webnovel

Adiknya Eva

Rupa yang indah dan suara Althair yang sangat lembut itu, terdengar hanya mengatakan hasrat yang mustahil bagi Eva.

Tanpa menunggu jawaban dari si gadis, Althair langsung mendorong pelan tubuh ramping sang gadis ke arah ranjang. Tak ada perlawanan berarti.

Eva terlihat tersentak. Ia merasa sesuatu baru saja menuruni tenggorokannya saat ia berciuman dengan Althair. Dan kini, Eva merasakan hal yang aneh. Tubuhnya tidak bisa bergerak dan ambruk di atas kasur.

"Jangan khawatir, Sayang! Itu tidak akan sampai membunuhmu. Kau sangat menyukaiku, bukan? Tapi ... selama kau bisa bergantung pada seseorang, kau akan menyukai siapa saja, 'kan? Itu sebenarnya hal yang menjijikkan, Sayang. Jadi, aku ingin agar kau hanya melihatku."

Lagi-lagi Althair yang mengucapkan kalimat yang tidak terlalu Eva mengerti. Meski lembut tapi terdengar seperti ancaman yang sopan bagi Eva.

Eva masih termangu. Ia tidak bisa bergerak maupun berbicara. Ia kini berada di ranjang rotan tadi dan tubuh Althair mulai merangkak ke atas tubuh Eva.

"Tapi aku bisa apa? Perasaanku padamu ini sungguhan, Sayang. Karena kau benar-benar menyukaiku hingga kau menginginkan sesuatu yang berharga bagiku ini, 'kan? Aku punya ide bagus. Bagaimana dengan ini?" lirih Althair.

Althair merendahkan wajahnya untuk mengecup pipi Eva yang berada dalam kukuhannya.

"Aku terlihat seperti pemuda yang kau cintai 'kan, Sayang? Kau benar-benar mencintaiku, 'kan? Kau pasti tidak akan membencinya jika aku meminta kesucianmu, bukan? Kau bisa memiliki diriku, dan aku bisa memilikimu. Jangan khawatir, Sayang! Lagipula, tidak ada bedanya 'kan meski melakukan seperti ini?"

Althair mulai menanggalkan pakaian si gadis, satu per satu hingga tak ada sehelai benang pun yang tersisa. Tangan Althair mulai gencar mengelus bagian paling sensitif sang gadis. Tak ada kata yang terucap dari Althair dan Eva.

Hanya desahan lirih yang terdengar. Di kamar tersebut tidak lagi ada dua orang, kini hanya ada satu yang saling melengkapi.

Mereka menyatu dalam cinta sesaat dan gairah semalam, yang terlalu nikmat untuk disesali pada suatu saat.

***

(Shino_POV)

Aku berjalan tertatih menyusuri jalan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon rindang di kedua sisinya. Jalan itu tepat berada di tengah-tengah taman.

Aku mendongakkan kepala menatap langit senja yang mendung. Tubuh ringkihku seperti hendak oleng. Hujan di kedua mataku telah lebih dulu turun ketimbang hujan di kota ini.

Pikiranku dipenuhi kata-kata dokter siang tadi tentang penyakitku. Jujur, aku masih ingin hidup. Aku benar-benar masih ingin hidup. Apakah meminta untuk hidup lebih lama masih sebuah kesalahan?

Dokter bilang bahwa jantungku mungkin tidak akan mampu bertahan lebih dari sebulan dan sayangnya sampai hari ini aku masih tidak tahu cara untuk mengobatinya. Jika aku melakukan transplantasi jantung, pasti biayanya sangat mahal. Jika seperti ini, rasanya ilmu sihir yang aku pelajari dari kecil sama sekali tidak berguna. Aku hanya bisa mempelajari sihir-sihir dasar. Keluarga Tatsuya hanya bisa sihir penghancur, mereka tidak bisa sihir penyembuh.

Ini sangat konyol, bukan?

Dokter berharap agar aku tetap di rumah sakit sambil menunggu donor jantung. Tapi, aku tidak pernah berniat mati di sana. Aku tahu sampai kapan pun donor jantung itu tidak akan pernah ada. Lagipula, dapat dari mana aku biaya untuk operasi itu?

Salah satu perawat di sana malah menggenggam tanganku ketika aku bersikeras untuk pulang tadi. Mereka menanyakan waliku, tapi aku bilang aku hidup sebatang kara. Mereka bahkan merekomendasikanku untuk tinggal di tempat penampungan, tapi aku menolak.

Aku dapat melihat mata perawat tadi berair, dia terlihat sedih. Aku bingung. Kenapa ia harus sedih menatapku?

Aku bertahan hanya untuk sebuah harapan. Tapi, kini harapan itu telah lenyap, masihkah mungkin aku bertahan?

Kentaro membawa pesan dari Eva Nee-sama bahwa dia minta maaf karena tidak bisa membantuku. Aku tidak tahu bagaimana Kentaro bisa bertemu dengan Eva Nee-sama. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku juga tidak akan menyalahkan Eva Nee-sama yang tidak bisa mencarikan permata Hoshi no Tama untukku.

***

Aku sudah sampai di rumah sempit yang kami sewa.

Kini, aku tidak punya alasan untuk bertahan. Akankah aku terlupakan begitu saja? Harapanku menjadi pahlawan yang akan menyelamatkan desaku dari kutukan telah lenyap. Aku ingin diingat sebagai pahlawan oleh mereka. Tapi, mungkin aku tidak dapat bertahan selama itu.

Awalnya, aku berencana untuk belajar di Akademi Sihir itu sebagai suatu pencapaianku yang hebat. Meski aku tidak lagi berada di dunia ini setelahnya, setidaknya semua orang masih mengenangku sebagai Shino Tatsuya yang berjuang untuk desanya.

Mereka semua akan mengatakan jika terbebasnya desa itu dari kutukan adalah hasil kerja keras putra bungsu Shika-sama yaitu Shino Tatsuya. Semuanya akan bahagia ketika berada di desa kami yang dahulunya sangat indah.

Tapi, semua harapan itu sudah hancur, tidak bersisa. Tekad kuatku harus dihalangi oleh penyakitku yang sialan ini.

Apakah masih mungkin untuk diriku memulainya dari awal? Waktuku mungkin hanya satu bulan, seperti yang dikatakan dokter tadi. Aku memang tidak percaya dengan analisanya, tapi tubuhku juga adalah tubuh manusia biasa, terlepas dari kemampuan sihir yang sudah aku pelajari dari kecil. Sihir itu memang hanya bisa dipelajari. Meski aku keturunan Tatsuya, tapi jika aku tidak belajar sihir, tentu aku akan menjadi manusia biasa, bukan penyihir seperti para pendahuluku.

Lalu aku kembali berpikir, dapatkah aku menyelamatkan desaku seperti permintaan ayah waktu itu? Kami-sama, masih mungkinkah aku dapat bertahan lebih dari satu bulan? Mungkin, aku harus mulai menghitung mundur dari sekarang.

Situasi ini begitu rumit.

Pertama, Eva Nee-san ialah satu-satunya yang dapat menyelamatkanku, kini malah jatuh cinta sungguhan pada mangsanya sendiri.

Sebenarnya, bukan kematian yang aku takutkan. Sungguh!

Aku hanya takut sampai saat itu tiba, aku belum dapat membebaskan desaku dari kutukan.

Lalu, belum lagi aku harus bertanggungjawab pada Len. Sekarang muncul lagi Kentaro. Aku harus bisa menjamin hidup kedua anjing itu, karena aku adalah majikan mereka. Meski aku tidak pernah diperlakukan sebagai majikan oleh mereka berdua. Apalagi si Kentaro yang baru muncul beberapa hari itu. Dia sangat liar dan pulang ketika waktunya makan saja.

Aku masih ingin menjadi majikan mereka. Aku tidak ingin mati dulu. Mereka berdua akan terlantar jika aku tidak ada. Memikirkan itu, membuatku menjadi sedih.

Baiklah, kini aku harus membuat daftar perbuatan baik seperti mempelajari sihir hingga napasku terhenti. Lalu, bekerja keras untuk menghasilkan uang agar Len dan Kentaro tidak kelaparan jika aku mati. Lalu, memberi kebahagiaan kepada seluruh warga di desaku. Aku harap mereka akan selalu bahagia. Ada atau tidaknya aku di sisi mereka.

Namun, masih sempatkan aku melakukan itu semua?

"Shino?" Sebuah suara membuyarkan lamunanku.

"Len?"

To be continued ....