webnovel

Tega

Marcella bingung harus bagaimana lagi meyakinkan Riana yang terlanjur tidak mempercayai kebutaannya. 'Ayo Marcella, cepat cari alasan agar Riana mempercayaimu!' batin Marcella terus mencari alasan.

Riana sudah habis kesabaran menunggu jawaban dari sepupunya itu, lalu menarik tangan Marcella dengan kasar. "Jangan salahkan jika aku mengambil langkah berbahaya, untuk membuktikan dirimu tidak buta!" Riana menarik sarkas tangan Marcella.

"Ayo ikut aku!" sentaknya, sambil menarik tangan Marcella.

"Lepaskan aku Riana... kau mau bawa aku ke mana?"

"Sudah cepat ikuti saja aku!" Riana terus memaksa Marcella, untuk mengikutinya.

Yunita merasa tidak tega melihat tuan putri di rumah itu diperlakukan semena-mena di rumah itu, akhirnya Yunita bertindak. Belum sempat dia menggagalkan niat Riana, Zalina sudah menahan tangannya.

"Kau jangan ikut-ikutan Yunita, kau bukan siapa-siapa di Rumah ini!"

"Lepaskan saya Nyonya, kasihan Nona Marcella!" lirih Yunita berusaha melepas tangan Zalina.

"Ha-ha-ha, kau pikir kau bisa terus membangkang padaku Hem?"

"Tolong Nyonya..." lirih Yunita memohon, untuk di lepaskan oleh Zalina.

"Tidak, kau harus ikut denganku!" Zalina menarik tangan Yunita, memaksanya untuk masuk ke kamar. "Kau tidak boleh keluar dari kamar ini! Lagi pula pembantu sepertimu seharusnya tetap berada dalam kamar, jika sudah malam seperti ini" bentak Zalina, mengunci pintu kamar Yunita.

Sebelum pintu itu tertutup, Yunita berlari kembali, tadinya dia ingin kekuar untuk melindungi Marcella, tapi kalah cepat oleh Zalina.

"Nyonya... buka pintunya!" lirih Yunita, sambil memukul-mukul pintu kamarnya, beharap akan dibukakan oleh Zalina.

Sementara Marcella kini sedang di hadapkan oleh pecahan kaca yang berserakan di lantai tepat di hadapannya. Saat ini Riana berusaha menguji kebutaan Marcella.

'Sial! Riana memintaku melewati pecahan kaca ini!' ucap Marcella dalam hatinya, dengan tatapan tidak beralih pada pecahan kaca.

'Tapi... kalau aku tidak melakukannya, pasti Riana akan mengetahui kebutaanku?' batinnya lagi.

"HEY! Kenapa kau malah diam, ayo ikut denganku!" seru Riana menarik tangan Marcella, melewati pecahan kaca itu.

BREK!

Suara langkah Marcella menginjak pecahan kaca, ia meringis menahan rasa sakit itu. Buliran bening pun jatuh dari sudut matanya, dia tidak bisa menahan rasa sakit itu lagi.

"AKHHH!" rintihnya. "Apa yang kau lakukan dengan kakiku Riana? Kenapa rasanya sakit sekali!" lirihnya dengan isakan tangis yang tidak berhenti.

"Baguslah kalau kau masih merasakan sakit," ujar Riana tersenyum menyeringai. Barulah Riana percaya pada kebutaan Marcella. 'Walaupun aku tidak dapat membuktikan kebutaanmu, setidaknya aku bisa menyakitimu saat ini!' batinnya.

HIKS!

Marcella menangis sejadi-jadinya, bersimpuh di lantai menahan rasa sakit, luka di kakinya.

"Ayo cepat bangun!" Riana kembali menarik tangan Marcella, memaksanya bangkit. Setelah Marcella berdiri, tiba-tiba saja Riana mendorongnya kembali hingga terjatuh.

BRUK!!!

ARGHHH!!!

Marcella memekik merasakan kesakitannya. "Kenapa kamu begitu kejam padaku Riana? Apa sebenarnya yang ada dipikiranmu?!" Marcella berteriak, murka pada Riana.

"Kau mau tahu apa yang ada di isi kepalaku? Aku sangat menginginkanmu mati!" bisik Riana ditelinga Marcella.

DEGH!

Marcella mengetahui sejak awal Riana memang tidak pernah menyukainya, padahal tidak ada apapun yang tidak pernah Marcella bagi padanya. Bahkan, kebahagiaan pun Marcella bagi pada sepupunya itu.

Namun, Riana sudah dibutakan oleh harta dan kedudukan, dia tidak lagi menganggap Marcella sepupunya, malah lebih memilih menjadikan Marcella musuhnya.

Kemudian Riana melangkahkan kakinya, dia menuju kamar Yunita, di sana dia bertemu dengan Zalina.

"Kamu apakan Marcella?"

"Aku membuktikan bahwa dia itu tidak buta Mam,"

"Lalu kau bisa membuktikannya?"

"Tidak," Riana menggeleng kepalanya. "Aku hanya berhasil melukai kakinya!" lajut Riana.

Zalina membelalakan matanya, dia tidak percaya atas ucapan putrinya itu. "Kau melukai kakinya?" Zalina menelan salivanya, dan menghela nafasnya.

"Di mana dia sekarang?" tanyanya kemudian.

"Marcella berada di dapur, mungkin sedang menangis!" jawab Riana.

"Ya sudahlah biarkan saja dia! Kalau perlu diamkan saja dia jangan di obati!" timpal Zalina. "Kalau begitu Mami mau ke kamar, lelah rasanya malam ini!" ucap Zalina perlahan meninggalkan Riana.

Sepeninggal ibunya, Riana menghampiri kamar Yunita, dia mengetuk pintu kamar pembantunya itu.

Tok! Tok! Tok!

Riana mengetuk pintu kamar Yunita, pembantu rumahnya.

Sementara di dalam kamar Yunita segera bangkit, dari kasurnya menghampiri pintu kamar.

"Nona Marcella?" tanya Yunita pada seseorang yang berada dibalik pintu kamarnya.

"Bukan, ini saya Riana!" jawab Riana, sambil membuka pintu yang terkunci itu.

Setelah pintu terbuka, Yunita segera menghampirinya. "Apa yang Nona lakukan pada Nona Marcella?"

"Kau lihat saja sendiri keadaan Nonamu itu!" ujar Riana, meninggalkan kembali kamar Yunita.

"Tunggu Nona, di mana Nona Marcella berada?"

"Dia di dapur, Oh ya jangan lupa kau bawakan kotak P3K untuk Nona kesayangan kamu itu!" tegas Riana.

Setelah mendengar penuturan Riana, Yunita seger bergegas menuju dapur, ditambah lagi Riana memintanya membawa kotak obat.

"Ya Tuhan... memangnya Nona Riana apakan Nona Marcella, sehingga aku harus membawa kotak obat?" gumam Yunita dengan langkah terburu-buru.

Ketakutan Yunita kian menjalari seluruh tubuhnya, terlebih lagi setelah Yunita melihat Marcella jatuh terkapar di lantai, dengan darah yang mengucur deras dari kakinya.

"Nona Marcella! Anda harus bertahan!" Yunita menatap nanar pada keadaan putri majikannya yang terlihat sangat memprihatikan.

Marcella sudah tidak sadarkan diri lagi, badannya terasa lemah. Tidak bertenaga lagi, bahkan untuk berdiri sendiri pun sudah tidak bisa.

"Tolong Tan---,"

Seketika Marcella memejamkan matanya, dan membuat Yunita kaget luar biasa.

"Nona!"pekik Yunita kaget. "Bangun Nona, Anda harus bertahan," Yunita mengguncang pipi Marcella, tapi Marcella tidak membuka matanya.

Yunita sangat panik, dia segera mengambil ponsel. Dia bingung harus meminta pertolongan pada siapa lagi.

Di saat panik seperti ini tidak ada satu pun nomor ponsel kerabat dekat dari keluarga konglomerat Mahardika yang dapat di hubungi oleh Yunita.

"Kenapa semuanya sangat susah dihubungi?" gumam Yunita kesal.

Kemudian Yunita menghampiri kamar Darwin, dan Zalina dia memohon pada mereka, agar mau membawa Marcella ke rumah sakit.

"Nyonya! Tuan!"

Yunita terus memanggil Darwin, dan Zalina. Namun, Zalina seolah pura-pura tidak mendengar. Bahkan pada saat Darwin, sepintas mendengar ada seseorang yang memanggilnya pun Zalina segera meyakinkan Darwin, bahwa tidak ada yang memanggilnya.

"Mama tidak mendengar ada yang memanggilku?"

"Ah enggak ada, Papa salah dengar kali!" timpal Zalina berusaha meyakinkan.

Dirasa tidak ada yang menyahutinya, akhirnya Yunita memilih meninggalkan kamar Nyonya, dan tuannya itu.

Sementara Marcella semakin sekarat, keadaannya sekarang sudah sangat memprihatinkan. Sudah tidak sadarkan dirinya lagi.

Sehingga membuat Yunita semakin mengkhawatirkannya.

Jlegar!

Suara petir menyambar, dan seketika hujan pun turun malam itu, Yunita terpaksa menggendong anak majikannya itu ke rumah sakit, meskipun hujan badai Yunita tidak menghentikan langkahnya.

"Saya mohon Nona harus bertahan!" lirihnya.

Akankah Marcella dapat diselamatkan?