webnovel

Beringin di Pinggir Jalan

Flash back on

Sepuluh tahun lalu aku mengenalnya, saat aku masih berseragam putih abu-abu tahun pertama. Dia mahasiswa pertambangan semester akhir. Hubungan kami bermula dari situ hingga dia dua tahun kemudian telah bekerja di perusahaan pertambangan dipedalaman Sumatra Selatan dan hanya dapat menemui tiap satu semester itupun hanya beberapa hari.

Affandi Amaluddin, sederhana dan menyejukan. Dia kadang menyejukan namun tak jarang dia menghangatkan. aku begitu jatuh kedalam hatinya yang lembut, dia yang membuatku merasa menjadi wanita dewasa saat usiaku 18 tahun. Bagaimana tidak dia yang kala itu telah berusia dua puluh lima tahun selalu membawaku kerumah orang tuanya. Berusaha mendekatkan aku kepada keluarganya. dia pasti ingin aku segera akrab dengan adik-adik iparku nanti, ya,,,dia ingin aku menjadi istrinya...ISTRINYA. Oh !!! bahagianya hidup, disaat Adira kakakku yang 23 tahun belum menemukan pasangan hidup justru aku yang 18 tahun sudah menemukan pria yang begitu menghargaiku. membuat gadis yang masih berseragam putih abu-abu ini menjadi seorang wanita.

Dia membantuku melalui mimpi buruk Ujian Akhir Nasional, bahkan dia berencana membiayai kuliahku. Ujian cinta kami yang pertama datang dari orang tuanya, tepatnya ibunya. Baginya usia kami terlampau jauh, dan sikap serta sifatku masih kekanakan. Oh ayolah aku sedikit manja tapi tudak kekanakan.

"kau akan lelah Fan, dan kau Mir sebaiknya lanjutkan sekolahmu..."

Aku menegang, aku mengepal tanganku seerat mungkin, buku-buku tanganku memutih. Wanita ini tak tau bagaimana bila emosiku meledak. Aku tak mau meninggalkan kesan buruk, bagaimanapun aku mencintai anak yang dilahirkan wanita ini. Aku ingin menjadi istri Mas fandi, menjadi menantu Ibu Ratih dan Pak Amaluddin. Aku harus sabar dan mengalah, redam emosimu Almira.

**

Satu bulan berlalu, aku sedang sibuk mempersiapkan ujian Universitas, Sebuah telepon masuk.

"Askar memanggil..." aku mengernyitkan dahi. Askar adalah adik bungsu Mas Fandi, usianya setahun diatasku. Dia baru satu bulan lalu menyelesaikan pendidikan militernya.

"ya kar...Assalamu'alaikum" aku menyapanya dengan ceria. Tapi Askar tak segera menjawab, beberapa kali dia berdehem seperti menahan batuk.

"hallo...kamu gak apa-apakan?" aku menghentikan aktifitasku, mulai serius karena Askar tak kunjung menjawab sapaanku.

" ya hallo Al...gimana kabar kamu?" aku mengernyitkan dahiku. Askar berbicara formal padaku, ini tidak seperti biasanya.

"baik kar, ya,,,sekarang konsen ama ujian Universitas dulu"

"ya, kamu yang sabar yah...semua akan berlalu dengan cepat kok" aku terdiam, apa-apaan Askar ini,. Aku hanya sedang ujian Universitas tapi kenapa dia tampak sekhawatir itu. Dan apa dia bilang tadi 'semua akan berlalu' ya iyalah paling Cuma dua hari, kalaupun gak lulus masih banyak perguruan tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia Raya ini.

"iya kar, kamu tenang aja. Aku ini wanita kuat kok...hehe" candaku

"hehe, iya aku tau kamu kuat Al, kalau kamu butuh aku aku akan selalu ada buat dengerin cerita kamu atau bantuin kamu. Keep strong Al ..."

Dia menutup teleponnya. Ah ada-ada saja Askar ini, apakah pendidikan militer membuat dia jadi lebay, ah.. jangan-jangan kepalanya tebentur di pelatihan itu.

Tapi entah mengapa, kata-kata Askar membuat perasaanku jadi tak nyaman. Apalagi Mas Fandi akhir-akhir ini tak lagi menghubungiku walau lewat sms. Aku galau...GALAU sekali, Askar dan Mas Fandi berubah jadi manusia yang tak biasa.

**

Aku merasa Azkar lebay akhir-akhir ini, sikapnya yang mendadak perhatian dan sikap Mas Fandi yang menghilang begitu saja ah, aku jadi galau. GALAU....

Aku memilih memeriksanya langsung, aku juga sering main kerumahnya tanpa diundang. Ahh...abaikan tak tau malunya aku.

Aku tau sekarang jadwal Mas Fandi pulang, kuberanikan diri untuk main kerumahnya. Rumah itu tampak ramai, tendapun terpasang namun tak ada hiasan atau bunga-bunga. Ah...jangan-jangan, aku bergidik ngeri. Aku berlari mendekati halaman rumah itu, aku melihat ada papan ucapan dan yang kulihat adalah_____ ini lebih buruk daripada ucapan belasungkawa. Yah,,, lebih buruk dari ucapan belasungkawa meninggalnya mas Fandi. Disana memang tertera nama Mas fandi, namun ucapan itu adalah ucapan selamat atas pernikahan Mas Fandi.

Ah....dunia ini berputar deras sekali, aku jadi mual. Tanganku dingin dan kaku aku pasti mimpi buruk lagi. Ayo bangun almira...beberapa pasang mata memandangku iba. Askar berlari kearahku, dia memelukku erat, erat sekali. Aku tak tau dari mana air itu berasal, tapi aku merasa mataku basah sekali., pandanganku jadi kabur karenanya. Aku tenggelamkan wajahku didada bidang Askar. Dia membelai rambutku, dan mengecup puncak kepalaku.

"ikut aku yah..." aku diam memandang matanya yang juga berkaca-kaca.

Aku diam saja tak bergerak saat tangannya menyeretku, kaki seperti dipasak hingga tak bias bergerak. Kini mataku menatap tajam keteras rumahnya, disana berdiri orang yang menyakitiku, Mas Fandi dan Ibu ratih. Kulirik lagi papan ucapan itu lalu aku mengikuti langkah kai Askar kemobilnya.

**

Kami diam saja dimobil yang terparkir dibawah beringin. Aku tak berucap apa-apa dan hanya air mataku yang kubiarkan keluar dan tak kuhapus. Askar juga hanya memandangiku dari belakang kemudi. Aku mulai lelah menangis dan berfikir sendiri tentang situasi ini. Semakin aku berfikir semakin tak kutemui jawabannya. Ini terlampau tak adil menurutku, apa alasan Mas fandi melakukan ini. Bukankah aku mencintainya dan dia mencintaiku?

Aku memiringkan tubuhku menatap Askar dengan penghakiman. Logikaku mengatakan dia bukan tersangka, tapi aku tetp ingin menyalahkannya. Sebagai saksi yang tak langsung melaporkan kejadian brutal ini kepadaku.

"maafkan Mas fandi Al...tidak maafkan saja aku, aku tak akan memintamu memaafkannya dia harus memintanya sendiri, kau berhak menolak" aku masih diam dan menatapnya dengan tajam.

"hingga kemarin aku masih mengira kalau Mas Fandi telah memberitahukan kepadamu keputusannya" Askar menelan ludah sebelum melanjutkan perkataannya. Kali ini tangannya yang kekar mencoba membelai rambutku dan kutepis.

"Al...Mas Fandi melakukannya demi masa depanmu, tapi kau bias menuntut penjelasan darinya" kini Askar memalingkan wajahnya. Aku kembali berurai air mata, ada banyak yang ingin kutanyakan padanya, tidak tapi pada Mas Fandi.

Entah berapa lama kami parker disitu dalam kebisuan, wajahku telah berantakan tak karuan. Askar menjalankan lagi mobilnya dan parker disebuah kafe.

"aku tak mau turun" rajukku. Dia kembali terhempas dijok mobilnya.

"Al ayolah, kita makan dulu" aku tak menjawab tapi juga tak menolak. Akhirnya Askar berhasil membujukku masuk kedalam kafe dan memesankanku makanan. Aku masih membisu, makanan ini tersa hambar dan tenggorokanku begitu sakit untuk menelan. Askar meraih tanganku berusaha member kehangatan dan kekuatan kepadaku. Aku tau dia tulus, dia adalah sahabatku sejak aku dekat dengan Mas fandi.

**

Seminggu berlalu dan aku kini menunggu Askar ditepi kolam ditaman. Banyak kata yang telah kurangkai agar tertata rapi dan tak terkesan aku mengemis cinta Mas fandi. Aku ingin menunjukan pada Askar, adik kandung Mas fandi bahwa aku kuat dan oh ayolah aku muda dan berbakat, banyak teman laki-lakiku yang mengemis untuk dapat jalan denganku sehari saja. Tapi lagi-lagi ku akui bahwa aku hanya jatuh cinta pada laki-laki bermata emas itu. Aku kembali tertunduk, kenyataan itu membuat tembok yang kubangun seminggu ini runtuh seketika. Aku gugup, apa yang akan kukatakan pada Askar agar air mataku tak tumpah. Mata, oh mata ayolah kompromi. jangan sembarangan tumpah dan membuatku malu.

"maaf terlambat Al..." Askar masih mengenakan loreng. Bahkan tampaknya dia tak kembali kerumah dulu. Aku memalingkan wajahku, seolah tak peduli. Aku menyembunyikan grogiku dan berusaha mengumpulkan kembali kata-kata yang tadi kabur entah kemana.

"dia pilihan orang tuamu.." aku berdecak sinis. Karena yang ada difikiranku selama ini adalah Mas fandi tak mungkin mudah menghianatiku. Pastilah dia dijodohkan dan dipaksa oleh nyonya Ratih yang kalau bicara seperti tak difikirkan dulu.

"ya Al, tapi Mas Fandi yang menemukannya" kata-kata Askar benar-benar ambigu. Aku mengernyitkan dahi saat bertemu tatapan dengannya.

" dua bulan yang lalu Mas Fandi berkenalan dengannya di Prabumulih, dia mengajar di SMP yang diperuntukkan untuk anak-anak karyawan perusahaan" ah Askar mau main-main denganku.

" dia pilihan Mas Fandi Al, dan ibu menyukainya" tanganku gemetaran, perutku mual. Jantungku berdetak terlalu cepat, nafasku jadi sesak karenanya. Aku menggeleng-geleng membantah ucapan Askar barusan.

"tidak mungkin , kau tau berapa lama kami bersama...empat tahun " Askar menatapku iba.

"EMPAT TAHUN kar, " aku meyakinkannya, padahal aku tau Askar tahu berapa lama kami pacaran karena dia saksi hidupnya.

"tidak mungkin Mas Fandi goyah begitu saja." Aku gemetaran, Askar tak memberi respon yang berarti.

"dan ibumu, berapa lama kau fikir aku mendekatinya, dan dia masih tak juga menyukaiku, heh" aku memalingkan wajahku.

Tak ada air mata yang jatuh, padahal emosiku sudah di ubun-ubun. Askar diam, aku pun diam hanya suara jangkrik dan kodok yang bersahutan. Matahari kian rebah kebarat, suara ngaji di masjidpun sudah terdengar. Aku terlalu lama terdiam, aku jadi tak tu harus bicara dari mana lagi.

" gurukah dia kar" nada bicaraku telah melembut. Askar hanya menganggukan kepalanya tanpa menolehku, dia menunduk.

"guru apa dia?" Askar menolehku. Dia mungkin tak menyangka kalau aku bias tenang secepat ini.

"biologi Al" jawabnya singkat. Aku berpaling dan menatap lurus kedepan, rona jingga menghiasi langit petang itu. Kakiku pun telah digigiti oleh nyamuk yang kurang ajar.

"mata sipit, kulit kuning langsat, tubuh mungil, bibir merah dan hidung yang kecil...seperti itukah dia kar."

Askar terperanjat, tampaknya dugaanku benar.

"bagaimana kau tahu Al..." Askar yang bodoh, itu ciri khas orang Palembang yang bisa kau searching di internet dengan mudah. Hanya saja kebetulan dia memiliki wajah sekhas itu.

" siapa namanya ?" tanyaku seraya menatap lekat mata Askar yang seperti elang. Askar tak langsung menjawab. Dia menatapku lekat seolah meneliti wajahku dengan seksama.

" kak Rina... Nisrina Saufa" lirih Askar. Dia memanggilnya kakak, terdengar akrab dan itu menyakitiku. Wanita itu menang telak terlalu mudah, dia tak perlu berjuang untuk mendapatkan semua yang kuperjuangkan. Aku mengusap air yang mengalir dipipiku, aku berusaha menguatkan diriku.

"dia guru, pasti lemah lembut dan elegan...itulah alasan ibumu menyukainya tanpa mengenalnya lebih jauh."

Askar diam, dia pasti tau sakit hati yang kurasa. Bagaimanapun aku bertahun-tahun berusaha mencuri hati Ibu Ratih tapi semua tak pernah dia hargai. Askar meraih pundakku, aku spontan menolehnya dan sesaat kemudian bibirnya menyatu dengan bibirku. Aku tak melepasnya, aku merasa lebih damai. Inikah ciuman itu?? Empat tahun dengan Mas Fandi tak sekalipun dia menyentuhku seintim ini. Aku meremas seragam Askar dan mulai masuk dalam sihirnya. Aku bahkan merasa tak rela saat Askar menjauhkan bibirnya. Kami terdiam, aku menunduk seolah menghitungi daun rumput yang kelelahan menopang berat tubuhku.