tepat pukul dua siang.
aku duduk di atas sofa bangunan rumah. menggenggam remot dan menekan digit beraturan guna menyibukkan pandangan. orang yang bekerja di dalam televisi itu terlihat piawai melakukan tugasnya, ada yang tarik suara, wawancara, dan berlakon ria. bahkan ada yang makan untuk mendapat uang, lucu. terkadang aku iri dengan anak seusiaku yang menampakkan dirinya di balik layar, mereka terlihat menikmati masa muda dan kehidupan sekolahnya, bahkan karirnya. orang tua mereka terlihat bangga saat anaknya pandai unjuk gigi di depan kamera.
"apa iya?"
setahuku, kamera adalah alat samaran beberapa orang. anggap saja topeng. apa yang di belakang tak semestinya sama dengan apa yang ditunjukan. seperti para petinggi itu.
"adam, kamu sudah mandi?"
suara sumbang itu mengguncang jantungku, bahkan aliran darahku sekelip mendingin kala suara itu meruak ke dalam telinga.
aku pun membalasnya, "sejak kapan ayah pulang?"
ayah duduk di sampingku. "baru saja, ayah naik mobil jadi suaranya gak kedengeran," ucapnya.
"ngapain ayah pulang?"
"kamu sudah mandi?" tanya sembari ayah menoleh ke arahku hingga kacamata kendurnya bergoyang.
"belum."
"mandi sana," ucap ayah yang kemudian mengganti siaran sambil menyilap kedua tangannya.
"buat apa?"
ayah kembali menoleh ke arahku. "kok kamu banyak tanya?"
nada bicara tak suka itu menular ke perasaanku, aku jadi tak suka bicara dengannya. memang sih, sejak silam aku sudah antipati dengannya.
aku beranjak untuk mandi, kemudian ayah melakukan hal yang sama. kukira ia ingin berbicara denganku, rupanya ia ingin keluar tanpa menoleh ke arahku sama sekali. baguslah, setidaknya momok itu tak mengusik detik-detik hidupku yang mulai membusuk.
(.)
seusai mandi aku kembali bergegas ke ruang tamu, mengharapkan televisi dan remote menyapa kehadiranku, tanpa mengharapkan kehadiran rudal berjalan itu.
namun, keadaan lebih buruk dari harapanku.
televisi dan remote yang akan menyambutku bahkan tak terlihat karena badan ayah menutupi kehadirannya. ayah tak sendiri, ia bersama dengan dua orang lelaki. lelaki pertama dengan rambut undercut, ia terlihat masih muda namun lebih tua dariku, dan satu lagi—ia kelihatannya anak yang baik. wajahnya ceria, aku berani jamin bahwa siapa pun yang menilik wajahnya akan bahagia. aku merasa jengah untuk mendekat karena bagiku sosialisasi adalah hal asing. apa mungkin, dikurung bertahun-tahun seperti ini dapat membuatku akrab dengan orang anyar?
ayah menggerakan jemarinya guna menarik hasratku untuk tampil. tapi,
aku benar-benar malu.
"gak usah malu, masa sama saudara sendiri begitu."
jahanam.
hatiku sakit rasanya.
benar-benar sakit sampai sampai tak bisa menangis.
jadi, mereka anak ayah, yang selama ini sering ayah banggakan di televisi? jahanam. mengapa harus membawa mereka di hadapanku, aku tak berharap bertemu dengan mereka, aku tak berharap akan mengenal mereka.
lagi pula, dari kepulangan ayah saja aku sudah heran. ayah tak pernah pulang ke rumah ini, ia hanya pulang ke rumah kedua istrinya, yang senantiasa mengunjungiku hanyalah paket grabfood atau beberapa orang yang katanya suruhan ayah. ayah tak pernah mengharapkan kehadiranku, rumah ini adalah tempat sampah milik ayah, yang isinya hanya ada aku dan beberapa alat yang merupakan kesaksian uang haramnya.
"duduk sini adam .... nih, anak ayah pengen banget ketemu sama kamu," tutur ayah, mempersilahkan aku untuk duduk.
bodohnya aku menuruti.
"kenalin, gue wilang. kita seumuran nih," ucap anak lelaki yang benar benar seumuran denganku. ternyata perkiraanku benar.
ia mengulurkan tangannya dengan ekspresi kalis. aku tetap mengeluarkan wajah melankonis sebagai bentuk perwujudan suasana hatiku.
aku menerima ulurannya.
"hm, wilang. udah berapa lama lu dikurung?" tanyaku nekat lantaran emosiku yang kian memanas.
wilang mendelik. aku bisa melihat kecemasan dalam matanya. ayah, dan satu lelaki di sampingnya terlihat tergemap atas pertanyaanku.
"adam, ingat! ayah mau memperkenalkan kamu, bukan memper—"
"salam kenal. saya adam, saudara tiri kamu." tak akan kubiarkan ayah berbicara lebih. sok pandai.
aku melepaskan uluran tangan. masih dengan wajah datar, aku menunggu giliran lelaki jakung di hadapanku untuk segera memperkenalkan diri.
"napa lu liat-liat?" tanya lelaki jakung itu.
aku memalingkan pandangan.
"haha, kalian ini akur banget ya? udah pinter bercanda sekarang!" tukas ayahku yang tak mengerti itu.
lelaki itu terkekeh, lalu berucap, "gilang, dua puluh tiga tahun. gak usah sok sedih gitu, muka lu lebih menyedihkan daripada rakyat miskin."
aku tak marah.
karena menurutku dia tak salah.
"lu tuh kalau bercanda kelewatan!" sergah wilang. "mending kita ngomongin pendidikan. adam, sekarang kuliah di mana?" tanya wilang.
ayah yang duduk di sebelahku pun menginjak kakiku.
"di universitas biasa," ucapku.
bisu sudah aku. memangnya apa yang harus dijawab oleh anak yang sedang terkubur di dalam rumahnya?
"oh, swasta atau?" masih dengan orang yang sama.
"majelis," ucapku.
hal ini membuat ayah kembali menginjak kakiku dan gilang tertawa keras. ya, anggap saja aku bodoh, tak apa.
aku sengaja mengatakannya. agar ia tahu bahwa aku sedang berbohong.
"haha, adam ini suka bercanda!" ucap ayah.
"lawak lo badut. eh, mungkin maksud lu, uin?" tanya gilang memantapkan.
aku tak mau di sini lagi. tak mungkin aku berbohong.
"tanya yang lain aja," tukas ayah menengahi dengan raut datarnya.
"oke. adam, mamah lu di mana?" tanya gilang.
"baru aja gue mau nanyain itu," ucap wilang sambil cemberut.
"habisnya gue heran. masa sepi banget nih rumah?" gilang terkekeh sambil menunggu jawaban dariku.
bolehkah aku teriak? teriak kepada ayah untuk pergi dari kehidupanku, kalau ayah tak bisa. biar aku saja.
ayah, rasanya sakit sekali, yah.
kumohon untuk sekali ini aja, biarkan aku mati bersama orang-orang benar itu. belum puas kah ayah menjilat bangkaiku?
•