webnovel

Beautiful

Hidup tak akan berhenti meski kita ingin berhenti. Hidup tak akan berbaik hati kepada kita yang tak mau terluka. Hidup yang sebenarnya membuat kita merasakan apa itu kesedihan dan apa itu kebahagiaan. Barulah dikatakan hidup jika kita merasakan semua perasaan-perasaan itu. Jangan hanya tersakiti sekali membuatmu menyerah, jangan sampai menyesal pada akhirnya. Dengan merasakan berbagai perasaan itu membuatmu merasakan keindahan hidup yang sebenarnya. Sungguh tak ada keindahan yang lebih baik lagi daripada hidup ini. Seperti kisah Narendra Bagas Permana. Seseorang yang tampan, kaya raya, terlebih dia adalah seorang dokter spesialis. Siapa wanita yang bisa menolak pria seperti itu. Bisa dikatakan deskripsi laki-laki itu sangat sempurna tanpa celah. Parasnya yang rupawan membuat para wanita tergila-gila padanya. Tetapi, semenjak Narendra merasakan apa itu terluka, dia tak pernah merasakan lagi yang nama jatuh cinta. Dia menutup hatinya rapat-rapat karena dia tak ingin terluka untuk kedua kalinya. Mungkin sebagian orang mengatakan dia terlalu pengecut namun jangan hanya mencela jika tak pernah merasakan sendiri apa itu terluka. Dia berubah menjadi sosok yang dingin kepada semua orang tapi siapa yang tahu dibalik sikap dinginnya dia menyimpan luka yang cukup dalam. Tetapi setelah dia bertemu dengan sosok cantik itu perlahan sikap dinginnya mulai mencair. Dia kembali merasakan perasaan-perasaan aneh yang membuatnya bingung. Perasaan-perasaan yang sudah lama tak ia rasakan. Apakah dia kembali merasakan indahnya hidup. Semoga saja, dia bisa merasakan keindahan dalam hidup ini.

Indah_Sari_2781 · Urban
Not enough ratings
9 Chs

Nayasila Prastiti Atmadja

Dia terbangun, rasanya cukup lama ia menutup mata. Saat ia sadar, ia tengah berada di ruangan yang menurutnya tak asing.

"Eh, Dokter Nay udah bangun?" tanya perawat.

"Iya sus, kenapa saya ada di sini ya?" tanya Nay bingung.

"Tadi Dokter Nay pingsan, terus dibawa sama Dokter Rendra ke sini. Dokter beruntung banget kamuh, bisa digendong Dokter Rendra."

"Dokter Rendra siapa ya sus?"

"Masak Dokter nggak tahu, beliau kan satu department sama Dokter Nay."

"Terus beliau ke mana sus? Saya mau mengucapkan terima kasih."

"Nanti katanya ke sini Dok, sekarang Dokter Rendra masih di jalan katanya."

"Oh, kalau begitu saya mau kembali ke department saya ya sus, pasti banyak yang nyari."

"Eh, jangan Dok. Tadi Dokter Rendra pesan ke saya supaya Dokter habisin infus dulu, nanti kalau Dokter pergi saya yang kena marah."

"Aduh, saya jadi nggak enak sus."

"Nggak papa Dok, sekarang Dokter makan dulu ya!" ujar perawat itu ramah.

Nay menerima makanan dari perawat itu dan memakannya perlahan.

"Kalau boleh jujur, saya setuju kalau Dokter Nay sama Dokter Rendra."

Sontak Nay tersedak karena terkejut.

"Maksud suster apa? Bukannya Dokter Rendra udah menikah pastinya, iyakan?" ujar Nay bingung.

"Eh, sepertinya Dokter Nay beneran nggak tahu ya. Dokter Rendra itu masih lajang dan belum menikah."

"Masak sus, saya kira Dokter Rendra itu udah berumur jadi pasti sudah menikah."

Perawat itu geleng-geleng kepala, karena Nay sama sekali tidak mengenal Dokter Rendra.

"Eh, Dokter Rendra."

Nay sontak menengok ke arah seseorang yang datang menghampirinya. Nay, membulatkan mata karena terkejut.

"Kamu sudah baikan?"

"Iya, sudah Dok." Ujar Nay menunduk.

"Baguslah, kalau infusnya sudah habis kembalilah bekerja. Tadi saya sudah bilang pada atasanmu kalau kamu pingsan jadi kamu bisa beristirahat sejenak."

"Terima kasih dan maafkan saya Dok!��

Rendra pun keluar dari ruangan tanpa menjawab, sedangkan Nay masih terpaku.

"Dokter Nay nggak papa?" tanya perawat tadi.

"Sus, itu tadi Dokter Rendra?" tanya Nay Penasaran.

"Iya, itu Dokter Rendra. Ganteng dan masih muda kan Dok?"

Nay terdiam, bagaimana nasibnya jika mereka satu department. Nay merasa tak sanggup, pasalnya Rendra terlihat sangat membencinya karena kejadian tadi siang. Dengan tergesa-tega Nay mencabut infusnya dan segera menemui atasannya. Perawat tadi menghentikan aksi Nay, namun tak bisa berbuat apa-apa karena Nay sangat keras kepala. Bahkan darah mengalir dari tangan kirinya karena bekas infusnya tadi tidak dipakaikan plester.

Dengan ragu Nay memasuki ruangan atasannya, yakni Dokter Rahman. Tetapi tanpa diduga, Rendra sedang di dalam bersama dokter Rahman.

"Ada apa Dokter Nay?" tanya dokter Rahman.

"Nanti saja Dok, maaf." Ujar Nay lalu hendak keluar ruangan namun sebuah suara menginstrupsi.

"Infusmu sudah habis? Kenapa ke sini?"

"Su...sudah.

"Jangan bohong, belum lama saya lihat infusmu masih setengah. Jadi tidak mungkin sudah habis."

Seperti di skakmat oleh Rendra, Nay tak bisa menjawab dan hanya diam.

"Baru saya perintah begitu saja tidak menurut, apa lagi kalau jadi asisten saya nanti."

"Ren, sudah jangan begitu kasihan dia." Ujar Dokter Rahman.

Rendra hanya menatap sekilas ke arah Nay, sedangkan Nay menundukkan kepala karena menahan tangis. Perkataan Rendra sungguh menyakiti hatinya.

"Nay, kamu boleh pergi!" ujar Dokter Rahman.

Nay mengangguk lalu pergi keluar dari ruangan Dokter Rahman. Dia tahu kalau dia salah, tetapi tetap saja yang dikatakan Rendra mampu melukai hatinya. Dia tidak bermaksud seperti itu, tetapi Rendra terlanjur salah paham padanya. Dan yang membuat Nay semakin menangis karena Rendra berada di department yang sama denganya , dapat dipastikan mereka akan sering bertemu. Apa ia sanggup menghadapi sikap Rendra yang seperti itu.

Nay masih duduk disalah satu bangku di ujung koridor, ia memang mencari tempat yang sepi untuk menangis. Mungkin dengan menangis ia akan merasa lega.

"Nay kamu kenapa? Tadi aku denger kamu pingsan?" tanya Reyhan langsung duduk di sebelah Nay.

"Aku nggak papa kok Rey, maaf aku nggak bisa bantu kerjaan kamu." Ujar Nay.

"Nggak papa, tapi kenapa kamu nangis? Ada yang jahatin kamu?"

"Nggak kok aku nggak nangis, oh iya ada kerjaan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kamu juga capek kan karena anak koas kayak kita pasti banyak kerjaan."

"Nggak ada kok, ini jatah kita istirahat. Mending kamu istirahat juga soalnya nanti malam kan jatah kamu jaga."

"Iya Rey, kamu juga."

Rey dan Nay berjalan berdampingan menuju ruang istirahat mereka. Mereka bukan satu ruangan, tetapi bersebelahan.

"Oh iya Nay, aku mau beli makanan. Kamu mau nitip nggak? Atau kamu mau ikut?"

"Nggak deh aku nggak laper. Kamu pergi aja nggak papa!"

"Yakin? Kalau butuh sesuatu telepon aku aja ya!"

"Oke."

Nay berjalan sendiri ke ruang istirahatnya. Di dalam Nay duduk bersandar dan menelepon ayahnya. Nay, adalah anak tunggal dan ibunya sudah lama meninggal jadi hanya ayahnyalah yang ia punya. Ayah Nay adalah pemilik Atmadja Corp dan Nay adalah satu-satunya pewaris. Namun Nay tak pernah menunjukkan hal tersebut pada orang lain, karena Nay selalu tampil sederhana. Hanya orang terdekatnya dan keluarganya yang tahu hal itu.

Malam harinya, Nay mengecek kondisi semua pasiennya bersama dengan Rey. Setelah itu dia berjaga di UGD bersama beberapa dokter dan perawat yang bertugas. Nay adalah dokter baru jadi dia masih menjalani koas di rumah sakit ini. Kalau pagi sampai sore dia akan menjadi asisten dokter Rahman, tetapi malam hari ia menjadi asisten di ruang UGD. Ruang UGD jarang sekali sepi, sering ada pasien yang dikirim oleh 119. Jadi cukup melelahkan bekerja dibagian UGD. Petugas UGD harus siap sedia setiap waktu.

"Nay kamu istirahat aja, biar aku yang bantu di sini!" ujar Rey.

"Tapi kamu gimana, masak aku aja yang istirahat?" tanya Nay.

"Nggak papa, daripada kamu pingsan lagi!"

"Aku di sini aja deh, sambil merem hehe. Itu kan adil!"

"Oke deh."

Nay pun tertidur sambil duduk, hampir saja Nay jatuh kalau saja Rey tidak menangkap kepalanya. Kemudian Rey meletakkan kepala Nay di bahunya. Tanpa Nay tahu Rey menaruh hati padanya semenjak mereka kuliah. Ketika mereka berdua tertidur, ada seseorang yang melihat mereka dan memutuskan untuk pulang. "Ada apa denganku?" ujarnya.