Cklek!

Suara pintu yang terbuka itu bersamaan dengan suara sepatu yang melangkah memasuki rumah. Wanita yang sambil menenteng tas kerjanya itu berjalan menuju sofa lalu menghempaskan tubuhnya ke sana.

"Bi!"

Tak lama kemudian Bi Marni langsung berlari terbirit-birit menghampiri sang majikan. "Iya, Nya? Ada yang bisa Bibi bantu?"

"Tolong buatin orange juice dan panggilin Elmira," perintahnya sembari memejamkan kedua matanya lelah.

Bibir Bi Marni terkatup mendengar itu. Ia hendak memberitahukan perihal keberadaan Elmira, tetapi kedua mata wanita itu terbuka dan menatapnya tajam saat melihat keberadaannya masih di sini.

"Kenapa masih di sini, Bi?! Udah sana cepet buatin saya minuman, saya capek!"

"I-iiya, Nya."

"Elmira!"

"Sayang! Mami pulang cepet hari ini!"

Bi Marni yang sudah selesai membuatkan minuman untuk majikannya itu langsung bergegas menghampirinya, begitu mendengar teriakan dari majikannya membuat dirinya bingung harus memberitahukannya dengan cara seperti apa.

"Ini minumannya, Nyonya."

"Makasih, Bi. Udah dipanggil Elmiranya?" wanita karir itu meraih gelas berisi orange juice lalu meneguknya hingga tersisa setengah.

"Nyonya..." cicit Bi Marni, membuat Yulianne menoleh dan mengangkat sebelah alisnya. "Non El kan ikut pertukaran pelajar di sekolahnya, Nyonya."

Sontak Yulianne langsung menegakkan badannya. "Kenapa saya gak tahu?"

"Bu—bukannya Non El udah pamitan sama Nyonya? Kemarin Non El katanya udah ke kantor buat pamitan."

Kening Yulianne menyernit kala mendengar penjelasan dari asisten rumah tangganya itu, mencoba mengingat kejadian kemarin. Ah iya, Yulianne mengangguk-ngangguk bertanda bahwa dirinya sudah ingat.

"Yaudah, ngapain Bibi masih di sini?"

Mendengar itu Bi Marni terkejut, majikannya itu seolah tak peduli saat mendengar kabar seperti itu. Entah bagaimana perasaan Elmira jika mengetahui bahwa reaksi dari maminya seperti ini, Bi Marni saja merasa sakit hati melihat respon majikannya seperti itu.

**

Malam hari menjelang, Elmira sudah berada di kamarnya sembari bersandar di kepala ranjang dengan tangan yang memegang ponsel. Gadis itu masih berharap ada kabar dari kedua orangtuanya.

Elmira baru saja selesai melakukan panggilan video lagi bersama Alana, mereka berdua menceritakan kegiatan masing-masing. Biasanya mereka menghabiskan waktunya bersama, tetapi kali ini tidak lagi.

Baru sebentar berada di sini tetapi Elmira sudah merasa sangat rindu dengan suasana kelas yang ditemani oleh Alana, sekarang dirinya harus bisa berinteraksi dengan teman-teman barunya.

Ting!

Dengan cepat Elmira menatap ke arah layar ponselnya saat mendengar suara notifikasi, berharap bahwa itu adalah pesan dari kedua orangtuanya tetapi hal itu harus dipatahkan oleh kenyataan.

Itu bukan pesan dari maminya maupun papinya, melainkan dari Rivanya. Elmira menyernit penasaran, untuk apa Rivanya mengirimkannya pesan sedangkan mereka berada di tempat yang sama.

Rivanya: Elmira, aku mau keluar. Kamu mau nitip sesuatu gak?

Tanpa membalas pesan Rivanya tersebut, Elmira keluar dan melihat Rivanya yang sedang duduk di kursi ruang tengah. "Lo panggil gue aja, Nya. Gak perlu chat segala," kata Elmira seraya terkekeh pelan.

Sedangkan Rivanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari tersenyum kikuk. "Maaf, takutnya aku ganggu kamu atau kamu udah tidur. Jadi, aku mastiinnya dengan chat kamu aja."

Elmira menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Oh iya, lo mau keluar ke mana? Udah malem gini, Nya."

"Aku mau ke warung yang deket sini aja kok, El. Kamu mau nitip?"

"Enggak. Mau gue anter?"

Rivanya menggeleng. "Eh, gak usah. Kamu ke kamar aja, aku bisa sendiri kok."

"Yaudah hati-hati ya!"

Elmira kembali ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah menaruh ponselnya di atas nakas, pandangan gadis itu lurus ke langit-langit kamar barunya. Pikirannya tertuju pada kejadian di sekolah tadi—lebih tepatnya saat dirinya sedang menunggu Rivanya.

Seharusnya ia dari awal tak bersikap cuek kepada Varo, lelaki itu tak memiliki salah apapun kepadanya. Padahal Varo berniat baik untuk membantunya mencarikan kelas Rivanya, ya walaupun ujung-ujungnya tidak jadi.

Sepertinya besok di kelas ia harus meminta maaf pada Varo, jika dari awal ia bersikap cuek lantas bagaimana dirinya bisa mendapatkan teman baru di sekolahnya saat ini? Ya meskipun di sekolah barunya ini Elmira hanya sebentar—kurang lebih 3 bulan, Elmira harus tetap memiliki teman karena tidak mungkin juga mengandalkan Rivanya untuk tetap bersamanya.

Elmira dan Rivanya adalah sosok gadis yang berbeda, Rivanya mudah sekali berbaur dengan orang baru sedangkan Elmira tidak.

***