webnovel

RESTU YANG TERGAPAI

"Mihran, aku takut!" teriak Amaliya dengan suara keras.

"Jangan takut, Sayang, aku punya kejutan spesial untuk kamu!" teriak Mihran.

Wajah penuh ketakutan. Jantung yang berdegup sangat kencang. Netra Amaliya melihat ke sekeliling di atas jembatan gantung itu. Bagi seorang Amaliya yang takut akan ketinggian, itu hal yang menyeramkan.

Namun, Mihran, kekasih Amaliya sejak mereka sama-sama duduk dibangku SMA ingin agar phobia ketinggian kekasihnya itu lenyap. Ia pun sengaja memberikan sebuah surprise di atas ketinggian.

"Mihran! Kamu sengaja ya?" teriak Amaliya dengan wajah merenggut.

Kekasih Mihran itu menolak, ia memilih berjalan berbalik arah daripada harus berjalan ke depan menuju ujung jembatan gantung itu. Di mana Mihran sedang menunggunya.

"Ok, Sayang! Sekarang kamu jalan, aku juga jalan. Kita ketemu ditengah. Adil bukan? Kamu percaya kan sama aku?" bujuk Mihran.

Amaliya pun mengikuti keinginan kekasihnya itu. Akhirnya, ia memberanikan diri melangkahkan kakinya satu per satu, pandangannya lurus ke depan, sesuai perintah Mihran.

Dan akhirnya ... Mihran berhasil memeluk Amaliya dengan wajah ketakutannya. Ia memeluk sangat erat, agar Amaliya menjadi tenang.

"Kamu jahat!" pekik Amaliya berkaca-kaca.

Mihran tertawa, ia akhirnya berhasil membuat Amaliya yang phobia ketinggian akhirnya berhasil melewati semuanya.

Mihran pun menatap gadis tomboy itu dengan penuh cinta. Tangannya memegang wajah Amaliya dan sikap Mihran membuatnya gugup.

"Aku bahagia, kamu percaya sama aku. Kepercayaan ini akan menjadi kunci kuatnya hubungan kita ke depan."

Mihran menarik nafas panjang.

"Aku yakin, sebesar apapun ujian yang akan kita lewati nanti, selama aku sama kamu punya cinta dan kepercayaan, semua pasti bisa kita lewati," kata Mihran membuat Amaliya tersenyum. Mereka pun berpelukan sangat erat.

"Aku punya sesuatu buat kamu. Sayang, aku mau melamar kamu, dengan sebuah cincin yang indah, tetapi .... " Mihran pun mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna ungu dan ... Amaliya pun tertawa.

"Loh, ini kan cincin yang dulu?" ujar Amaliya.

Amaliya menerawang, di masa SMA dulu, ia ingin membeli sebuah cincin mainan cantik bermata ungu, warna kesukaannya. Namun, Mihran mengejeknya seperti anak kecil. Ah, ternyata dia membelikannya untukku.

Amaliya pun tersenyum bahagia, ia memeluk erat pujaan hatinya itu. Amaliya pun melupakan ketakutannya. Akhirnya, Amaliya pun mengajak sang kekasih pulang untuk bertemu dengan orangtuanya dan membahas soal pernikahan ini.

****

"Kamu sudah punya apa, melamar anak saya? ucap Pak Taher, Ayah Amaliya.

Mihran terdiam, matanya nanar menatap ke arah orangtua serta Oma Amaliya yang duduk dihadapannya.

"Saya sekarang memang belum sukses, Om, tetapi saya janji akan membahagiakan Amaliya dan sukses demi Amaliya," ucap Mihran dengan lantang dan penuh keyakinan.

Pak Taher pun tersenyum sinis.

"Pa, Amaliya yakin kok, Mihran akan sukses nanti. Dan Liya mau kok memulai dari nol sama Mihran," ujar Amaliya meyakinkan Papanya.

Pak Taher sinis, ia marah besar.

"Amaliya. Papa itu kerja keras untuk membahagiakan kamu. Sejak kecil, kamu hidup berkecukupan dan ....

Belum Pak Taher menyelesaikan ucapannya, Oma Amaliya membela sang cucu.

"Taher, sudahlah. Dengarkan dulu anak-anak ini bicara maunya mereka," ujar Ibu Siska membela cucu kesayangannya.

"Bu, tolong! Biarkan aku berbicara dulu. Ok?" ucapnya tegas.

Pak Taher menarik nafas panjang.

"Amaliya, kamu belum tahu bagaimana hidup, bukan hanya butuh cinta. Kamu sakit, harus ke rumah sakit, butuh uang! Kamu melahirkan, juga butuh uang dan saat kamu punya anak, kamu juga butuh uang untuk membeli susu anakmu!" ucap Pak Taher tegas.

"Silakan kamu pulang dan jangan datang melamar sebelum kamu bisa tunjukkan pada saya kalau kamu sudah sukses!" kata Pak Taher dengan lantang, membuat mental Mihran down. Niat tulusnya pun ditolak.

Pak Taher menolak tegas keinginan Mihran untuk menikahi putri kesayangannya, Amaliya Nahra Zaretha. Pak Taher pun memilih pergi, meninggalkan mereka yang terdiam di ruang tamu besar itu. Ibu Arumi, Mama Amaliya pun menyusul sang suami atas perintah mertuanya.

"Jangan diambil hati omongan Papa Amaliya. Dia memang keras, tetapi hatinya baik. Nanti biar Oma yang akan bicara dengannya. Kalau Oma, Oma merestui kalian," ujar Ibu Siska menepuk pundak Mihran, memberinya semangat.

Mihran dan Amaliya pun tersenyum

Mihran pun melangkahkan kakinya ke luar rumah mewah milik Oma Siska.Mihran dan Amaliya memang dua orang yang berbeda. Amaliya terlahir dari keluarga yang kaya raya. Oma dan almarhum opanya membangun sebuah perusahaan hingga akhirnya mereka dikenal sebagai pengusaha sukses. Bukan sekadar di Indonesia tetapi juga dunia internasional.Sedangkan Mihran, hanya berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang dokter spesialis, Ibunya sudah meninggal sejak Mihran SMP.

"Sayang, kamu jangan ambil hati ya omongan Papa tadi. Aku percaya, kamu akan sukses," ujar Amaliya memberi semangat pada calon suaminya itu.

"Aku akan tetap menikah dengan kamu, meski Papa tidak merestui pernikahan kita." Amaliya pun tersenyum, agar Mihran kembali semangat.

"Nggak mungkin, Ly, gimana kita menikah tanpa restu orangtua kamu?" ujar Mihran pesimis.

"Kamu yang sekarang harus percaya sama aku. Kita akan hidup bahagia dan sukses bersama-sama memulai semua dari nol," kata Amaliya yakin. Akhirnya Mihran pun tersenyum.

Mihran pun mencium kening Amaliya sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan rumah mewah itu.

-----

"Restu Allah, tergantung restu orangtua."

Oma Siska mendatangi kamar Amaliya yang belum juga keluar kamar dan ikut sarapan bersama, seperti kebiasaannya. Saat pintu terbuka, Oma Siska pun kaget mendapati sang cucu sudah tidak ada di kamarnya.

"Kok tumben, Amaliya tidak pamitan dan cium aku dulu?" gumam Oma.

Oma pun mengingat perkataan sang anak semalam saat menolak lamaran Mihran. Ia takut, jika sang cucu nekat pergi bersama Mihran. Dan benar saja, saat melihat lemari Amaliya kosong tanpa satu pun pakaiannya tertinggal, membuat Ibu Siska murka.

Ibu Siska pun berteriak dengan keras, memanggil nama putra tunggalnya itu agar segera menghampirinya di dalam kamar Amaliya.

"Ada apa sih, Bu?" ujar Taher kebingungan melihat netra Bu Siska yang sudah menangis.

"Ini semua gara-gara kamu! Amaliya pergi meninggalkan rumah. Dia pasti nekat kawin lari! Gara-gara kamu cucu kesayanganku pergi meninggalkanku!" hardik Bu Siska.

"Kawin lari?" lirih Mama Amaliya.

"Ini semua gara-gara Mihran. Kurang ajar! Berani dia membawa anak gadisku pergi?" Pak Taher murka, wajahnya memerah menahan amarah yang bergemuruh. Penuh dendam dan kebencian pada Mihran.

Pak Taher pun pergi mencari keberadaan Mihran dan Amaliya. Saat Malik, adik Amaliya hendak menyusul Papanya mencari sang kakak, Mamanya pun memanggil. Tubuh Bu Arumi pun melemah, ia nyaris pingsan untung Malik sigap memapah Mamanya itu untuk berbaring diranjang Amaliya.

****

"Saya terima nikah dan kawinnya Amaliya Nahra Zaretha binti Taher dengan mas kawin tersebut tunai!" ucap Mihran dengan suara lantang.

"Bagaimana, Sah?" tanya penghulu pada saksi dan semua yang menyaksikan.

"SAH!"

"Alhamdulillah."

Akhirnya, Mihran dan Amaliya resmi menjadi pasangan suami istri yang sah. Walau dengan acara pernikahan yang sederhana tetapi tidak mengurangi hidmatnya acara sakral itu.

Amaliya pun terharu, bulir bening itu jatuh. Airmata kebahagiaan.

"Maafin aku ya. Aku nggak bisa mewujudkan pernikahan seperti impian kamu," ujar Mihran yang merasa bersalah.

Mihran pun mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna ungu itu. Sepasang cincin emas bermata ungu, hadiah sederhana yang bisa diberikan Mihran saat ini.

"Aku janji saat aku sukses nanti, akan kuganti sebuah cincin berlian yang cantik buat kamu," ucapnya lirih.

Amaliya pun tersenyum, ia bangga memiliki suami seperti Mihran. Ia yakin, mimpinya menjadi sukses akan nyata suatu saat nanti.

"Aku percaya selama kita bersama, kita akan bahagia, Suamiku," kata Amaliya penuh haru. Mereka pun berpelukan.

"Bahagia itu sederhana, tinggal bagaimana kita mensyukuri hidup ini."

Setahun berlalu

Di sebuah klinik sederhana, di kamar yang tidak besar dan ranjang besi kecil, di sinilah Amaliya terbaring lemah setelah melahirkan putri pertamanya dengan Mihran Ghazzal.

Aila Shakeela Zanetha, sebuah nama cantik yang diberikan Mihran untuk putri pertama mereka.

Amaliya pun bahagia. Walau hidup dalam kesederhanaan bersama suaminya, ia kini menjadi seorang Ibu dari putri yang sangat cantik. Dengan bangga, ia pun mengambil gawainya dan memajang foto Aila, bayi kecil itu di akun sosial medianya dengan caption, "Akhirnya .... "

Oma Siska pun melihat postingan sang cucu yang sedang menggendong bayi mungil nan cantik itu, Aila Shakeela Zaretha.

"Amaliya sedang gendong bayi? Apa ini anaknya? Jadi aku sudah punya cicit?" gumam Ibu Siska.

Oma Siska pun bahagia, kini ia sudah memiliki cicit yang sangat cantik, dari cucu kesayangannya.

"Aku harus ke sana dan merahasiakan ini dari semuanya," batin Oma Siska. Ia pun mengambil tasnya dan pergi ke klinik di mana Amaliya kini dirawat.

"Oma, bahagia amat sih. Mau ke mana?" tanya Malik saat berpapasan di luar kamar sang Oma.

"Rahasia."

"Eh, Oma mau ke mana?" tanya Malik lagi karena penasaran.

"Oma ada meeting penting. Bye!"

Oma Siska pun bergegas pergi karena tak ingin dicecar dengan pertanyaan lain dari Malik.

Bu Siska pun sampai di kamar kecil, di mana Amaliya sedang mengasuh bayi mungilnya itu.

"Amaliya ...." panggil Oma Siska, ia pun memeluk cucu yang sangat dirindukannya itu.

Cukup lama, pelukan hangat itu akhirnya dilepaskan. Oma pun menggendong cicit cantiknya itu.

"Cantiknya cicit Oma."

Amaliya dan Mihran pun tersenyum, ia terharu sang Oma mau menerima dan memaafkan keduanya karena telah menikah tanpa restu.

"Yang lalu lupakan saja. Oma bahagia sekali, akhirnya sekarang Oma sudah punya cicit." Oma Siska tersenyum bahagia.

Tiba-tiba

"Memalukan! Cucuku dilahirkan ditempat sederhana seperti ini? Aku ini pengusaha yang sukses dan kaya raya!" pekik Pak Taher yang kesal sekaligus mencoba menutupi kebahagiaannya.

"Taher, sudah! Lihat ini cucumu," ujar Oma Siska.

Taher pun berlari keluar, tanpa mau melihat cucunya yang baru lahir ke dunia.

Ibu Arumi pun memeluk Amaliya penuh haru. Seperti mertuanya, ia pun sangat merindukan sang putri.

"Maafin Liya ya, Ma, nikah tanpa memberitahu sama Mama," ujar Amaliya.

Ibu Arumi pun mengelus rambut putrinya dan ia pun tersenyum.

"Mama sudah memaafkan kalian. Bu, mana cucuku?"

Ibu Arumi pun mendekati sang mertua yang sejak tadi menggendong putri Amaliya itu. Ibu Arumi kini bahagia, sekarang ia bisa menggendong cucunya. Bayi mungil yang cantik.

"Aku mau kejar Papa," ujar Amaliya.

"Liya, kamu kan baru melahirkan. Kondisimu masih lemah," ujar Mihran yang khawatir dengan kondisi istrinya.

"Aku harus bicara sama Papa!"

Amaliya pun perlahan pergi. Ibu Arumi pun menyusulnya atas perintah Ibu Siska karena khawatir orangtua dan anak itu akan bertengkar.

"Kamu itu anak Papa yang paling disayang, Amaliya. Walau Papa marah, kecewa, tetapi dia nggak bisa membencimu. Bicaralah baik-baik ya," ujar Ibu Arumi.

Amaliya pun menghampiri Papanya.

"Pa, Liya minta maaf, Liya udah mengecewakan Papa."

Pak Taher masih diam membisu membelakangi Amaliya.

"Jika memang Papa tidak mau menerima pernikahan Amaliya dan Mihran dan juga cucu Papa, Alia, kami semua akan pergi dari hidup Papa selamanya," ujar Amaliya menunduk lemah. Ia pun kini pasrah melihat Papanya yang tak kunjung berbicara. Amaliya pun berbalik arah kembali ke kamarnya.

"Liya, kamu tahu, orangtua rela menahan sakit agar anaknya bisa berbahagia. Kamu kini sudah menjadi seorang Ibu, kamu nanti pasti akan merasakannya." Pak Taher kini berbalik arah, perlahan berjalan mendekati sang putri.

"Jika kamu bahagia, Papa bahagia dan merestui kalian," ucap Pak Taher tegas.

Amaliya pun berbalik arah dsn berlari memeluk Papa yang sangat dicintainya itu. Jauh dari lubuk hatinya, ia sangat merindukan cinta pertamanya itu.

Kini Amaliya dan sang Papa sudah saling memaafkan. Amaliya pun mengajak Papanya kembali ke kamar melihat cucu kebanggaannya itu.

Saat melihat keduanya masuk, hanya senyum bahagia terpancar dari wajah Ibu Siska, Ibu Arumi, Malik dan terlebih Mihran. Akhirnya, Alia dapat merasakan pelukan hangat sang kakek.

"Bu, mana cucuku? Aku mau menggendongnya," kata Pak Taher, membuat Mihran tersenyum. Ia bahagia dan terharu, akhirnya doanya terkabul. Hubungannya dengan sang mertua mulai mencair.

"Kebahagiaan seorang anak tidak akan lengkap, jika ada kesedihan diwajah orangtuanya. Karena, bagi seorang anak perempuan, Ayah adalah cinta pertamanya."

bersambung ....