"Maafkan aku."
Luna sudah memikirkan ini baik-baik, ia memang terkesan agak kasar pada Aodan beberapa waktu yang lalu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak memperlakukan si kadal hitam dengan semena-mena.
"Apa? Kau mengatakan sesuatu?" Aodan tengah memegang semangkuk mie yang penuh dengan berbagai macam isian telur dan daging, ia duduk di depan televisi dan menatap Luna dengan pandangan menyelidik.
"Maafkan aku," ulang Luna lagi, mendekat ke arah Aodan dan meletakkan sepiring ayam goreng tepung yang ia buat dengan cepat. "Aku terlalu kasar padamu waktu itu."
Aodan diam sesaat, begitu pula dengan Luna, hanya suara televisi yang ada di depan mereka berdua yang bersuara di antara mereka.
"Aku tidak mendengar apa yang kau katakan." Aodan mengerjapkan mata dengan bingung, sebelah pipinya penuh dengan makanan.
Luna bukan orang yang mudah mengucapkan kata 'maaf' dan ia merasa sedikit tidak nyaman harus mengulanginya lagi, tapi mengingat si kadal yang mengibaskan ekor dan mendengkus ke arahnya membuatnya harus berpikir untuk lebih sabar lagi.
"Aku minta maaf padamu."
Aodan diam, lagi-lagi suara televisi kembali mengisi situasi di antara mereka berdua.
"Suaramu terlalu pelan, suara televisi terlalu keras," keluh si kadal sambil terus menyuap mie ke dalam mulutnya. "Coba sini dekat-dekat."
Luna memutar bola matanya dengan kesal, ia menggeser tubuhnya mendekati Aodan. "Kubilang, aku minta maaf padamu."
"Hah?" Aodan pura-pura bingung, kemudian ia menyeringai.
Luna akhirnya sadar kalau Aodan hanya mempermainkannya, ia melayangkan tamparan ke bahu si kadal dengan keras.
PLAK!
"Argh!" Aodan langsung menyentuh bahunya. "Kau tidak kasihan dengan tubuhku yang penuh luka ini? Ini sakit!"
"Aku serius, tapi kau malah mempermainkan aku." Luna mendengkus kesal, menggeser kembali duduknya jauh-jauh dari si kadal. "Kau telah hilang selama empat hari, sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu?"
Luna melihat luka lebam di wajah Aodan, itu bukan luka yang kecil.
"Kau bertemu … seseorang yang menggertakmu?"
Bayangan seekor kadal hitam diinjak-injak tidak berdaya oleh para manusia di pinggir jalan terlintas di benak Luna, wanita itu kemudian memasang tampang prihatin, ia menjadi semakin bersalah.
"Tidak," bantah Aodan mengingat orang yang menyerangnya di bangunan terbengkalai, tapi kemudian ia buru-buru meralat ucapannya. "Ya … entahlah."
Ia tidak tahu apakah ia digertak atau tidak, ia hanya benci dan orang itu juga benci dengan dirinya.
"Ternyata kau lemah, ya." Luna mencibir tanpa sadar, Aodan langsung menoleh. "Tidak, maksudku kau sangat malang menemui kesialan seperti itu."
Perkataan Luna terlalu berbelit, Aodan enggan untuk membahasnya lebih lanjut, ia kembali memakan mienya, takut akan berubah menjadi dingin.
Wanita itu merasa apa yang ia katakan tidak terdengar tulus, ia menahan tangan kanan Aodan.
"Dengarkan aku dulu, aku minta maaf atas perlakukanku kemarin-kemarin."
Luna tidak ingin ditinggalkan lagi, ia tidak ingin Aodan yang menjadi tempatnya bergantung juga akan hilang seperti Gerald.
"Aku tahu, aku tahu." Aodan tersenyum miring, ia bersandar dan menatap Luna. "Kau kan Babuku, sudah sepantasnya kau minta maaf."
Luna tidak tahu harus berkata apa lagi, Aodan sepertinya tidak bisa diajak bicara serius, ia merasa sedikit menyesal meminta maaf kepada sang kadal, wanita itu menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap sabar.
Ia juga sepertinya tidak bisa mengorek lebih jauh tentang apa yang terjadi pada Aodan selama empat hari, Luna hanya bisa menebak selama empat hari Aodan memulihkan lukanya di suatu tempat dan baru bisa kembali hari ini.
"Ngomong-ngomong apa yang terjadi padamu? Pipimu terlihat mengerikan," kata Aodan sambil menghempaskan mangkuk ke meja, lalu tangannya meraih pipi Luna. "Kau dicakar Rachel?"
"Darimana kau tahu?"
"Hanya dia yang memiliki masalah denganmu." Aodan mencibir, menarik tangannya ketika dipukul oleh Luna. "Dia tidak datang kemari, tapi kau yang pergi?"
"Ya, aku pergi menemuinya."
"Untuk apa?" tanya Aodan dengan heran, dalam pikirannya Luna sangat membenci Rachel, bahkan mungkin ia tidak akan sudi untuk menemui hanya untuk sekadar berbasa-basi.
Tapi … hari ini … Luna menemui Rachel?
"Hanya untuk bersenang-senang," sahut Luna sambil membuang muka. Terlalu malu mengakui yang sebenarnya pada Aodan. "Kebetulan aku tidak suka dengannya, jadi daripada aku melampiaskan pada orang lain, lebih baik aku melampiaskan ke Rachel."
"Hoo … kau sangat pendendam rupanya." Aodan mengangguk-angguk paham, padahal sebenarnya pikirannya tertuju pada tumpukan ayam goreng yang menggoda di depannya, berharap Luna akan segera memberinya saus tomat segera.
"Lalu apa kau bertemu dengan mantan suamimu?"
Luna diam, tidak ingin menjawab dan Aodan sudah menebak apa jawabannya.
"Aku akan memaafkanmu, tapi aku punya syarat." Aodan menyilangkan kakinya, entah kenapa Luna merasa dia jauh lebih menyebalkan daripada sebelumnya.
"Untuk apa syarat?"
"Kau ingin kumaafkan atau tidak? Aku bisa cari orang lain yang bersedia menampungku."
"Oke, apa syaratnya?"
Senyuman Aodan semakin lebar, ia menegakkan tubuh dan menggosok kedua tangannya.
"Jangan temui dia lagi."
"Oh?" Luna tertegun, ia menatap Aodan.
Apa kadal ini cemburu ia bertemu Gerald? Apa Aodan adalah sejenis roh yang posesif seperti di film-film?
Pipi Luna bersemu samar, ia berdehem dengan canggung.
"Untuk apa aku menemuinya lagi? Dia hanya masa lalu yang ingin kuhapus."
"Bagus." Aodan menggeser tubuhnya dan menepuk-nepuk bahu Luna. "Karena kau Babuku maka kau harus taat padaku."
Luna tersenyum masam.
"Kau tidak suka?" tanya Aodan.
Luna menggigit bibirnya, rasa jengkel mulai muncul di hatinya, si kadal ini semakin bertingkah padanya, tapi Luna tidak bisa berbuat apa-apa, ia tidak ingin Aodan pergi darinya.
"Aku suka, aku suka ... lihat aku tersenyum manis kan sekarang?"
Aodan mencibir, ia mulai lelah dan mungkin akan berubah sebentar lagi.
"Kalau begitu sebagai pemanasan, ambilkan aku saus tomat."
Luna dengan sabar berdiri, pergi ke dapur dan menaruh botol saus tomat di atas meja, ia mengisyaratkan lewat dagunya.
"Ambilkan."
"Itu ada di depanmu, Aodan." Luna melirik saus tomat yang masih terisi penuh, letaknya di depan piring ayam goreng tepung.
"Tanganku terlalu lelah, tolong ambilkan."
Luna masih sabar mengambilkan saus tomat tepat di depan tangan Aodan.
"Tuangkan."
Luna tersenyum, senyum yang amat terpaksa. Tangannya bergerak menuang saus ke piring.
Aodan tidak merubah ekspresi yang menyebalkan itu dari wajahnya, ia mengambil paha ayam goreng dan mengoles ke saus tomat.
PLUK!
Entah sengaja atau tidak, paha ayam goreng yang berlumuran saus tomat itu terjatuh ke kaki Luna.
Wajah Luna langsung menggelap, kedua tangannya langsung terkepal dengan erat.
"Oh, ya ampun ... sepertinya tanganku tergelincir ... hehehe."
Luna tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis, ia mengusap kasar wajahnya, ia menarik napas dalam-dalam.
Ia hanya harus lebih ... lebih ... lebih sabar lagi.
Cuma mau bilang kalau besok, hari Senin BmB nggak update dulu ya, tapi tenang ... hari Selasa BmB bakal up dua bab (◍•ᴗ•◍)❤ Terima kasih atas power stone dan komentarnya, terus dukungan BmB ya (◍•ᴗ•◍)❤