"Kalian ini sebenernya kenapa?" tanya Ibu dengan nada frustrasi.
Aku bungkam, tak berucap sepatah kata pun. Begitu juga Bang Dika yang duduk di sebelahku. Aku tahu, cepat atau lambat Ibu akan mengetahuinya. Sekarang, kami duduk di dengan kepala tertunduk di hadapan Ibu.
Ketika aku dan Bang Ares tiba di rumah, Bang Dika sudah sampai lebih dulu. Dia menatapku sinis, membuat hatiku seolah tercubit karenanya. Beruntung, Bang Ares menggenggam erat tanganku. Aku mendongak, Bang Ares memberiku kekuatan lewat senyumannya.
"Nggak apa-apa. Abang tungguin kamu di taman belakang," bisiknya sebelum kemudian beranjak pergi.
"Sekarang, jelaskan sama Ibu. Kenapa kalian berantem? Ada masalah apa?" tanya Ibu.
Ibu terlihat gemas, karena sejak duduk di ruang tengah hampir lima belas menit yang lalu, kami masih saling diam. Ibu memang paling tidak suka jika anak-anaknya bertengkar dan selalu mencari cara untuk mendamaikan kami ketika itu terjadi.
Terdengar suara helaan napas Ibu. "Dengar," kata Ibu. "Ibu nggak tau ada masalah apa di antara kalian dan Ibu memang nggak mau tau. Kalian sudah dewasa dan pasti bisa menyelesaikan sendiri persoalan ini. Ibu tidak akan ikut campur dengan permasalahan kalian," pungkasnya dengan nada lelah, kemudian meninggalkan kami berdua dalam keheningan yang membuatku merasa canggung dan sesak.
Aku bangkit, merasa takkan kuat berada lebih lama di ruangan yang sama bersama Bang Dika. Lalu, melangkah ke taman belakang di mana Bang Ares sudah menungguku.
Pemuda beriris biru itu tengah duduk di gazebo, tempat kami biasa berkumpul. Dia tersenyum ketika melihatku menghampiri, lalu duduk di sampingnya. Kemudian, ia mengusap puncak kepalaku. "Gimana?" tanyanya.
Aku mengedikkan bahu, berusaha agar terlihat tak acuh. "Ya, gitu. Kata Ibu ...." Aku mengutip perkataan Ibu tadi. Tidak seratus persen persis dengan yang Ibu katakan, tetapi artinya kurang lebih sama.
Bang Ares mengangguk. "Iya, Aunty bener," sahutnya singkat. Dia mengambil gitar yang memang sengaja disediakan di sini. "Mau nyanyi, nggak?" tawarnya.
Aku mengangguk tanpa perlu berpikir. Kami memang sering bernyanyi bersama ketika berkumpul. Andai Bang Dika ada di sini, mungkin ....
Aku menggeleng, mengenyahkan pemikiran bodohku. Dia udah jahatin lo, Naa. Lo jangan bego. Udah waktunya lo move on. Ada Bang Ares yang lagi nungguin lo bales perasaannya, batinku mengingatkan diri sendiri.
Bang Ares mulai memetik senar gitarnya. Dia terlihat begitu mendalami lagu yang akan kami nyanyikan. Aku tertegun mendengar pilihan lagunya. Kenapa dari sekian banyak lagu, dia harus memilih ini?
Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Tatapannya sarat akan luka dan kesedihan. Dia tampak begitu rapuh. Aku balas menatapnya. Tiap kata yang terucap serasa seperti belati yang kembali menggores luka di hatiku yang belum kering.
Bang Ares terluka. Aku bisa melihatnya dengan begitu jelas. Tiap patah kata membuat dadaku terasa semakin sesak. Aku telah melukainya. Namun, dia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapanku.
Kami sama-sama tengah merasakan sakit. Aku terluka karena Bang Dika, dan Bang Ares dikarenakan olehku. Lalu, apa bedanya aku dengan Bang Dika? Aku tak lebih baik darinya.
Aku memanfaatkan perasaan Bang Ares, menjadikannya pelarianku, kemudian melukainya dengan begitu kejam. Aku sendiri tahu, untuk saat ini, hatiku masih dimiliki Bang Dika. Dan entah sampai kapan aku bisa melupakannya. Mungkin takkan pernah.
"Kamu kenapa nangis, Sayang?" tanya Bang Ares sembari menghapus air mataku.
Aku memeluknya sembari menggumamkan permintaan maaf. Aku menangis tersedu-sedu. Bang Ares hanya menepuk-nepuk punggungku. Dia tak mendesakku, meskipun kutahu kalau dia sangat ingin menanyakan alasanku tiba-tiba menangis.
"Maafin Naa udah nyakitin Abang. Padahal ... padahal Abang baik banget sama Naa. Maaf, Naa masih belum bisa cinta sama Abang," kataku tersedu.
Bang Ares menangkup kedua sisi wajahku, kemudian tersenyum lembut. Tatapannya begitu teduh dan menenangkan. Dia berujar, "Nggak apa-apa, Sayang. Abang baik-baik aja. Kamu nggak perlu ngerasa bersalah. Abang tau kalo perasaan itu nggak bisa dipaksakan. Tapi Abang bakal berusaha bikin kamu jatuh cinta sama Abang." Dia mencium keningku dalam dan lama.
Suara tepuk tangan membuat kami sontak saling menarik diri. Tampak Bang Dika tengah berdiri sembari menatap sinis pada kami. "Woow, menyentuh sekali. Jadi, dia pacar lo?" tanya Bang Dika disertai ekspresi mengejek.
Aku hanya melengos, sedangkan ekspresi Bang Ares menegang. Rahangnya mengencang, tatapannya tajam seolah dia siap membunuh Bang Dika kapan saja. Aku menyentuh tangannya, kemudian meremasnya sembari menggeleng pelan.
"Kita pergi aja, Bang," bisikku. Meskipun terlihat enggan, tetapi Bang Ares menurut.
"Ngapain aja lo selama seminggu di apartemen Ares? Latihan jadi cewek nggak bener? Duit dari gue udah abis, jadi lo nyari duit dengan cara lain?" perkataan Bang Dika menghentikan langkah kami. Hatiku serasa hancur berkeping-keping. Dia telah membunuhku untuk yang kesekian kalinya. Seharusnya, setelah dia menyakitiku begitu dalam, aku membencinya. Namun, kenyataannya berbeda.
"Berengsek!" maki Bang Ares.
Aku tak menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja Bang Dika sudah tersungkur di rumput taman. Sudut bibirnya berdarah.
"Gue nggak tau kenapa lo jadi berubah kayak gini. Sama sekali nggak nyangka lo tega ngehina Siena sebegitu kejinya."
Bang Ares merenggut bagian depan kemeja Bang Dika, lalu kembali melayangkan tinjunya.
"Bang, udah!" Aku berteriak, meminta Bang Ares menghentikan apa yang ia lakukan. Ini pertama kalinya aku melihat kemarahan Bang Ares begitu meluap-luap. Pemuda beriris biru itu menatap nanar Bang Dika. Dadanya naik-turun, napasnya memburu.
Bang Dika bangkit dengan susah payah. Wajahnya penuh lebam. Dia terlihat meludahkan darah, kemudian tersenyum mengejek ke arah Bang Ares sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
"Jangan pernah lo jelek-jelekin Siena. Bahkan, jangan sebut nama Siena dengan mulut lo yang busuk itu!" desis Bang Ares menatap Bang Dika dingin dan dengan sorot mata penuh kebencian.
"Lo nggak perlu khawatir Siena bakalan ngabisin duit lo. Mulai sekarang, semua kebutuhan Siena bakal gue tanggung. Karena setelah dia lulus sekolah, gue bakal langsung nikahin dia," pungkasnya.
Aku tertegun mendengar perkataan Bang Ares. Kulirik Bang Dika, berharap menemukan dia sedikit merasa terguncang atau apa pun itu. Namun, aku salah. Bang Dika menyeringai lebar, kemudian mengedikkan bahu tak acuh.
"Syukurlah kalo gitu. Jadi, dia nggak perlu nyusahin dan jadi beban gue lagi," ujarnya tak acuh, kemudian melenggang pergi meninggalkan kami begitu saja.
Kakiku melemas. Tanah di bawahku seolah berubah menjadi lunak. Aku jatuh bersimpuh sembari menutup wajah menggunakan kedua tanganku. Beban? Dia menganggapku beban?
Sebuah lengan menarikku ke dalam pelukannya. "Nangis aja. Nggak apa-apa, kok," bisik Bang Ares lembut.
Aku berusaha menelan setiap isakan yang akan keluar. Namun, semua ini terlalu menyakitkan. Pertahananku runtuh, kemudian tangisku pecah.