webnovel

Roni Kesal pada Laila

Astagfirullah, tega sekali teman kamu itu, Dre. Sekarang Ayah mendukung kamu untuk mendekati Mosa. Hatinya mungkin sulit menerima orang baru. Karena trauma yang mendalam di hatinya. Selama ini Ayah tahu dia orang baik," ucap Ayah Andre mantap.

"Iya, Yah. Doakan Andre bisa mendapatkan hatinya. Dia memang pantas dibahagiakan. Andre ingin menjadi imam yang baik dan menghapus kenangan buruk terhadap mantan suaminya itu. Aku ingin memberikan keindahan pernikahan jadi traumanya bisa terobati," sahut Andre.

"Iya, Dre. Kamu yang sabar juga. Ayah bisa mendoakan kamu supaya hatinya bisa luluh. Meskipun tidak mudah kalau kamu terus menerus meyakinkannya nanti juga bisa. Sekeras kerasnya baru jika ditetesi air terus menerus akhirnya juga akan bisa berlubang. Selain do juga pray, meminta kepada Allah supaya bisa dipermudah. Nanti Ayah kirim alamatnya Mosa. Di sekolah ada data karyawan," jelas Ayah Andre.

"Iya, Yah. Ya sudah aku mau istirahat dulu," pamit Andre.

*

Sementara itu di tempat lain, Laila baru pulang dari dokter kandungan. Ia masih tidak percaya jika hamil. Ia terus menyesali kenapa bisa hamil. Meskipun awalnya Laila begitu menginginkan hamil, tetapi saat ini rasanya dirinya ingin tidak hamil saja. Tetapi semua sudah terjadi. Kenyataannya adalah Laila kini benar-benar hamil anak Roni.

Ketika sudah sampai di rumah, Laila melihat rumahnya sudah terbuka. Ia melihat ada Roni dan juga ibunya sedang duduk di teras rumah.

"Tuh, lihat istrimu, kelayapan saja kerjaannya. Mana dia nggak pamit sama Ibu mau kemana," sindir Sarni.

"Dari mana kamu, Laila?" tanya Roni.

"Aku habis dari dokter, Mas. Kepalaku pusing dan maag ku kambuh," jawab Laila.

"Halah, pasti dia belanja-belanja. Bohong tuh dia," ketus Sarni.

"Kalau Ibu tidak percaya ya sudah. Aku beneran pusing tapi begitu pulang makin pusing. Mas, aku mau masuk saja, aku makin pusing ada di sini," dengus Laila kemudian masuk ke dalam rumah.

"Lihat itu! Dasar menantu kurang ajar memang. Belum apa-apa sudah melawan Ibu seperti itu," ujar Sarni. "Kamu ya dibilangin istri kamu itu! Yang sopan sama orangtua!"

"Iya, nanti aku kasih tahu dia, Bu."

Hati Laila begitu sakit. Seringkali Ibu Mertuanya duduk-duduk depan rumahnya hanya untuk nongkrong dengan Roni. Padahal Laila sama sekali keberatan jika mertuanya seperti itu. Ia merasa risih seakan dirinya selalu diawasi oleh Sarni.

Sarni memang seringkali duduk di depan rumah Roni. Padahal tidak ada yang dilakukan di sana selain duduk. Laila selalu menutup rumah jika ada Sarni di depan rumahnya. Begitu ditutup bukan malah pergi, Sarni makin lama duduk dan menyindir Laila "Ada orang di luar malah ditutup," begitulah sindirnya.

Laila merasa hidupnya selalu diawasi oleh Sarni. Begitu mengatakan pada Roni, bukannya mendapatkan pembelaan justru ia disalahkan karena hal yang dilakukan Laila dianggap salah.

Laila merasa tidak nyaman dengan hal itu. Maka ia tidak ingin ada orang yang selalu mengawasi gerak gerik nya.

Saat ini Laila sedang mengalami morning sickness. Kepala yang pusing dan bawaannya mau tidur saja. Ia lupa belum membuatkan minum untuk Roni.

Saat Roni masuk rumah, ia mendapati tidak ada kopi di dapur. Lalu menghampiri Laila di kamar yang terlihat sedang tertidur pulas. Roni merasa cukup kesal akhirnya membangunkan Laila.

"Hey, Laila. Kamu ini bangun! Sudah tahu suami pulang bukannya dibikinkan kopi malah tidur saja. Sudah pulang tadi ribut sama Ibu sekarang malah enak-enakan tidur," dengus Roni sembari menyibakkan selimut Laila.

Laila yang merasa pusing kemudian berusaha untuk bangun. "Mas, sudah aku bilang aku pusing. Kamu apa tidak dengar? Aku mau istirahat malah diomelin. Biasanya kamu juga bisa membuat sendiri. Lagian aku biasanya tidak pernah lupa buatkan kamu kopi. Tolonglah nggak usah lebay! Aku mau istirahat sekarang!" Rasa kesal Laila pada Roni sudah tak terbendung. Ia enggan mengatakan kalau dirinya sedang hamil.

Roni pun yang kesal meninggalkan kamarnya dan ke dapur untuk membuat kopi sendiri.

Hari-hari Laila di rumah Roni semakin tersiksa. Bagaimana tidak. Perlakuan Roni padanya hanya sebatas manis di awal. Semakin kemari Roni semakin pelit karena semua yang mengatur keuangan Roni adalah ibunya.

Roni tidak pernah mengajak Laila berdiskusi terhadap sesuatu. Ia hanya mengajak ibunya berdiskusi. Sebagai seorang istri, Laila merasa tidak dianggap.

Keputusan untuk menikah dengan Roni bagi Laila adalah sebuah kesalahan. Tetapi ia tidak bisa pergi begitu saja. Karena Laila sedang hamil.

Hamil muda Laila juga cukup menyiksa dirinya. Setiap hari selalu merasa pusing. Meskipun tidak mual tetapi rasa pusingnya itu menyiksa dirinya. Ditambah lagi sikap Roni yang seperti tidak menganggap dirinya ada membuat Laila menjadi tertekan lahir batin.

Laila tidak ingin melanjutkan pernikahan tetapi alasan hamil tidak mungkin dikabulkan oleh pengadilan.

Mengatakan hamil pun kepada Roni sudah membuat Laila semakin malas. Meskipun ia yakin jika anak yang dikandungnya adalah anak Roni. Karena dulu di pernikahan sebelumnya, Laila juga tidak pernah berhubungan suami istri.

Baru kali ini menikah dengan Roni, ia merasakan hubungan suami istri. Tetapi bayangan Laila berhubungan itu akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa. Seperti yang teman-temannya katakan.

Beda yang Laila rasakan, berhubungan dengan Roni terasa hambar. Ia tidak pernah kenikmatan yang diceritakan teman-temannya. Bahkan biasanya selalu merasakan sakit.

Laila selalu penasaran bagaimana rasanya menikmati surga dunia tetapi ia tidak bisa merasakan bersama Roni. Padahal sebagai manusia biasa yang memiliki nafsu, ia juga mau merasakan hal itu. Tetapi tidak ia dapatkan bersama Roni.

Tiba-tiba Roni menggebrak meja. Laila segera menghampiri Roni.

"Ada apa sih, Mas?" tanya Laila.

"Kamu bisa lebih menghormati Ibuku atau tidak, Laila? Dia sudah melahirkan aku dan menyetujui pernikahan kita. Tapi kamu malah tidak bisa menghormatinya. Aku malu, sungguh malu," ucap Roni keras.

"Kamu kira aku nyaman dengan omongan Ibu kamu, Mas? Aku sering bercerita tentang ibumu yang selalu mengatakan sesuatu yang tidak baik terhadap ku. Selalu mengomentari apapun yang aku lakukan. Tidak pernah ada benarnya aku di mata ibumu. Dan sekarang di mata kamu juga. Kamu selalu membela ibumu. Pernahkah kamu membelaku sedikit saja, Mas?" balas Laila.

"Kamu ini dinasihati malah marah-marah. Benar kata ibu. Kamu memang susah dikasih tahu. Merasa paling benar sendiri. Padahal nyatanya kamu nggak bisa apa-apa," cibir Roni.

"Helo, Mas. Kamu sadar yang kamu bilang barusan itu? Kamu bilang aku nggak bisa apa-apa? Kamu itu yang nggak bisa apa-apa. Kamu laki-laki tapi apa-apan ibumu. Nggak bisa ambil keputusan sendiri. Pantas saja kamu gak bisa keluar rumah jauh-jauh, karena kamu nggak bisa jauh dari ketek ibumu!"

"Kamu ini nggak tahu diri sekali, ya. Kalau ngomong dipikir, kamu ngomong sama suami seperti itu namanya kurang ajar!"

"Hey, Mas. Apa yang aku katakan memang benar adanya kan? Dasar anak Mama!"

Laila semakin kesal dengan perkataan Roni yang menghina dirinya. Laila yang sudah tak tahan lagi dengan semua ini akhirnya juga mengungkapkan perasaannya.

"Kamu memang keterlaluan, Laila. Percuma aku nikahi kamu kalau kamu bersikap seperti ini. Tidak bisa menghargai suami malah mengatai seperti itu!"

"Harusnya kamu sadar diri, Mas. Mungkin kamu menikah dengan siapapun tidak akan pernah berjalan lama. Karena sifat kamu yang kekanakan. Aku sudah tidak tahan hidup dengan kamu. Aku ingin kita pisah. Aku yakin istrimu yang dulu juga tidak tahan dengan sifat mu yang seperti ini. Sudah bagus dia pergi maka aku juga akan pergi."

"Kamu mau pergi, Laila?" sindir Roni dengan tersenyum miring. Ia tahu bahwa istrinya itu jauh dari keluarganya. Di sini hanya ada Roni.

"Aku bisa pergi kemana pun aku mau, Mas."

"Tapi aku tidak mengizinkannya!"

"Kenapa? Padahal istrimu yang dulu meminta pergi justru kamu usir. Kenapa aku tidak?"

"Aku malu Laila. Dua kali menikah apakah aku akan gagal jua. Apa kata orang coba? Ibuku pasti malu juga!"

"Itu urusan kamu, Mas. Sampai kapanpun kalau kamu masih menjadi anak "Mama" kamu tidak akan pernah bisa dapatkan pasangan yang betah sama kamu. Harusnya kamu bisa berubah! Bukan hanya pasangan kamu yang kamu tuntut harus berubah. Kamu itu ngaca, Mas. Kaca besar itu dilihat. Sejauh mana kamu bisa memperlakukan istrimu! Kamu rajin ke masjid tapi nyatanya memuliakan istri tidak bisa. Percuma!"