webnovel

Diskriminasi Sekolah

Aku sedang berlari kencang dengan memakai seragam sekolah, topi di kepala yang melindungi diri dari terik, dan headset yang terpasang ditelinga. Masih tersisa seratus lima puluh meter lagi, untuk sampai di SMA Prabangga, salah satu sekolah elit di kota ini.

Selama berlari sejauh lebih dari satu kilometer, belum sekalipun aku berhenti untuk istrahat. Kaki melaju tanpa henti, berharap tidak terlambat. Hingga tiba di depan gedung berlantai empat, dengan pagar yang sudah tertutup. Baru saja ingin berucap, seorang perempuan menganggu konsentrasiku.

"Pak! Pak! Tolong dibuka, Pak! Aku siswa yang akan mengikuti tes hari ini!" tutur perempuan di sampingku dengan menggebu-gebu dan napas yang masih terengah-engah. Keringat bercucuran dari dahi, tangan tidak berhenti mendorong-dorong pagar.

"Kamu telat sepuluh menit. Siswa yang ujian sudah masuk di dalam kelas dari tadi. Harusnya, kamu datang ke sini maksimal tiga puluh menit sebelum ujian di mulai," ujar seorang satpam yang menggunakan pakaian hitam. Dia berkata tanpa senyum, terlihat jutek.

"Kamu juga siswa baru yang ingin tes di sini?" Satpam berkata lagi sambil melihatku. Siswa perempuan yang ada di samping, menoleh padaku.

Aku menganggukan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan satpam.

"Tolong dibuka, Pak! Izinkan aku masuk. Kalau laki-laki ini terserah bapak deh, mau diizinkan masuk atau tidak. Aku ingin sekali lanjut sekolah SMA di sini, biarkan aku masuk, Pak! Kalau Bapak izinkan, aku akan kasih Bapak gula-gula," perempuan di sampingku kembali bersuara. Dia merengek sambil menghentak-hentakan kaki. Aku menyadari, jika sesekali perempuan ini mencuri-curi pandang untuk melihatku.

Mau apa dia? Dasar perempuan aneh! Kalau tidak diizinkan masuk, ya sudah! Untuk apa mengemis seperti itu. Hanya mempermalukan diri saja. Tingkahnya sungguh sangat menjijikan.

Dari tempatku berdiri, terlihat seorang guru dengan baju putih dan celana hitam melangkah ke arah gerbang. Aku berdoa dalam hati, semoga dia akan menjadi malaikan penyelamat.

"Tidak bisa! Kalian sudah terlambat! Apa kamu tuli? Aku sudah katakan, semua siswa yang ikut tes wajib berada di sini sejak tiga puluh menit yang lalu! Apa kamu tidak dengar?" Satpam itu kembali berkata dengan suara yang tinggi. Tidak bisakah dia sedikit lembut? Walau bagaimana pun, yang mengajaknya bicara ini adalah seorang perempuan. Jika tidak suka, lebih baik diam.

"Kamu juga, kenapa masih di sini? Sana pulang! Apa kamu juga tuli?" lanjutnya, sambil melihatku.

Kenapa dia menyalahkan aku? Sedari tadi aku tidak berbicara apapun. Bahkan untuk menjawab pertanyaannya, aku hanya menganggukan kepala.

"Tapi, Pak? Bapak tidak boleh begitu loo. Nanti kualat. Apa bapak tidak tahu hukum karma?" ujar perempuan di sampingku lagi, sambil badan bergidik ngeri. Aku berpura-pura tidak menyadari tingkahnya.

"Sudah aku katakan, tidak bisa! Sekarang kalian pulang! Tinggalkan sekolah ini!" Satpam kembali berkata dengan tegas.

"Biarkan mereka masuk! Buka gerbangnya!" ujar seorang guru yang aku lihat tadi, dia baru saja tiba di gerbang.

Gerbang pun terbuka. Satpam yang menjaga tidak berkutik, langsung mengikuti perintah. Dia lalu menunduk hormat kepada guru, sebelum langkah guru itu meninggalkan kami.

Aku dan perempuan yang belum kutahu namanya, masuk dengan langkah yang tidak beriringan. Aku jalan di depan dan dia di belakang. Saat aku berjalan cepat, dia pun mengikuti. Terdengar dari langkah kaki yang tidak begitu jauh dariku.

Mungkin dia tidak menyadari, jika aku tahu dia mengikuti langkahku. Sebab, telinga sejak tadi tertutup dengan headset. Sebenarnya headset ini hanya hiasan, tidak ada suara yang keluar dari speakernya

"Kamu dari sekolah mana?" tanya perempuan itu, sekarang dia sudah berjalan sejajar denganku. Mungkin, ingin mengakrabkan diri.

Aku tidak menjawab. Tetap berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Aku tidak butuh teman, bisa hidup sendiri tanpa seorang teman. Mungkin banyak yang tidak percaya. Namun buktinya, hingga kini aku masih bisa bernapas.

Aku dan pempuan yang sedari tadi bersama denganku, disuruh untuk memasuki ruangan. Sudah tersedia dua kursi dan meja. Aku langsung masuk dan duduk di kursi. Melepas headset yang sedari tadi menutup telinga, duduk manis dan melipat tangan di atas meja. Sedangkan dia tidak langsung duduk, hanya menaruh tas di atas meja, lalu keluar kelas entah ke mana.

Aku yang merasa ingin menuntaskan sesuatu, juga ikut keluar. Di tangan masih ada tas. Aku tidak mau menyimpannya di atas meja, takut ada barang yang hilang. Aku belum mengenal siapapun di sekolah ini. Bisa saja 'kan, buruk sangka itu terjadi. Sambil melangkah terburu, aku keluar dari ruangan. Jangan sampai telat lagi masuk ruang ujian. Bisa bahaya jika guru pengawas sudah lebih dulu berada di dalam ruangan.

Saat perjalanan, aku melihat perempuan tadi. Namun, dia tiba-tiba berhenti melangkah. Tidak peduli, aku tetap melangkah ke arahnya, yang merupakan arah menuju toilet. Letak toilet aku tahu dari cleaning servis yang aku temui saat berjalan.

"Kenapa siswa-siswa yang terlambat itu di izinkan masuk?" Aku langsung berhenti, saat mendengar pertanyaan itu. Kini aku hanya selangkah berada di belakang perempuan tadi.

"Kepala sekolah sedang ada tamu, pejabat pemerintah dari kementerian. Tadi wakil kepala sekolah menyuruhku untuk memasukan mereka. Teriakan siswi perempuan itu sangat menganggu. Lagi pula sebenarnya mereka belum terlambat. Masih ada waktu lima belas menit lagi."

Mendengar penuturan yang membuat hati kaget, aku langsung menarik tangan perempuan itu agar mundur. Tidak lupa, tanganku juga menutup mulutnya agar tidak berteriak. Jangan sampai kami ketahuan jika sedang menguping di balik tembok.

"Iya juga sih. Paling juga mereka tidak bisa mengerjakan soal karena grogi. Biasanya 'kan begitu. Orang-orang yang datang terlambat, konsentrasinya akan terganggu. Soal yang mudah, bisa jadi susah untuk di pecahkan. Apalagi soal yang sulit."

Dua guru sedang berbincang berada di dalam toilet yang pintunya tidak tertutup rapat, sedangkan kami ada di samping toilet. Mungkin mereka sedang berhias atau merapikan diri, sebelum keluar dari dalam toilet.

"Harusnya siswi itu tidak perlu berteriak-teriak. Percuma, dia juga tidak akan lulus meskipun ikut ujian."

Mendengar percakapan mereka, perempuan ini langsung berusaha melepas tangan yang menutup mulutnya. Dia lalu menatapku dengan tajam. Aku melepas, namun tangan memegang kuat pergelangannya.

"Lepas!" Bibir berucap tanpa suara. Aku menggeleng dan semakin erat memegang tangannya. Meskipun baru saja kenal, aku sudah bisa menebak seperti apa karakter perempuan ini.

"Iya benar, Bu! Kuota di sekolah ini sudah penuh. Coba deh lihat, penampilannya saja seperti itu. Bagaimana bisa masuk di sekolah ini. Jangan sampai deh, sekolah kita ada murid yang penampilannya seperti dia. Karena otak dan penampilan itu selaras. Kalau penampilan saja buruk, apalagi isi otaknya. Iya nggak, bu!"

"Aku setuju dengan ucapan itu. Dan kalau penampilan buruk, pasti karena isi dompet tidak ada. Dia mau membayar uang sekolah pakai apa?" Guru yang berbicara tertawa diakhir kata.

"Tapi kalau yang siswa, sepertinya dia anak orang kaya. Coba deh lihat dari penampilannya."

Dua guru itu lalu keluar dari toilet. Aku langsung memegang bahu perempuan ini agar berbalik menghadapku. Berharap guru-guru itu tidak menyadari keberadaan kami.

"Iya, Bu. Tetapi, kuota sudah penuh. Mereka berdua percuma ikut ujian ini. Buang-buang waktu saja," ucap salah satu guru sambil tertawa di akhir kalimat. Mereka masih melangkah, untung saja tidak ada yang melihat kami.

Siswi ini langsung melepas tanganku dengan kasar. Dia menatapku tajam, "kenapa menghalangi aku untuk masuk?"

Aku tidak menjawab ucapannya, langsung meninggalkan dan masuk ke dalam toilet pria.