webnovel

BE THE LIGHT

Benar kata orang. Terkadang ada orang lain yang lebih peduli kepada kita, dibanding keluarga kita sendiri. Alena dan Alina memanglah saudara kembar. Tapi nasib kehidupan mereka sangat berbeda. Alina selalu mendapatkan perlakuan lembut dan penuh kasih sayang oleh kedua orangtuanya. Berbeda dengan Alena. Gadis itu mendapatkan perilaku yang sangat memprihatinkan. Alena di benci dan tidak dianggap oleh kedua orangtuanya. Namun, Tuhan sangat menyayangi Alena. Tuhan mengirimkan orang berhati malaikat untuk Alena. Hidup Alena diselamatkan oleh oranglain. Alena juga bertemu dengan lelaki tampan yang sangat mencintainya. Lalu, bagaimana perjalanan hidup Alena? Apakah kedua orangtua Alena akan menyesal dengan perlakuannya? Atau ... Alena yang akan menyerah dengan hidupnya? Lalu, bagaimana dengan kisah cintanya? * * * "Tidak ada yang sia-sia, Alena. Kita harus optimis! Meski kamu di vonis bertahan hidup 6 bulan, 7 bulan, 1 tahun, bahkan 10 tahun. Tapi bagaimana jika Tuhan .mengabulkan doa mu untuk sembuh dan tetap bertahan hidup?"

Errenchan · Teen
Not enough ratings
146 Chs

Masih ingat rumah?

Alena berjalan di koridor rumah sakit dengan memandangi orang-orang yang berlalu lalang di sana, ia sesekali menyapa, dan tersenyum ketika melewatinya. Namun, setelah itu Alena mempercepat langkahnya karena dia terlambat pulang.

"Len?" panggil seseorang dari belakang.

Alena menghentikan langkahnya, dia membalikkan badannya, dan terkejut melihat Dion yang tengah berjalan mendekat. Alena hanya tersenyum canggung pada Dion.

"Ada apa?" tanya Alena langsung.

"Lo ngapain di rumah sakit? Masih pakai seragam, pula."

Alena menggigit bibir bawahnya dengan melihat langit-langit untuk mencari alasan yang tepat, dan tidak membuat Dion curiga.

"Em, gu-gue—"

"Lo sakit?" potong Dion cepat.

Alena menggeleng, "Nggak, temen gue. Lo sendiri ngapain di sini?"

Alena tiba-tiba saja teringat saat tadi pulang sekolah Dion terburu-buru untuk pulang, dan ternyata ia bertemu di rumah sakit ini. Dion pun masih mengenakan seragam.

Saat Dion ingin menjawab, tiba-tiba saja wanita paruh baya yang tidak terlalu tua itu memanggil Dion. Alena pun juga menoleh, ia tersenyum ketika wanita itu tersenyum padanya.

"Dion, cepat! Adikmu menunggu mu!"

"Iya, ma! Na, besok ya! Sampai jumpa besok!" pamit Dion yang langsung berlari.

Alena masih terdiam mematung disana, apa maksudnya besok? Apa ia akan menemuinya lagi?

"Kamu pacar Dion?" tanya wanita itu.

"Bukan, Tan. Saya temannya saja," sahut Alena tersenyum kikuk.

"Oh, masih teman? Saya pikir pacar Dion, soalnya Dion nggak pernah cerita soal teman, atau kekasihnya."

Alena hanya mengangguk paham. Ya, memang itu sifat Dion. Pendiam, dingin, irit bicara. Namun itu dulu, sebelum ia kenal dengan Dion. Sekarang? Jangan ditanya, karena adiknya, Rei. Hubungan pertemanan Alena dengan Dion menjadi dekat, Dion pun sedikit terbuka pada Alena.

"Dion memang seperti itu, Tan,"

"Oh, ya? Dia kalau di sekolah juga pendiam gitu?"

Alena tertawa kecil, "Iya, Tan. Tapi kalo dia udah marah bakal ngajak berantem orang itu," seru Alena dengan bersemangat.

"Suka banget ya ngarang cerita!" ucap Dion yang muncul dengan nada dinginnya.

Alena hanya tertawa dan membentuk jari peach, "Ma, ini." Dion memberikan plastik hitam itu pada Ratna – Mama Dion – Ratna mengambil plastik itu, dengan mengucapkan terimakasih pada Dion.

"Nak, nama kamu siapa?" tanya Ratna yang menatap Alena.

"Alena," jawab Alena dengan tersenyum.

Alena melihat jam yang melingkar di tangannya, matanya terbelalak ketika melihat jam yang menunjukkan pukul tujuh malam.

"Aduh, maaf. Aku harus pulang, permisi tante," pamit Alena dengan mencium tangan Ratna.

"Mau gue anterin, Na?" tanya Dion menawarkan.

Alena menggeleng, "Nggak usah, gue bawa motor kok," ucap Alena yang terpaksa bohong. Karena, Alena tak ingin Dion mengetahui kondisi keluarganya.

"Hati-hati, Nak," ucap Ratna, dan setelah itu langsung berjalan meninggalkan Alena yang masih berdiri disana. Dion pun juga langsung berjalan di belakang Ratna. Setelah punggung mereka tak terlihat, Alena langsung berjalan sampai halaman depan rumah sakit.

Ia menggerakkan kakinya untuk mengusir rasa bosannya saat menunggu taksi lewat, gadis itu berdoa agar cepat menemukan taksi yang kosong. Alena yakin, kedua orangnya sedang menunggu Alena dengan amarahnya.

"Mbak, yakin nggak mau bareng?" tanya seseorang yang membuat Alena mengangkat kepalanya. Ia terkejut melihat Dion yang ada di hadapannya sekarang, karena Alena sendiri masih terasa canggung saat berdua dengan Dion.

"Pegel ini kaki gue," keluh Dion dengan menggerakkan kaki kirinya. Alena hanya mengangguk ragu, dan berjalan beberapa langkah mendekat.

Dion menyodorkan helm-nya pada Alena. Gadis itu mengambil helm itu dan langsung memakainya, kedua tangan Alena memegang pundak Dion untuk pegangan saat naik ke motor besarnya itu.

"Udah?" tanya Dion untuk memastikan.

Alena hanya mengangguk. Namun, membuat Dion berdecak, "Lo bisu ya? Di tanya jawab! Jangan angguk atau geleng kepala doang!" ujar Dion dengan sarkas.

"Udah siap, raja!"

Dion hanya tersenyum tipis, ia sengaja berbicara seperti itu. Itu juga untuk kepentingan pribadi Alena, karena Alena hanya berbicara ketika mood-nya sedang kondisi sangat baik.

Dion melajukan motornya dengan sedikit menambah kecepatannya, jalanan pun masih ramai. Lampu kelap-kelip pun mampu menghiasi kota ini.

Tak ada pembicaraan apapun dari keduanya, hanya embusan angin yang membuat keduanya terdiam dalam pikirannya masing-masing.

Tak lama keduanya sampai di rumah Alena, tidak. Ralat, Alena menyuruh Dion untuk menghentikan motornya di rumah orang lain yang tiga jarak dari rumahnya. Alena yakin, Meika tengah menunggu di luar.

Alena turun dari motornya dan mengembalikan helm itu pada Dion. Dion memperhatikan sekitar daerah rumah Alena.

"Rumah lo ini?" tanya Dion.

"Bukan, rumah gue di sana. Makasih ya udah mau anterin gue pulang, kalau gitu gue masuk dulu ya. Lo hati-hati di jalan, bye!" Alena langsung pergi berjalan meninggalkan Dion yang hendak ngomong sesuatu, namun Alena tidak mengetahui, dan terus berjalan menuju rumahnya.

Dion hanya menggelengkan kepalanya dengan melihat punggung Alena yang semakin menjauh. Setelah memastikan kalau Alena sudah masuk rumahnya, Dion kembali menyalakan mesin motornya.

Namun.

Saat hendak menyalakan mesin motornya itu lagi, terdengar suara keributan. Dion menghela napasnya panjangnya, dan langsung mematikan mesin itu. Apa suara itu berasal dari rumah Alena?

***

Alena berjalan mendekati rumahnya dengan rasa takut, sangat takut mendapatkan siksaan dari mereka. Juga hinaan yang mampu menyakiti hatinya sendiri. Alena sendiri hanya terdiam, dan meminta maaf pada Meika untuk memberikan ampun.

Tangan Alena masuk di sela-sela pagar untuk membuka pintu pagar itu. Namun, baru selangkah ia memasuki bunga.

BRUK!

Satu pot bunga yang di lempar seseorang, dan mengenai dahi Alena. Darah pun mulai mengalir dari dahi Alena, gadis itu pun juga mulai merasakan pening. Namun, dia menutupi itu dengan tersenyum samar.

Alena mengangkat kepalanya, melihat Meika berkacak pinggang dengan tatapan matanya yang tajam.

"Oh, masih ingat rumah?" tanya Meika dengan sarkas.

Alena bungkam, kepalanya pun perlahan menunduk. Benar dugaannya, dia terlihat sangat marah. Sampai-sampai harus melempar pot ke anaknya sendiri.

"Ke mana aja kamu, hah?!" tanya Meika dengan meninggikan suaranya. Alena masih terdiam dengan menggigit bibir bawahnya.

"Kalau kamu nggak betah di rumah saja, silahkan kamu keluar!" ketus Meika. Alena hanya menggeleng lemah.

"Kapan Mama kembali seperti dulu?"