webnovel

Bayi di Depan Rumahku

Blurb Kehidupan rumah tangga, tak lengkap jika sang malaikat kecil belum hadir. Lima tahun sudah kami mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, tanda-tanda malaikat kecil belum hadir juga di rahimku. Segala cara sudah kami coba. Namun, tak ada satupun yang berhasil. Hingga suatu hari, seorang bayi perempuan ditinggalkan seseorang di depan rumah kami. Awalnya kami akan melaporkannya pada ketua RT. Namun, sebuah ide gila hadir di otakku. Dan suami menyetujuinya. Kami mengadopsi bayi itu dan memberikan nama keluarga suami padanya. Entah apa yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Segala kejanggalan terjadi semenjak bayi itu datang. Mulai dari liontinku yang hilang ada pada bayi itu, sampai sikap suamiku yang tiba-tiba berubah. Bayi itu seakan menjadi pusat utama dunianya. Bukan karena aku cemburu, tetapi sikapnya sangat berlebihan. Semuanya menjadi aneh, terlebih banyak hal-hal yang disembunyikan dariku. Suamiku, Papa dan Mama mertua, dan yang lebih mengherankan pembantu di rumahku. Akankah semuanya akan terbongkar? Dan dapatkah aku bisa menghadapi semuanya?

E_Rinrien · Urban
Not enough ratings
348 Chs

1. Bayi Siapa?

Malam itu, aku dan Mas Denis hendak pergi ke peraduan. Di luar hujan turun dengan derasnya. Saat tiba-tiba sayup-sayup kudengar suara tangisan. Suara tangis bayi di antara suara rintik-rintik hujan yang turun.

Aku menajamkan telinga, sambil mengingat-ingat. Bayi siapa yang tengah malam begini menangis terus menerus.

"Mas, denger enggak?" tanyaku pada Mas Denis.

Mas Denis terdiam. Sepertinya ia sedang fokus mendengarkan.

"Suara tangisan bayi?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk. Ternyata telinga Mas Denis tajam juga. Disela rintik hujan deras, suara itu tak terdengar terlalu keras. Namun, ternyata jelas bagiku dan Mas Denis untuk mendengarkannya.

"Kayaknya ada di luar, Mas," jawabku.

"Ayo kita lihat," ucapnya seraya bangkit dari tempat tidur.

"Tunggu, Mas," ucapku sambil memegang lengan Mas Denis. Aku takut, kalau yang kami dapati ternyata hanya 'makhluk' yang sedang iseng.

"Kenapa?" tanya Mas Denis.

"Anu, hati-hati, Mas. Ini tengah malam, takut ada yang iseng," ucapku pelan.

"Lagipula di sekitar sini tak ada yang punya bayi," lanjutku.

"Enggak ada. Kalau benar bayi orang bagaimana?" tanyanya.

"Sudah kita lihat saja, kasihan bayi itu sepertinya menangis sejak tadi," ucap Mas Denis.

Aku mengangguk, kemudian mengekor di belakangnya.

Aku dan Mas Denis adalah sepasang suami istri. Sejak kami menikah lima tahun yang lalu, kami sudah tinggal di komplek perumahan ini. Tak heran jika aku tahu tak ada seorangpun yang sedang memiliki bayi di sekitar sini.

"Mas, aku di sini aja, ya. Di depan gelap banget," ujarku. Kami saat ini sedang berdiri di teras depan pintu rumah.

"Oh, ya sudah, biar aku cek ke depan. Suaranya sudah dekat," ucapnya seraya mengambil payung.

Mas Denis membuka payung, kemudian berjalan cepat ke arah gerbang.

"Dek! Ini ada bayi!" teriak Mas Denis ketika ia kembali masuk ke teras. Di tangannya, ada keranjang bundar terbuat dari rotan yang dianyam.

Bersamaan dengan itu, suara tangis bayi terdengar makin keras.

"Ya Allah ... anak siapa ini, Mas?" tanyaku seraya mengambil keranjang berisi bayi itu.

Kusibak selimut berwarna merah muda yang menutupinya. Kemudian kuangkat bayi mungil itu dan menggendongnya dengan hati-hati.

Bayi mungil itu menggerak-gerakkan tangan dan kepalanya. Mulutnya seperti mencari-cari sesuatu. Lucu sekali.

"Mas, bayi ini lapar sepertinya," ucapku.

"Ini ada botol susu di keranjangnya, Dek." Mas Denis sigap memberikan botol susu itu padaku.

Aku sempat heran, Mas Denis sigap sekali saat ini dan langsung tahu letak botol susu ini. Tapi mungkin ia sudah mengeceknya terlebih dahulu.

"Ayo kita bawa masuk, Dek. Kasihan bayinya kedinginan," ucap Mas Denis sambil merangkulku.

"Iya, Mas. Ayo."

Di dalam, kami memberi susu pada bayi mungil ini. Bayi berjenis kelamin perempuan ini, sepertinya belum genap satu bulan. Terlihat dari tangannya yang masih memakai sarung dan kukunya dan rambutnya belum dipotong.

"Anak siapa ini, ya, Mas?" tanyaku penasaran.

Aku sedih jika melihat bayi yang dibuang begini oleh orang tuanya. Kami yang selama ini merindukan seorang bayi yang hadir di tengah-tengah kami belum juga mendapatkannya. Namun, di luar sana banyak orang tua yang tega membuang darah dagingnya sendiri.

"Tega sekali orang itu, ya, Mas."

Mas Denis terlihat mengangguk. Ia mengusap pipi bayi yang sedang menyusu dari botolnya.

"Untung tadi ranjangnya tertutup kanopi. Jadi tidak terkena hujan, Dek. Mas enggak bisa bayangin kalau sampai bayi ini kehujanan," ucap Mas Denis.

"Ya, setidaknya orang tuanya masih punya hati tidak membuang bayi ini ke tempat sampah," ucapku geram.

"Kenapa, ya. Disaat kita ingin punya bayi, orang lain begitu mudah membuangnya," ucap Mas Denis sepemikiran denganku.

"Iya, Mas. Kasihan bayi ini, tapi kenapa di simpan di depan rumah kita, ya, Mas? Apa mungkin orang tuanya mengenal kita?"

Mas Denis mengangkat bahu pertanda ia pun tak tahu harus menjawab apa.

"Besok kita lapor RT saja, Dek."

"Harus lapor, ya, Mas?" tanyaku.

"Terus?"

"Apa enggak kita rawat aja, Mas? Aku juga enggak tahu kapan bisa hamil," ucapku pelan takut Mas Denis tak mau.

Selama ini, aku sudah ingin mengangkat anak. Namun, Mas Denis yang menentang keras ide itu. Ia hanya ingin merawat anak kandung saja. Terlebih, mama dan papa mertuaku hanya menginginkan cucu kandung. Karena Mas Denis adalah anak tunggal di keluarga mereka.

Papa dan mama mertuaku berusaha agar aku bisa hamil. Dari obat herbal sampai program bayi tabung sudah aku lakukan. Namun, Allah masih belum berkehendak menghadirkan bayi mungil itu di rahimku.

Beruntung papa dan mama mertuaku tak mendesak Mas Denis menikah lagi. Mas Denis pun menolak untuk menikah lagi. Padahal aku sudah memberinya kesempatan.

"Bagaimana, ya?"

"Tapi kalau Mas enggak mau, enggak apa-apa. Aku enggak akan memaksa." Sedih sebenarnya kalau bayi ini harus dititipkan di panti asuhan. Tapi mau bagaimana lagi jika Mas Denis tidak mau.

Lama aku menunggu Mas Denis berpikir. Bayi dalam pangkuanku pun sudah tertidur lelap sekali.

Aku berdiri hendak menaruh bayi itu di ranjang kami. Berjalan perlahan dan menaruhnya pelan-pelan agar ia tak terbangun. Kutatap wajahnya yang lucu, ada malaikat hadir di sana. Begitu damai dan tenang.

Rasanya senang sekali hanya dengan menatap wajah bayi itu. Hal yang telah lama aku rindukan. Tak sadar air mata menitik, mengingat apakah aku bisa rela jika besok bayi itu diambil alih oleh panti atau keluarga yang lain.

"Dek," ucap Mas Denis menepuk lembut bahuku.

"Kalau kamu mau merawatnya, ayo kita rawat sama-sama. Tapi kita harus lapor Pak RT dulu, besok. Sekaligus memberitahunya maksud kita untuk merawatnya."

Seketika aku seperti mendapat angin segar.

"Benar, Mas? Mas mengijinkan?" tanyaku tak percaya.

"Iya," jawabnya sambil tersenyum.

"Tapi, bagaimana dengan mama dan papa, Mas?" Aku khawatir jika kedua mertuaku itu tak setuju.

"Biar itu jadi urusan mas. Yang terpenting kamu bahagia."

"Hmm, kalau bilang sama mereka ini anak kita bagaimana, Mas?" Aku mengajukan pertanyaan konyol pada Mas Denis.

Mas Denis mengerenyitkan dahi terlihat berpikir.

"Mama dan papa, kan, sudah setahun ada di luar negeri."

"Tapi mereka tahu kamu enggak hamil, Dek." Mas Denis sepertinya tidak yakin dengan usulku.

"Bilang aja kejutan, Mas. Nanti aku kasih penjelasan ke papa dan mama kalau aku sengaja menutupinya karena ingin memberi kejutan."

Aku tahu, ideku terkesan konyol. Tapi sejujurnya aku tak siap kehilangan bayi ini hanya karena Mama dan Papa mertua tak setuju kami merawat bayi ini.

"Ya sudah. Yang penting besok kita lapor ke Pak RT dulu, ya," ucap Mas Denis lugas.

"Tapi nanti tetangga bisa tahu kalau ini bukan anak kita, Mas."