webnovel

Battle of Heaven

“Bagaimana caranya aku melawan mereka? Mereka itu abadi!” Evan tak pernah menduga kalau dirinya berada di dunia paralel. Orang-orang masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, pedang dan panah sebagai senjata mereka. Sekilas ia seperti tengah melihat citraan jaman pertengahan secara langsung dan nyata. Dunia tersebut terbagi menjadi tiga, dunia manusia, hutan iblis, dan surga malaikat. Ketiga dunia saling bermusuhan satu sama lain dan ras manusia sebagai ras paling lemah di antara ras lainnya. Ketiga dunia terancam perang ketika pemimpin agung yang dihormati mangkat. Evan tahu ada sesuatu yang istimewa dengan dirinya, ia datang membawa kekuatan yang setara dengan para malaikat. Ia pun diminta memimpin pasukan manusia untuk perang dengan para malaikat dan iblis untuk merebut surga yang sejati. Apakah Evan mampu melakukannya? Apakah dia bisa memberikan surga yang manusia inginkan?

Rafaiir_ · Fantasy
Not enough ratings
280 Chs

Waktu untuk Istirahat

Raphael mendengar ucapan Jophiel, malaikat itu turun dari langit seraya membawa botol berisi ramuan untuk menyembuhkan luka Evan.

"Senang melihatmu kembali ke dunia ini, Jophiel," ucap Raphael, tersenyum.

Pria itu memberikan ramuan yang sudah ia racik kepada Jophiel. Wanita itu menerimanya dengan senang hati dan buru-buru membalurkan cairan berwarna hijau itu ke seluruh permukaan punggung Evan.

"Simpan saja ramuan itu untuk nanti." Raphael tidak keberatan untuk memberi ramuan racikannya bagi Evan, ramuan Raphael terkenal mujarab untuk menyembuhkan penyakit apa saja yang diderita oleh makhluk fana.

"Terima kasih atas kebaikanmu," ucap Jophiel, berterima kasih.

Raphael menjulurkan tangannya, mengajak wanita itu untuk kembali ke kahyangan. Namun, Jophiel menolak dengan senyuman yang terkembang di wajahnya.

"Kenapa? Kami membutuhkanmu di sana," ujar Raphael, tetapi Jophiel tetap menolak.

"Aku sudah berjanji kalau aku akan memberikan kedamaian di dunia ini bersama pemuda tersebut," ungkap Jophiel, melirik Evan yang masih terbaring lemas di atas tanah.

Raphael terdiam, kedua matanya membelalak kaget mendengar ucapan dari Jophiel. Ia menyimpan rasa iri terhadap Evan yang berhasil menaklukan hati Jophiel untuk tetap bersamanya, ia tidak akan memaksa Jophiel kembali jika wanita itu tetap memilih Evan sebagai tempatnya pulang.

"Kau hanya akan memberikan penderitaan padanya. Manusia itu, ia tidak akan cukup kuat menampung kekuatan besarmu."

"Aku akan tetap bersamanya. Terima kasih atas perhatianmu," ungkap Jophiel, menyudahi pembicaraan mereka.

Raphael kembali ke langit dengan perasaan yang kesal, ia tidak menduga kalau posisi dirinya di hati Jophiel akan tersaingi bahkan terkalahkan oleh Evan.

Jophiel melihat ada sebuah rumah tua di dekat sungai tersebut. Ia membawa pemuda itu dengan cara terbang menggunakan dua sayap putih milik Jophiel.

Untungnya tidak ada satu orang pun di tempat tersebut, sehingga tidak muncul kecurigaan ketika melihat wanita bersayap muncul seraya memanggul seorang pemuda yang terluka parah.

"Kita akan beristirahat di tempat ini untuk sementara waktu," ucap Jophiel seraya meletakan Evan di atas kasur reot yang tampak berdebu dan tidak pernah ditempati dalam waktu lama.

Andaikan Jophiel memiliki kemampuan untuk mengubah dimensi ruang seperti yang dilakukan Gabriel, maka ia akan mudah menyelesaikan permasalahan yang muncul.

Tapi apalah daya, ia harus berusaha lebih kuat dan keras untuk menjaga Evan, menjauhkannya dari orang-orang istana.

Jophiel memilih untuk tidak kembali masuk ke tubuh Evan. Ia akan tetap berada di bentuk wanita cantik berpakaian gaun panjang berwarna putih dengan menyembunyikan dua sayap miliknya.

Ia akan terus berpenampilan seperti itu untuk menjaga Evan selama pemuda itu masih tak sadarkan diri.

"Jangan khawatir, Evan. Sekarang, aku yang akan menjagamu," balas Jophiel, tersenyum seraya mengusap wajah pemuda di depannya dengan lembut.

***

Tiga hari kemudian.

Evan bangun dan melihat dirinya berada di sebuah rumah yang terlihat asing. Suara dentingan kuali terdengar di arah luar ruang kamar Evan, membuat pemuda itu penasaran.

Ia memberanikan diri bangkit dari atas kasur dan melangkah pelan agar tidak diketahui oleh orang tersebut. Evan tercengang melihat seorang wanita berpakaian blouse berwarna maroon dengan rok pendek di atas lutut berwarna putih yang sewarna dengan kulit wanita tersebut.

Evan tidak bisa melihat wajah wanita itu karena posisinya yang membelakangi. Ia hanya bisa melihat makanan yang tersaji di atas meja dengan hanya satu piring yang tersedia.

"Siapa kau?" tanya Evan, mengejutkan Jophiel.

Jophiel membalikan tubuhnya dan melihat Evan yang tengah berdiri bugar di hadapannya. Jophiel segera meletakan spatula dan pergi memeluk pemuda tersebut.

"Eh? Tunggu, apa yang kau lakukan?" tanya Evan, kebingungan.

"Aku senang kau sudah siuman, Evan," ungkap Jophiel dengan nada suara yang lembut.

Evan memundurkan Jophiel agar ia bisa melihat wajah wanita itu dengan seksama, kedua mata mereka beradu pandang cukup lama.

"Jophiel?" tanya Evan, memastikan.

"Iya, tapi sekarang namaku Rika."

"Rika? Ah, iya Rika itu," balas Evan tertawa kecil ketika kembali mendengar nama itu setelah cukup lama tak mendengarnya.

Rika kembali berjalan menuju tungku api dan melihat apakah masakannya sudah matang atau belum. Evan masih kebingungan dengan yang terjadi padanya, ia juga melihat botol besar yang tersimpan di atas meja dengan cairan hijau berada di dalamnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Evan, duduk di atas kursi meja makan.

Rika mengangkat kuali tersebut dan menuangkan masakan yang ia buat di atas mangkuk keramik, tercium wangi masakan yang sungguh tak asing bagi penciuman Evan.

"Kau melompat dari atas tebing dan kau terluka parah, terutama di punggungmu."

"Punggungku?!" teriak Evan, kepalanya langsung memutar untuk melihat, tetapi ia justru mendapatkan rasa sakit baru karena luka di sekitar leher dan punggung atasnya yang belum sembuh total.

Rika begitu cemas ketika Evan kembali mengerang kesakitan. Ia menenangkan Evan agar tidak panik dengan kondisinya, Rika pun memberitahu Evan tentang ramuan herbal yang diberikan Raphael padanya.

"Maafkan aku merepotkanmu," ucap Evan.

"Tidak apa, lagi pula aku juga mengetahui kondisimu seperti apa," ungkap Rika.

Evan tidak menduga kalau Jophiel akan keluar dari tubuhnya dan bersikap seolah-olah dia bukanlah malaikat agung. Kini, Evan merasa cukup tenang karena tidak merasa sendirian lagi di dunia ini.

"Apa mereka masih mengejar kita?" tanya Evan, seraya melahap masakan buatan Rika.

"Kemarin mereka datang mencari, tetapi aku berhasil menyembunyikan rumah ini dengan kekuatan elemenku," balas Jophiel.

"Kekuatan elemenmu? Apa kau menciptakan tembok penghalang di sekeliling rumah?" tanya Evan, memastikan.

"Tidak."

Rika menghentikan kegiatan makannya dan menarik Evan untuk pergi mengikutinya. Wanita itu melangkah menaiki tangga hingga sampai di atap rumah dan terlihatlah tidak ada satu rumah pun di sekeliling rumah ini.

"Tempat ini tidak aman. Maksudku, siapa pun akan menduga kalau aku bersembunyi di rumah ini."

Evan berjalan mengelilingi atap tersebut dan melihat sejauh mata memandang, tidak ada rumah apa pun selain rumah ini. Namun, ucapan Jophiel mengejutkannya.

"Aku membuat hutan ilusi di sekitar rumah ini. Jadi, mereka tidak akan menyadari kalau kita ada di sini," jelas Jophiel.

"Hutan ilusi? Tunggu! Kau bisa melakukannya?" tanya Evan, kaget.

"Mudah saja, hanya perlu elemen tanah dan cahaya, bisa ditambah suara untuk mengelabui pendengaran mereka," balas Jophiel, menjelaskan cara kerjanya.

Evan terkagum-kagum, ada banyak hal sebenarnya yang tidak diketahui olehnya tentang kekuatan Jophiel. Ia merasa kalau Jophiel sendiri juga bisa melululantahkan seluruh negeri.

"Aku senang bisa kabur dari mereka."

"Bagaimana kabar Altair dan Sophie? Apa kau masih bisa terhubung dengan tongkat Altair?" tanya Evan.

"Mereka dibawa ke Ibukota, sepertinya mereka akan diinterogasi dengan keras," ucap Rika.

"Kita harus menyelamatkan mereka berdua," jelas Evan, tetapi Rika menggelengkan kepala tanda tidak setuju.

Evan bertanya-tanya, kenapa Rika menolak rencananya untuk menyelamatkan mereka berdua. Ia tahu kalau kondisinya tidak memungkinkan, tetapi itu bukan berarti dia harus meninggalkan dua orang itu untuk tersiksa di Ibukota.

Setidaknya Evan ingin memastikan kalau mereka baik-baik saja, tidak mengalami luka sedikit pun.

"Kenapa?" tanya Evan.

"Kekuatanmu, daya tahan tubuhmu, dan kemampuan berpedangmu masih kurang," jelas Rika, menjabarkan secara gamblang kekurangan yang dimiliki Evan.

"Tapi bukankah kekuatanku bisa diandalkan dari dirimu?" tanya Evan, Rika tersenyum simpul mendengarnya.

"Jika kau terlalu mengandalkanku, kau sendiri yang akan kerepotan ketika aku tertangkap oleh malaikat agung," ucap Rika, Evan mengangguk pelan, ia setuju dengan perkataan Rika.

Rika melangkah hingga ke tepi depan atap rumah, memejamkan kedua matanya seraya membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Nebula magia!"

Getaran terasa begitu mengguncang, tetapi tidak membuat Evan dan rumah ini runtuh. Seketika tanah yang semula gersang berubah penuh pepohonan lebat dengan kicauan burung yang menghiasinya.

Panjang bentang hutan tropis tersebut sekitar 800 meter dan yang lebih mencengangkan lagi adalah orang biasa tanpa kemampuan pendeteksi sihir tinggi tidak akan mampu melihat hutan tersebut.

Rika membuka kedua mata dan berbalik badan memandang Evan dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Tangan kirinya menunjuk hutan tropis dadakan yang ia buat di atas tanah gersang tersebut.

"Kita akan memulai latihanmu di sana, Evan," jelas Jophiel.

"Apa? Latihanku?" tanya Evan, kaget.

"Kau harus menjadi kuat untuk melindungi dunia ini dari peperangan dan kekacauan."

Rika berjalan mendekat seraya menggenggam tangn kanan Evan, "Aku yang akan mengajarimu secara langsung, nyata dengan kehadiranku."

Evan akan memulai latihan untuk membentuk dirinya menjadi seseorang yang kuat dan terampil tanpa bantuan kekuatan dari Jophiel. Apakah Evan bisa melewati latihan tersebut dan menuai hasil yang ia inginkan?

Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote dan comment ceritaku. Terima kasih dan selamat membaca

Rafaiir_creators' thoughts