webnovel

9. Aku menyukainya

Clarisa memperhatikan gaun-gaun berukuran kecil yang terpajang cantik di salah satu butik yang terletak di tengah kota New York. Gaun-gaun ini sangat cantik, Clarisa membayangkan bagaimana kedua adik kembarnya mengenakan pakaian cantik ini.

Clarisa sedikit merasa bersalah karena tidak pernah bisa membelikan pakaian sebagus dan semahal ini untuk kedua adiknya, setelah kepergian kedua orang tua kandungnya.

Clarisa juga merasa sangat bersalah, disaat kedua adiknya tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orang tua. Clarisa justru mendapatkan kasih sayang itu cuma-cuma dari Mama Anya dan Papa Robert, kedua orang tua biologis dari Jasmine.

Kira-kira bagaimana kabar kedua adik kecilnya itu? Clarisa merindukan suara tawa mereka.

"Kau pasti menyukai anak kecil ya?" Clarisa tersadar oleh ucapan Denise. Clarisa hampir lupa bahwa dia berada disini sekarang karena menemani Denise mencari pakaian baru.

"Kau tidak apa-apa?" Ucap Denise melihat tatapan sendu dari Clarisa. Clarisa tersenyum tipis, nyaris tak terlihat.

"Apa maksudmu dengan tidak apa-apa? Aku baik-baik saja." Bohong, Clarisa ingin menangis sekarang karena terlalu merindukan kedua adiknya.

"Kau yakin Jasmine? Kau bisa berbagi denganku, karena aku bukan tipe orang pengadu." Haruskah? Sudut hati Clarisa meronta-ronta.

"Sebenarnya... aku mempunyai keponakan yang dekat denganku selama aku tinggal diluar negeri. Melihat pakaian ini mengingatkanku pada mereka." Denise merangkul Clarisa dengan lembut, ikut merasakan kesedihan dalam hatinya.

"Lalu kau mau bagaimana? Kau ingin mengunjungi mereka?" Clarisa menggeleng lemah, itu tidak akan mungkin bisa. Itu akan membahayakan kedua adiknya, mengingat Jasmine mengancam akan melakukan sesuatu pada kedua adiknya jika ia bertingkah. Cukup Clarisa saja yang terjerumus dalam hal ini. Clarisa tidak ingin kedua adiknya ikut merasakan penderitaannya saat ini.

"Aku rasa tidak Denise. Aku hanya sedih karena tidak bisa membelikan mereka pakaian sebagus ini ketika aku masih disana."

"Oh jadi begitu. Kalau masalahnya itu, aku rasa kamu hanya perlu mengirim baju ini lewat jasa ekspedisi Jasmine. Sekarang semua serba mudah." Saran dari Denise memunculkan secercah harapan bagi Clarisa untuk bisa mengetahui kabar kedua adiknya. Clarisa akan menyelipkan nomor telefonnya ke dalam paket itu, tanpa diketahui Jasmine. Ya, tidak ada salahnya mencoba.

"Kalau begitu kamu pilih dulu bajunya. Kalau sudah aku akan bantu kirim, aku bayar baju yang sudah kupilih sebentar." Ucap Denise pergi meninggalkan Jasmine dengan mata berbinarnya, mulai memilah-milah baju cantik untuk kedua adiknya.

*

"Bawa penghianat itu kemari!" Teriak Leo pada para bawahannya. Sudah cukup pusing mengetahui Jasmine tidak langsung pulang setelah kelas balet, melainkan melipir bersama wanita yang nampak tidak asing baginya. Apa gadis itu tidak takut padanya? Bahkan setelah melihat kekejamannya?

Leo menatap tajam pria kurus berambut putih dengan penampilan berantakan itu. Pipinya sudah penuh dengan lebam, mulutnya yang sudah tidak bisa terkatup rapat mengeluarkan tetes demi tetes darah segar.

Sekarang, Leo harus berurusan dengan penghianat ini.

"Apa kau tidak bisa ampuni aku sekali ini saja tuan Leo?" Ujar pria kurus itu merangkak dan berlutut di kaki Leo.

"Bukankah aku sudah bilang, gagal sekali artinya kau selesai?!" Pria kurus itu meraung-raung meminta ampunan pada Leo, namun Leo mengabaikan celotehan yang dikeluarkan pria kurus ini dan menatapnya malas.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan padanya? Dia kehilangan barang yang sulit kita dapatkan. Dia tertangkap oleh satuan petugas sedang membawa narkoba dan berlian itu terbawa diantara narkoba itu." Leo mengembangkan senyum jahatnya, menatap Alan sang tangan kanannya.

"Terserah padamu Alan. Beri dia pilihan untuk tetap hidup atau mati. Kau yang putuskan. Aku lebih suka kalau dia punya anak perempuan dengan umur yang sudah matang." Inilah konsekuensi jika kalian ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar, namun juga mempertaruhkan nyawa.

"Kau menyingkirlah! Darahmu mengotori sepatuku. Padahal sudah kubiarkan kau mengatakan apapun yang ingin kau katakan untuk terakhir kalinya." Leo menendang pria kurus itu hingga tersungkur. Dua bawahan Leo dengan sigap memegang kedua sisi tangan pria kurus itu, untuk menjauhkannya dari sang tuan.

"Kirim putrinya ke salah satu cabang bar klien yang kita kecewakan. Buat dia bekerja disana." Putus Leo. Sebenarnya Leo ingin keputusan itu diambil alih oleh Alan, tapi Leo tak yakin jika Alan akan menghukumnya. Leo yakin, Alan pasti akan mengirim mereka pergi jauh dari jangkauan Leo. Dasar!

"Tolong jangan sentuh putriku." Leo tertawa melihat keputus-asaan dalam diri pria kurus itu. Leo tidak peduli, ia harus pergi dari tempat ini sekarang. Otaknya sudah tidak bisa melepaskan bayang-bayang Jasmine.

"HAA!" Leo terkejut bukan main saat kekangan bawahannya pada pria kurus itu terlepas dan pria kurus itu sudah berlari kearahnya, dengan membawa sebilah pisau lipat yang mungkin disembunyikannya dalam saku celananya.

Tidak sempat menghindar, Leo menangkap pisau itu dengan tangan telanjang. Sontak semua bawahan Leo termasuk Alan terkejut bukan main, melihat aliran darah segar milik Leo mengalir dengan deras menodai lantai emas ruangan ini.

Pria kurus itu yang sama terkejutnya, melepaskan genggamannya pada pisau dengan tangan yang bergetar, karena seisi ruangan ini mulai mengarahkan pistol kearahnya.

Tanpa merasa kesakitan Leo membuka telapak tangannya hingga pisau itu terjatuh ke lantai, bersatu dengan darahnya.

"Kau ingin hidup tenang bersama putrimu?" Pria kurus itu mengangguk cepat menjawab pertanyaan Leo.

"Kalau begitu pergilah. Jangan muncul di hadapanku lagi." Sontak Alan menurunkan pistolnya, di ikuti oleh yang lain.

"Tapi Tuan." Leo mengisyaratkan Alan untuk tetap diam. Leo tidak akan melepaskan seseorang dengan mudah jika orang itu sudah dalam genggamannya.

"Tunggu, sampai aku memintamu kembali. Maka kau harus kembali." Pria langsung berlutut di hadapan Leo sembari mengatakan beribu-ribu kata terima kasih.

"Ayo pergi Alan. Gadisku sudah terlalu lama bermain diluar." Ujar Leo melangkah keluar, diikuti oleh seluruh bawahannya.

"Tapi tuan. Bagaimana kekecewaan klien kita nanti?" Leo terhenti, berbalik badan menatap Alan yang menunduk dalam.

"Alexa? Itu cukup mudah. Aku tinggal menemaninya satu malam. Atau kau saja Alan, aku rasa Alexa menyukaimu." Alan semakin menundukkan kepalanya, bagaimana mungkin dirinya mengambil salah satu wanita milik tuannya. Alan tidak akan berani.

"Tidak tuan." Leo tertawa melihat mata Alan yang bergetar.

"Kenapa tidak? Kau bisa mengambil semua wanitaku kalau kau mau. Aku tidak peduli. Asal kau tidak mengambil Jasmine dariku." Ya, Leo tidak menyukai kenyataan bahwa Jasmine ternyata sangat dikagumi oleh kaum adam. Entah mengapa otaknya tidak suka memikirkan Jasmine bertengkar dengan pria lain selain dirinya.

Leo memberi perintah kepada semua bawahannya untuk meninggalkannya dan Alan. Tugas hari ini sudah selesai. Sekarang tinggal Alan yang akan mengantar Leo menjemput gadisnya.

*

Aku tersenyum lega dikala paket yang sudah terbungkus rapi itu kini sedang di sortir untuk dikirim ke alamat rumah Jasmine. Semoga kedua adik kembarku menerima paket itu dalam keadaan baik.

Aku tersenyum sumringah pada Denise yang menatapku datar.

"Apa ini pertama kalimu mengirim sebuah paket?" Aku mengangguk dengan cepat.

"Ah, sebenarnya tidak. Tapi paket ini sangat spesial dan berarti bagiku." Denise mengganti tatapan datarnya dengan mata yang menyipit, senyumnya kearahku begitu tulus.

"Terima kasih Denise. Aku tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu." Aku sungguh sangat bersyukur bisa bertemu orang sebaik Denise.

"Apa maksudmu? Dengan tunangan sekaya Leo, seharusnya kau bisa melakukan segalanya bukan?" Aku mengabaikan perkataan satunya itu, maksudku bagaimana aku bisa bergantung pada orang sekejam Leo. Akan jadi sesuram apa masa depanku?

Aku segera menarik Denise pergi dari sana begitu paketku sudah tersimpan dengan baik di dalam truk. Gila, memang. Aku hanya ingin memastikan paket itu diantar ke tujuan yang benar.

"Sepertinya kau sudah dijemput kereta labu malam ini. Kalau begitu aku pamit dulu, sampai bertemu dikelas besok."

Mataku beralih menatap sosok tinggi dan tegap yang berjalan kearahku itu. Untuk apa Leo menjemputnya?

Jika aku lupa bagaimana kejamnya Leo, mungkin aku kan terjatuh pada pesona tampannya. Angin malam dingin inipun mendadak berubah menjadi bau harum parfumnya.

Aku menyukainya.

Jangan lupa dukung novel ini dan author, pertama beri power stone! kemudian tinggalkan komen ya!!

Sekian Terima Gaji! ><

Chuuby_Sugarcreators' thoughts