webnovel

BARA

Cintanya terkhianati, ketika gadis yang begitu ia cintai itu kemudian lebih memilih menikah dengan putra bungsu Presiden yang sedang berkuasa penuh di negaranya itu. Ia kemudian hendak dijodohkan dengan seorang dokter cantik oleh sang nenek. Bukannya setuju, ia malah membantu dokter itu jadian sama laki-laki lain yang dokter itu cintai. Dan ketika kemudian ia menemukan cinta barunya, gadis itu kembali datang kepadanya. Meminta kembali tempat dihati Bara yang pernah ia miliki sebelumnya. Mana yang akan Bara pilih? Cinta barunya atau cinta yang menorehkan luka? Novel ini merupakan pengembangan dari novel yang saya tulis di platform sebelah. Dimana kisah Bara pertama kali saya tulis. Selamat membaca.

Kim_Aikko · Urban
Not enough ratings
130 Chs

Engagement Day

Septi begitu gugup hari ini, ia sudah terbalut kebaya warna tosca yang sangat begitu pas menempel di tubuhnya. Rambutnya di sanggul modern, dengan anting mutiara hadiah mama Bara menempel di telinganya. Kalung itu juga tampak pas berpadu dengan kebaya yang Septi kenakan. Semua tampak perfect!

Lili dan Nindi heboh langsung masuk ke kamar Septi, anak-anak mereka tentulah sama bapaknya, dua ibu-ibu muda ini hendak mengintrogasi sekali lagi calon tunangan orang ini.

"Nis, ini sudah hari H, siapa sih orangnya? Kepo maksimal nih!" Nindi benar-benar tidak sabar ingin tahu siapa laki-laki yang hendak melamar Septi itu.

"Iya nih, aku yang satu kota sama kamu juga sama sekali nggak kamu kasih tahu? Jahat kamu!" Lili ikut protes, ia merasa kecolongan.

"Dia sudah on the way, tenang setelah ini kamu akan tahu kok." Septi tersenyum manis, walau sesungguhnya jantungnya berdebar-debar tidak karuan.

"Nisa, keluar yuk! Pihak laki-laki sudah datang lho!" Bang Andre tiba-tiba muncul di depan pintu.

Sontak jantung Septi makin kencang berdegup, astaga ia benar-benar gugup setengah mati.

"Ayo! Ngapain masih duduk di sini?" Nindi yang sangat bersemangat malah, ia buru-buru menarik Septi bangkit dari kursinya.

"Pelan-pelan tahu!" protes Septi ketika ia di seret dua orang sahabatnya itu.

"Siapa suruh bikin penasaran? Aku tanya baik-baik kamu nggak mau jawab, ya jelas dong kita buru-buru pengen tahu siapa laki-laki itu." gerutu Nindi sambil memanyunkan bibirnya.

Mereka melangkah ke ruang tamu, dan Nindi benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Laki-laki itu tengah merangkul suaminya, sambil sesekali terkekeh bersama.

"Bara?" guman Nindi tidak percaya, sementara itu Lili hanya ternganga tanpa bersuara, itu kan laki-laki yang hendak dijodohkan dengan Nindi itu bukan?

"Hai, datang juga rupanya." gumannya sambil tersenyum. "Surprise! Ternyata kami memang benar-benar berjodoh, Nin." ujarnya sambil tersenyum lebar.

Septi hanya tertawa, membuat Nindi gemas sontak mencubit lengan gadis cantik itu.

"Keterlaluan, kalian mengelabui aku rupanya ya?" Nindi benar-benar masih belum percaya, dimana mereka berdua bertemu? Kenapa bisa sampai kemudian lamaran seperti ini sih?

"Ceritanya nanti ya, ini mau acara sakral dulu nih." Bara nyengir lebar, lalu melangkah mendekati Septi, ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis.

Dengan wajah memerah Septi menerima uluran tangan itu, lantas mereka melangkah bersama menuju tempat yang sudah dipersiapkan dengan begitu apik itu.

Nindi dan Lili masih berdiri di tempatnya, mereka berdua saling pandang. Jadi Abimana itu Bara?

***

"Kalian hutang penjelasan padaku!" gerutu Nindi setelah semua acara inti selesai. Kini di jari manis sebelah kiri masing-masing Bara dan Septi sudah melingkar cincin pertunangan mereka.

"Apa lagi sih?" Bara masih tertawa terbahak-bahak, sementara Bastian hanya geleng-geleng kepala sambil menggendong putri cantiknya.

"Kalian bisa kenal di mana? Kok tahu-tahu lamaran sih?" Nindi benar-benar masih kepo.

"Oke, jadi gini ... aku buka usaha baru, merambah ke ayam geprek. Kedai pertama aku buka di kota ini. Aku beli ruko, dan kebetulan ruko itu ada tepat di depan klinik tempat kerja Septi."

"Septi? Danisa kali, Bar!" Nindi mencoba meralat.

"Iya, Danisa Septia Hadi kan? Kami sepakat panggil nama tengah untuk nama panggilan kami, Nin. Danisa jadi Septi, dan aku jadi Abimana." jelas Bara Damanik tersenyum kecut.

"Kok jadi Abimana?" Nindi masih tidak paham.

"Yaaampun Nin, kita sahabatan berapa lama sih? Nama lengkapku kan Bara Abimana Soeprapto."

Nindi sontak menepuk jidatnya dengan gemas, "Astaga, kenapa aku baru sadar? Ya ampun kalian berdua bener-bener ya, awas aja nanti nikah dadakan."

"Kalau nikah nggak mungkin lah, Nin. Pasti kan persiapannya jauh-jauh hari." Septi terkekeh, kena kan?

"Jaga baik-baik Danisa ya, Bar! Ingat empat sahabat dia dokter semua, suaminya juga kecuali seseorang yang pilih prajurit TNI daripada dokter, jadi tau sendiri kan kalau macam-macam kamu bakalan kami apain?" ancam Nindi sambil mengepalkan tangannya.

"Paham, Bu Dokter. Jangan khawatir, aku akan jaga Bu Bidan ini dengan sebaik-baiknya." Bara tersenyum, lalu melirik Septi dengan wajah memerah itu.

***

"Besok jalan-jalan yuk, mau?" ujar Bara ketika ia hanya duduk berdua dengan Septi. Yang lain tengah mengobrol saling bergerombol satu sama lain.

"Kemana?" sungguh Septi sangat bahagia hari ini, wajahnya terus memerah dengan senyuman yang merekah sempurna.

"Kemana saja, aku ikut kamu deh pengen ke mana Sayang."

"Pantai di daerah Gunungkidul yuk, katanya bagus-bagus." ajak Septi dengan senyum merekah, besok kebetulan ia masih cuti.

"Boleh, kita mantai besok." Bara meraih tangan itu, kemudian menggenggamnya erat-erat.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Septi yang tengah menatap lurus mata indah itu.

"Sangat amat bahagia sekali, kamu?"

"Teramat sangat bahagia," jawab Septi dengan wajah yang kembali merona memerah.

Mereka tertawa bersamaan, tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. Mata mereka masih saling beradu, dan Septi benar-benar terpukau dengan tatapan itu.

"Kumohon, jangan terlalu lama ya." guman Bara lirih.

"Terlalu lama untuk?" Septi tak beranjak dari tatapan itu.

"Aku ingin secepatnya menikahimu." mohon Bara sekali lagi.

"Iya, aku mengerti." senyumnya kembali merekah.

Rasanya Bara ingin meraih tubuh itu dalam pelukannya, namun mengingat ini masih banyak orang, maka ia mengatakan niatnya itu.

Wajah itu benar-benar cantik, dan Bara sangat suka menatapnya, apalagi dengan senyum manis dan rona merah pada wajah itu membuat Bara benar-benar gemas.

"Jangan lupa besok ya, Sayang." ujar Bara ketika mereka hanya terdiam cukup dalam dan saling pandang itu.

"Iya pasti,"

"Oh ya," Bara merogoh saku celana bahannya, lalu mengeluarkan sebuah kunci. "Ini kunci apartemen ku, sekarang itu juga milik kamu jika kamu mau menggunakan, main kesana. Bebas."

Septi menerima kunci itu, ia hanya mengangguk sambil tersenyum. "Jadi misal mau nginep sana boleh?" godanya sambil tersenyum manis.

"Boleh sih, tapi pasti sama papa dan Bang Andre tidak dikasih izin." Bara terkekeh, benar kan?

"Kalau itu jelas, kecuali jika kita sudah resmi."

"Kalau itu ya kamu wajib ikut aku dong, kan aku suamimu." Bara tertawa, ia benar-benar tidak sabar membawa gadis ini pulang kerumahnya.

"Kau benar-benar sudah siap, Bi?"

"Tentu, aku sudah sangat siap!" jawab Bara mantab.

"Baiklah, aku juga akan mempersiapkan diri."

***

Bara benar-benar bahagia hari ini. Ia sudah kembali ke kamar apartemennya. Papa mamanya langsung menuju Jogja karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

Bara merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Setelah ini ia tidak akan kesepian lagi di tengah gelap malam. Akan ada sosok yang menemani tidurnya, membelai lembut dirinya.

Dan yang lebih membahagiakan lagi adalah hilangnya bayangan Kirana dalam hati dan pikirannya. Semua ini karena gadis itu, Danisa Septia Hadi.

"Kamu milikku, Sep. Terimakasih sudah mau memberiku kesempatan."