BAB 3
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Akhirnya Devina, Dessy, dan Delvin Lowin menampakkan diri di rumah duka. Segera Carvany memanggil mereka bertiga. Ketiganya dan Carvany duduk berhadap-hadapan sekarang membahas apa yang akan disampaikan oleh Nyonya Hartati Lowin.
"Ibu ada di sampingmu?" terdengar suara Devina Lowin yang melecehkan. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang dengan kecentilannya yang sebenarnya sangat menyebalkan di mata Carvany. Namun, karena bertugas menyampaikan pesan sang bibi kepada ketiga anaknya, Carvany berusaha menahan diri.
"Jangan mengada-ada deh, Carvany…" kata Delvin Lowin dengan sorot mata yang tidak percaya.
Carvany menghela napas panjang. Dia bertukaran pandang sejenak dengan arwah si bibi yang juga terperengah di tempatnya. Sejak tadi dia juga sudah menduga anak-anaknya pasti akan sulit menerima fakta bahwa kini arwahnya duduk di samping Carvany dan menyampaikan sebuah pesan.
"Dengarkan dia dulu dong!" protes Dessy Lowin agak lembut meski dia sendiri kurang bisa mempercayai cerita Carvany. "Sejak kecil kan memang Carvany ini bisa melihat makhluk-makhluk halus tak kasat mata. Kenapa kita tidak dengarkan dulu kira-kira pesan apa yang ingin disampaikan Ibu?"
Carvany mengambil napas dalam-dalam dan mulai berbicara, "Delvin! Apa kau sekarang yang meneruskan usaha apotek keluarga kalian?"
Delvin Lowin mengangkat matanya dan kemudian membuang pandangannya ke arah lain, "Iya… Memangnya kenapa?"
"Ibumu bilang meneruskan bisnis keluarga itu tentu saja adalah hal yang baik. Namun, kau harus menghentikan kebiasaan itu hari ini juga! Hari ini juga kebiasaan tidak baik dalam menjalankan usaha keluarga itu harus dihentikan!"
Delvin Lowin mendengus dan tersenyum aneh, "Kebiasaan apa maksudmu? Aku meneruskan usaha apotek keluarga kami dengan cara yang biasa-biasa saja. Aku memasok obat-obat dari Jakarta dan dari luar negeri sana. Obat dalam negeri tentu saja lebih murah. Obat luar negeri, obat paten tentu saja lebih mahal. Aku rasa tidak ada yang salah dengan itu. Kebiasaan apa yang sedang kaubicarakan di sini?"
"Obat yang sudah kadaluarsa tetap kaujual bukan? Tanggal kadaluarsa diedit dan dicetak ulang ke kemasan yang baru. Obat-obat kadaluarsa dipindahkan ke kemasan baru dengan tanggal kadaluarsa yang sudah diedit dan dicetak ulang tersebut. Iya kan?" kata Carvany dengan tatapan tajam ke Delvin Lowin.
Tiga bersaudara itu tampak terkesiap di tempat masing-masing.
"Bagaimana kau bisa sampai tahu hal itu?" Devina Lowin tampak mulai berkeringat dingin.
"Sampai sekarang kau masih belum percaya arwah ibumu kini sedang duduk di sampingku?"
Devina Lowin terdiam. Dessy Lowin hanya bisa diam menunduk. Delvin Lowin mulai memberontak dalam amarahnya.
"Obat kadaluarsa itu hanya selang satu atau dua bulan. Dalam satu atau dua bulan maksimal aku sudah berhasil menghabiskan seluruh stok obat kadaluarsa itu. Lagipula, selama ini tidak pernah ada masalah dan tidak pernah ada complaint dari para pelanggan. Kok jadinya kau yang sewot sih! Apa hakmu menggunakan nama Ibu segala untuk ikut campur ke dalam masalah keluarga kami!"
"Aku tidak pernah ada contact dengan keluarga kalian untuk waktu yang lama. Ketika ayah kalian meninggal dulu tidak pernah. Ketika ibumu meninggal sekarang aku baru sempatkan waktu ke sini. Ayah ibuku saja tidak sempat datang memberikan penghormatan terakhir. Sudah lama tidak saling berkomunikasi, dari mana aku bisa tahu soal pengubahan tanggal kadaluarsa ini?" tampak sorot menantang di mata Carvany.
"Bisa saja kau dengar informasi yang tidak-tidak di luar sana! Dan sekarang kau menggunakan nama Ibu segala untuk mengancam dan memerasku! Siap-siap saja kau ya! Aku takkan tunduk padamu semudah itu! Aku takkan memberikan apa yang kauinginkan semudah itu! Jangan kira mentang-mentang kau sedang memegang kartu AS sekarang, seenaknya kau bisa atur ini itu!"
Carvany menghela napas panjang. Siapa yang menginginkan uangmu? Yang menerima uangmu, aku rasa sial tujuh turunan pun bisa! Dia berpaling ke bibinya di samping, "Aku sudah sampaikan apa yang ingin Bibi sampaikan. Selanjutnya, apakah dia akan menghentikan praktik kotor itu atau tidak, itu urusan dia bukan? Dia mau percaya atau tidak, itu urusan dia kan?"
"Katakan padanya bagaimana aku bisa meninggal, Carvany! Bilang sama dia apa yang kuceritakan tadi!" kata Nyonya Hartati di antara takut dan panik yang bercampur baur menjadi satu.
"Ibumu ada bilang dia meninggal sebenarnya bukan karena penyakit kanker. Dia meninggal di Kuala Lumpur karena tertabrak bus besar ketika menyeberang jalan."
Semua pasang mata mengarah ke Carvany sekarang.
"Ibu ke Kuala Lumpur untuk check-up katanya. Jadi dia meninggal bukan karena penyakitnya? Dia sebenarnya tidak sakit apa-apa? Dia meninggal karena tertabrak bus?" tampak sepasang mata Dessy Lowin yang terbelalak lebar.
"Jangan dengarkan dia! Jelas Ibu meninggal karena penyakit kanker yang terlambat didiagnosa! Jelas dia hanya mengarang-ngarang cerita untuk mengelabui kita!" terdengar suara Delvin Lowin yang berdentum.
"Percaya tidak percaya itu urusan kalian deh! Sudah sejak beberapa bulan lalu, Bibi Hartati memiliki firasat dan penampakan atas kematiannya sendiri yang mengenaskan. Dia sudah mengatur surat wasiatnya sehingga kelak apotek dan seluruh cabang-cabangnya akan jatuh ke tangan kalian bertiga. Dia sadar betul banyak pemilik saham yang mengincar apotek itu dan cabang-cabangnya. Kalian juga tahu dengan jelas, jika kematian ibu kalian itu adalah kematian mendadak karena kecelakaan, surat wasiat yang sudah dipersiapkannya itu akan dicurigai sebagai surat wasiat palsu. Jelas tidak mungkin orang yang mati mendadak karena kecelakaan bisa mempersiapkan surat wasiat terlebih dahulu. Jadi, supaya semuanya klop, dia membayar mahal dokter sana untuk memalsukan surat kematiannya dan membuat seolah-olah dia meninggal karena kanker, bukan karena kecelakaan. Sudah mengerti kan?"
Tampak arwah si bibi yang menangis sesenggukan di samping Carvany. Carvany merasa sedikit tidak enak hati.
"Bilang sama Delvin, Carvany. Dia harus menghentikan praktik kotornya itu. Ayahnya dan aku sudah menerima hukuman kami. Aku tidak ingin dia juga berakhir sama seperti ayahnya dan aku. Kedua anaknya masih kecil. Kalau terjadi sesuatu padanya, istri dan anaknya yang akan menderita."
"Delvin! Ibumu bilang ayahmu dan dia sudah menerima hukuman mereka. Kau harus menghentikan praktik kotormu itu hari ini juga. Ibumu tidak ingin kau juga berakhir sama seperti ayahmu dan dia."
"Omong kosong! Kata-katamu sama seperti sampah!" Delvin Lowin tertawa lagi dengan nada melecehkan. "Jika memang Ibu meninggal karena kecelakaan, aku rasa itu hanya kebetulan. Sudah lama kebiasaan itu berlaku dalam apotek kami. Selama ini tidak apa-apa. Kenapa sekarang bisa ada apa-apa? Lucu kali kau!"
Delvin Lowin mengambil langkah seribu keluar dari rumah duka. Segera dia masuk ke dalam mobil. Sejurus kemudian, terdengar deru mesin mobil yang digas dengan sedemikian kuat meninggalkan areal rumah duka. Tampak Devina dan Dessy Lowin yang diam tertunduk membiarkan air mata mereka menetes butir demi butir. Carvany melihat ke malaikat baju merah dan kemudian ia menganggukkan kepalanya. Si baju merah juga menganggukkan kepalanya dan kemudian ia menjentikkan jarinya.
Kereta api pengantar muncul di hadapan Nyonya Hartati dalam hitungan detik. Nyonya Hartati Lowin memandangi kereta api tersebut dengan sepasang mata yang membesar.
"Apa yang ingin Anda sampaikan, telah disampaikan oleh Carvany dengan lengkap. Apakah ada yang lain, Nyonya Hartati?" tanya si baju merah.
Akhirnya Nyonya Hartati hanya bisa menganggukkan kepalanya dan membiarkan air mata terakhirnya gelingsir di pelupuk mata. Dia berdiri dan bersiap-siap untuk naik ke kereta api pengantar.
"Jangan khawatir, Bibi. Di saat-saat terakhir keberadaanmu di sini, kau telah menjadi ibu yang paling baik untuk ketiga anakmu," kata Carvany dengan sebersit senyuman lirih.
"Terima kasih, Carvany. Terima kasih sudah menyampaikan pesan terakhir Bibi. Semoga Delvin bisa cepat percaya dengan ceritamu dan segera menghentikan kebiasaan kotornya."
Nyonya Hartati Lowin naik dan menghilang ke dalam kereta api pengantar. Kereta api pengantar menghilang dari pandangan mata dalam sekejap.
Carvany hendak berjalan keluar dari rumah duka ketika Dessy Lowin memanggilnya,
"Carvany… Bagaimana keadaan Ibu di saat-saat terakhirnya?"
"Mulanya dia tampak sangat tertekan. Sekujur badannya penuh dengan luka dan darah. Namun, setelah menyampaikan pesan terakhirnya pada adikmu, luka dan darahnya sudah 80% hilang. Wajahnya juga sudah ada senyum. Dia sudah berangkat ke kehidupannya yang selanjutnya dengan wajah senyum. Jangan khawatir…"
"Di kehidupan yang selanjutnya, kira-kira… kira-kira… Ibu akan dilahirkan di mana dan sebagai siapa ya?" tanya Dessy Lowin dengan sorot mata menerawang.
"Aku tidak tahu, Dessy. Hanya karma ibumulah yang tahu. Karma ibumu yang menentukan kehidupannya yang selanjutnya itu seperti apa," tampak sebersit senyuman kecut Carvany sebelum ia keluar dari rumah duka.
"Mau ke mana setelah ini?" tanya si baju merah.
"Tugasku sudah selesai. Tentu saja aku mau ambil baju-bajuku dari rumah temanku dan kembali ke Medan. Aku masih harus masuk kerja nih."
Si baju merah menjentikkan jarinya dan mendadak sebuah kereta api warna hitam total muncul di depan Carvany. Tampak Carvany terhenyak sejenak.
"Ikut kereta api ini saja. Aku jamin dalam waktu tidak lebih dari lima menit, kau sudah bisa mengambil baju-bajumu dari rumah temanmu dan kembali ke Medan. Bahkan, kereta api ini bisa menurunkanmu persis di depan tempat kerjamu itu. Bagaimana?"
"Tidak apa-apa aku naik ini? Aku masih hidup loh… Aku tidak ingin kau menurunkanku di kehidupanku yang selanjutnya."
Tampak senyuman lebar si baju merah, "Jangan khawatir. Asalkan kau naik kereta api ini bersamaku, kau masih bisa turun di depan tempat kerjamu di Medan dengan selamat."
Carvany mengangguk. Si baju merah naik ke kereta api. Dia mengulurkan tangan dan Carvany menyambutnya. Sejurus kemudian, Carvany tampak menghilang dari tempat itu. Kontan mata Devina dan Dessy Lowin membelalak besar-besar menyaksikan fenomena tersebut.
***
Medan, 15 Mei 2018
Waktu kembali mundur ke jam sembilan pagi hari yang sama. PT. Keramik Rusli beroperasi seperti biasa. Seluruh karyawan-karyawati sedang mengerjakan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Angela Thema terheran-heran ketika ia melangkah masuk ke dalam ruangan sang atasan yang pintunya dibiarkan sedikit menganga. Ia menghentikan langkahnya sejenak begitu ia melihat sang atasan sedang merebahkan kepalanya di atas meja.
"Pagi, Bu Jessica," panggil Angela.
Nona Jessica Wong tersadarkan dari tidurnya. Dia mengangkat kepalanya dari atas meja. Angela terperanjat setengah mati. Dia melihat dengan jelas. Arwah Nona Jessica Wong yang mengangkat kepalanya terlebih dahulu, sementara kepalanya yang asli masih terbaring nyaman di atas meja. Sekonyong-konyong, arwah tersebut merebahkan kembali kepalanya ke atas meja dan baru kemudian bersatu dengan kepalanya yang asli. Kali ini, benar-benar Nona Jessica Wong membuka mata dan mengangkat kepalanya dari meja.
Astaga! Angela Thema berteriak dalam hati. Yang tadi mengangkat kepala itu adalah arwahnya? Jelas-jelas tadi kepalanya masih tertinggal di atas meja. Apa sesungguhnya yang terjadi pada Bu Jessica ini?
"Sudah siap laporanmu?" tanya Nona Jessica Wong dengan tatapan seriusnya seperti biasa.
Angela Thema menyerahkan laporan keuangan yang sudah di-print kepada sang atasan. Sang atasan menelusuri deretan angka yang tertera pada laporan keuangan tersebut. Kira-kira tiga menit kemudian, dia mengangkat matanya dan meletakkan lembaran-lembaran kertas tersebut di atas meja.
"Begitu baru benar… Sudah sesuai… Mulai hari ini, untuk VKM atau VKK yang datang silih-berganti, harus langsung kaumasukkan ke dalam jurnal. Jangan tunggu sampai menumpuk selama satu bulan baru kaumasukkan. Kerjaanmu yang keteteran nantinya. Mengerti?"
"Mengerti, Bu Jessica," Angela Thema langsung mengangguk untuk cepat-cepat menyudahi kuliah sang general manager yang ditebaknya bakalan panjang lebar. "Sekarang aku ingin ke kuliah. Boleh kan, Bu Jessica?"
"Oke… Pergilah…"
Angela Thema keluar dari ruangan sang atasan. Saat keluar, dia masih sempat melirik ke sang atasan yang kembali merebahkan kepalanya ke atas meja. Angela mengerutkan dahinya. Sepertinya dia kurang enak badan hari ini. Tidak biasanya Bu Jessica Wong tidur di jam-jam kerja seperti ini. Katanya sebentar lagi ada rapat dengan para pemegang saham bukan? Kok dia masih santai dan bukannya mempersiapkan segala keperluan rapat? Kalau laporan-laporan sudah dipersiapkan oleh para manager, setidaknya ia cek kesediaan segala peralatan perlengkapan yang bakalan dipakai saat rapat seperti komputer, projektor, dan tetek bengek sebangsanya, iya kan?
Angela Thema berjalan terus meninggalkan ruangan kerja sang atasan.
***
Kereta api terus melaju dengan kecepatan tinggi.
Carvany Callen Chen baru saja mengambil baju-bajunya dari rumah Angela. Setelah permisi kepada suami istri Thema, dia naik kembali ke kereta api warna hitam total yang kini tengah membawanya ke sekolah Oliver Plus tempat ia bekerja. Tampak ia sudah mengenakan pakaian seragam lengkap untuk seorang wakepsek. Tampak pula ia sedang duduk di sebuah gerbong pemandangan beratapkan langit. Meski beratapkan langit dan kereta api sedang melaju dengan kecepatan tinggi, sama sekali tidak terasa adanya angin. Semua barang dan benda yang ada dalam gerbong pemandangan tersebut sama sekali tidak jatuh ataupun beterbangan.
"Kelihatannya saja seolah-olah gerbong ini beratapkan langit. Namun sesungguhnya gerbong ini ada penutupnya. Makanya duduk dalam gerbong ini sama sekali tidak terasa angin yang sedang berhembus kencang di luar," kata si baju merah seolah-olah bisa membaca isi pikiran Carvany.
Carvany hanya mangut-mangut. Dia melongokkan kepalanya keluar. Dia melihat rel kereta api yang berada di bagian belakang akan menghilang sedikit demi sedikit setelah kereta api berlalu. Dia memperhatikan fenomena tersebut dengan takjub.
"Kita berjalan di atas jalur dimensi lain. Jadi, hanya orang yang sudah mati atau orang dengan kemampuan indigo sepertimu yang bisa melihat kereta api ini," kata si baju merah lagi.
"Oh begitu ya… Berarti aku termasuk spesial dong sehingga bisa menaiki kereta api gaib ini," kata Carvany dengan sedikit nada bercanda.
Si baju merah hanya tersenyum imut. Carvany membuang pandangannya ke arah lain. Dia tidak ingin lama-lama menatap wajah malaikat berbaju merah di sampingnya.
"Sudah mau sampai ya?" tanya Carvany dengan pandangan mata menerawang ke pemandangan yang dilaluinya satu demi satu.
"Kau ingin agak lama sampai?"
"Kira-kira sepuluh menit lagi kita baru sampai bisa tidak?" tanya Carvany mengumpulkan segenap keberaniannya.
"Oke… Aku akan mengurangi kecepatannya. Kenapa tidak mau cepat sampai? Bukankah tadi kau bilang ada beberapa kerjaanmu yang ingin segera kaubereskan?" tanya si baju merah sedikit bingung.
Mendadak Carvany merebahkan kepalanya ke bahu si baju merah. Si baju merah terkesiap di tempatnya. Dia tampak duduk dengan agak kaku sekarang.
"Saat-saat yang berharga seperti ini apabila sudah usai, entah kapan baru bisa terulang lagi. Jadi, aku ingin saat-saat yang berharga seperti ini berlangsung lebih lama."
Sekonyong-konyong memori kesadaran sang malaikat bergerak kembali ke masa silam dengan cepat.
"Kenapa? Ada apa denganmu, Ivana?" tanya lelaki dalam baju model China klasik warna merah saat Ivana Pangdani mendadak membaringkan kepalanya ke bahunya.
"Saat-saat yang berharga seperti ini apabila sudah usai, entah kapan baru bisa terulang lagi. Jadi, aku ingin saat-saat yang berharga seperti ini berlangsung lebih lama," kata Ivana Pangdani mantap.
"Kau jadi berangkat ke Batavia dan jadi asisten mengajar ayahmu di sana?" tanya si lelaki baju merah dengan pandangan mata yang mulai kabur oleh air mata.
Ivana mulai menangis sesenggukan, "Ayah bilang aku harus tinggal di Batavia setengah tahun dulu. Jika tidak, dia takkan merestui pernikahan kita. Entah kenapa aku merasa Ayah seolah menyalakan api dalam sekam. Aku takut sekali… Aku takut selamanya kita takkan bisa bertemu lagi."
Si lelaki dalam baju model China klasik warna merah mempererat pelukannya sekarang.
"Jangan khawatir. Apa pun yang terjadi, aku selalu bisa menemukanmu. Aku akan selalu mencarimu, bahkan ke ujung dunia sekalipun. Kau percaya padaku kan?"
Ivana mengangguk-ngangguk cepat. Dia kini menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang kekasih.
"Anggap ini sebagai janji. Seandainya nanti pertalian takdir kita tidak selesai di kehidupan ini, kita akan terus melanjutkannya di kehidupan yang akan datang. Kau mau berjanji hal ini padaku?"
"Ya, Ivana… Aku berjanji…" kembali sang lelaki mempererat pelukannya.
Kereta api akhirnya berhenti di daerah Cemara Asri, tepat di depan sekolah Oliver Plus tempat Carvany bekerja. Carvany berdiri, membawa semua barangnya dan berjalan ke arah pintu keluar. Namun, dia berhenti sejenak di pintu keluar dan kemudian berpaling,
"Akankah kita bertemu lagi?" tanya Carvany dengan sorot mata penuh harapan dan penantian.
Si baju merah mengangguk pasti, "Iya… Kita akan bertemu lagi nanti…"
Carvany tersenyum. Dia berlari menghampiri sang malaikat berbaju merah dan sekonyong-konyong ia mendaratkan satu ciuman ke pipi sang malaikat. Sebelum si malaikat pulih dari kebingungannya, Carvany sudah turun dari kereta api dengan wajah merah merona penuh dengan senyuman imut.
Kereta api berjalan lagi meninggalkan daerah Cemara Asri. Malaikat berbaju hijau muncul di samping malaikat berbaju merah.
"Kau tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Carvany kan?" tanya si baju hijau.
"Tentu saja tidak. Sempat kukatakan sedikit saja, dia akan mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Kalau sudah begitu, aku akan kehilangan segala kesempatanku," kata si baju merah dengan sebersit senyuman santai. "Kau sendiri? Kau tidak membocorkan rahasia identitasmu kepada Felisha bukan?"
"Tentu saja tidak. Mana berani… Bahkan untuk bertemu dengannya saja, aku kesulitan menemukan alasan yang tepat," kata si baju hijau sembari mendengus lembut.
"Jangan khawatir, Kawan… Kau pasti bisa bertemu dengannya lagi," kata si baju merah memberikan satu tepukan halus di bahu sahabatnya.
***
Sore menjelang malam… Angela dan Cindy memutuskan untuk makan malam di sebuah rumah makan di Jalan Bangka, dekat dengan gedung Uniland, sebelum mereka naik kereta api pulang ke Binjai. Tak lama kemudian, bihun bebek yang mereka pesan pun disajikan di depan mereka. Bihun bebek terasa lebih enak lagi ketika dinikmati bersama-sama dengan dua gelas teh manis dingin.
"Angela…? Cindy?" terdengar sebuah suara laki-laki yang periang dan ceria dari belakang mereka. "Ini Angela dan Cindy Victoria kan?"
"Oh… Hai, Qomar…" kata Cindy Victoria dengan pandangan berbinar-binar ketika dilihatnya seraut wajah ganteng menyapanya.
Angela hanya tersenyum kecut membalas sapaan Qomar Shia Putra, anak orang kaya di kampus mereka yang sudah berkali-kali menyampaikan perasaan kepadanya dan berkali-kali mengajaknya pacaran. Namun, berkali-kali juga Angela menolaknya.
Berbeda halnya dengan Angela, Cindy Victoria justru sangat tertarik dengan laki-laki anak orang kaya itu. Berkali-kali dia berusaha mencari kesempatan untuk mendekati Qomar Shia Putra. Namun sayang sekali, sepertinya dalam rangkup pikiran Qomar Shia Putra hanya ada Angela Thema. Tidak jarang Cindy Victoria harus menelan banyak sakit hati dan kekecewaan.
"Kebetulan sekali bertemu di sini. Kalian habis pulang kerja?" tanya Qomar. Dia langsung duduk di depan kedua gadis itu tanpa dipersilakan.
"Iya…" jawab Angela singkat. Dia mulai melahap bihun bebek kesayangannya.
"Kebetulan sekali kau juga lagi makan bihun bebek di sini, Qomar. Bihun bebek sini sangat terkenal dengan kelezatan dan keasliannya loh…" kata Cindy.
Cindy Victoria langsung pindah ke samping Qomar. Terlihat laki-laki anak konglomerat itu sedikit canggung. Qomar Shia Putra memang terlihat sangat ganteng dan keren dengan kaus berbalut jaket hitam yang elegan, dengan celana jeans biru tua yang tampaknya sangat mahal, dan sepasang sepatu sport yang bergaya kasual. Dengan cologne yang disemprotkan ke sekujur tubuh, wewangian tersebut merebak ke seisi rumah makan ketika ia duduk di hadapan kedua gadis tersebut.
"Iya… Habis beli parfum dari seberang sana. Mau pulang, perut terasa lapar. Jadi, mampir ke sini dulu menikmati bihun bebek favoritku," kata si laki-laki anak orang kaya tersebut dengan senyuman sumringah maksimal.
"Kau suka makan bihun bebek sini juga?" tanya Cindy Victoria berusaha menampilkan keceriaan dan antusiasme yang semaksimal mungkin.
"Jelas dong… Ayahku kalau ke Medan selalu minta aku membawanya ke sini. Kuahnya pas banget dan tekstur daging bebeknya pas sekali di lidah," kata si anak orang kaya tersebut mulai memanggil seorang pelayan dan memesan makanan dan minuman kesayangannya. Si pelayan mencatatnya dan kemudian berlalu.
"Tadi pagi tidak pergi kuliah, Gel? Kok aku tidak melihatmu?" tanya Qomar lagi.
"Ada… Memangnya setiap kali aku ke kampus harus bertemu denganmu dan memberikan laporan kepadamu?" nada suara Angela mulai terdengar sedikit ketus.
Qomar meledak dalam tawa renyahnya, "Tidak sih… Hanya saja, setiap hari aku lihat kau dan Cindy makan di kantin kampus. Kok tadi pagi sampai siang tidak tampak? Begitu loh maksudku…"
"Tidak makan di kantin tadi. Banyak tugas yang harus aku selesaikan."
Angela cepat-cepat menyelesaikan makannya. Pas pesanan Qomar datang, dia sudah selesai. Diliriknya mangkuk Cindy. Makanan Cindy juga tinggal secuil.
"Cin… Sudah selesai kan? Temani aku ke depan sana beli body wash sebentar dong. Punyaku sudah habis pula…" kata Angela langsung berdiri tanpa menunggu lebih lama lagi.
"Tapi… Tapi… Makanan dan minumanku ini…" kata Cindy berusaha menarik ulur kepergian mereka dari rumah makan bihun bebek itu karena dia masih ingin berlama-lama di samping laki-laki anak konglomerat yang ditaksirnya.
"Biar aku yang bayar saja, Gel," kata Qomar juga sedikit terhenyak kaget ternyata gadis yang diincarnya sudah mau beranjak pergi secepat itu.
"Tidak usah… Uang kami cukup kok…" kata Angela memberikan sebersit senyuman kecut.
Angela menyandang tas tangannya di bahu. Dia langsung berjalan ke arah kasir dan melakukan pembayaran. Sejurus kemudian, dia langsung menghilang ke pintu keluar. Mau tidak mau, Cindy Victoria juga berdiri dan menyusul temannya.
"Sorry, Qomar… Kami permisi dulu…"
Cindy Victoria juga menghilang dari rumah makan. Qomar Shia Putra mengantar kepergian gadis itu dengan sebersit senyuman sumringah. Pas bayangan si gadis sudah menghilang keluar, senyuman sumringah sekonyong-konyong berubah menjadi dua bola mata yang mendelik tajam, memancarkan kesal dan marah yang teramat dalam.
Sial! Apa hakmu menolakku dan mempermalukan aku seperti ini, Angela Thema! Aku Qomar Shia Putra selalu mendapatkan perempuan mana pun yang kuinginkan, termasuk juga kau! Kita tunggu saja ya! Cepat atau lambat, kau pasti akan jatuh ke dalam pelukanku!
Makan sampai setengah, mendadak Qomar Shia Putra kehilangan mood makannya. Dia langsung berdiri dan hendak berjalan ke arah kasir ketika mendadak lagi dia jatuh terjerembab ke depan. Kepalanya terantuk ke sudut sebuah meja. Tampak sedikit bercak darah pada kepalanya setelah itu.
"Anda tidak apa-apa?" tanya seorang pelayan menghampirinya.
"Sudah! Sudah! Saya tidak apa-apa!" Qomar Shia Putra melemparkan selembar seratus ribu ke meja kasir. "Ambil saja kembaliannya!"
Sejurus kemudian, dia menghilang keluar dari rumah makan bihun bebek. Si malaikat berbaju biru rupanya sedang berdiri di samping meja tempat Angela, Cindy dan Qomar makan tadi. Tampak ia melemparkan sebersit senyuman sinis mengantar kepergian Qomar Shia Putra.
Baru memiliki beberapa kekayaan seperti itu saja, lagaknya tidak tanggung-tanggung! Anak seperti itu memang harus diberi sedikit pelajaran!
***
Angela dan Cindy Victoria sampai ke dalam pusat pembelanjaan.
"Aku tidak mengerti kenapa kau bisa menolak laki-laki yang sesempurna Qomar Shia Putra, Gel. Tidak habis pikir deh apa yang kauinginkan di sini," kata Cindy dengan raut wajah yang cemberut sambil terus mengekori ke mana pun temannya pergi di dalam pusat pembelanjaan itu.
"Aku sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Kata hatiku memberitahu aku untuk tidak gantung-gantung perasaan orang. Jika memang tidak ada maksud ke jenjang kedekatan yang lebih serius, lebih baik ditegaskan tidak sejak awal. Begitulah…"
"Iya… Itu loh maksudku… Dia sudah berkali-kali menyampaikan perasaannya padamu. Meski kautolak dia berkali-kali, aku lihat dia tetap teguh mengejarmu. Dan hatimu bagai bongkahan es batu yang dingin nan tak tersentuh sedikit pun," kata Cindy.
"Dan aku juga mendengar selain aku, dia juga teguh mengejar-ngejar gadis-gadis yang lain. Aku dengar gosipnya selain kepadaku, dia juga menyampaikan perasaannya pada gadis-gadis yang lain."
"Mungkin ia sengaja melakukan hal itu supaya kau cemburu," sahut Cindy asal-asalan.
Ternyata Angela tidak membeli body wash. Dia membeli segelas teh susu rasa melati dan duduk bersantai di gerai tersebut. Cindy Victoria juga membeli segelas teh susu rasa strawberry.
"Katanya mau beli body wash tadi. Ini jadi beli teh susu. Jangan-jangan itu hanya alasanmu untuk menghindar dari Qomar, Gel," kata Cindy sembari mendengus ringan dan kemudian merapatkan sepasang bibirnya.
"Tebakan jitu, Cin… Aku memang ingin cepat-cepat pergi dari hadapannya tadi. Dia mengejar banyak gadis di kampus kita dan menyampaikan perasaannya pada mereka semua bukan untuk membuatku cemburu. Dia sama sekali tidak menyukaiku. Dia tidak tulus padaku. Laki-laki yang tulus pada seorang perempuan takkan seperti itu. Qomar Shia Putra ini hanya ingin membuktikan kehebatannya bisa mendapatkan banyak perempuan. Tidak lebih dari itu…"
"Kau belum pernah berpacaran. Kok kau bisa tahu bagaimana cara menilai tingkat ketulusan seorang laki-laki?" Cindy mengerutkan dahinya.
Angela sendiri kebingungan menjawab pertanyaan temannya, "Semacam firasat… Entah kenapa aku merasa aku pernah berpacaran, bahkan menikah. Perasaanku pada laki-laki itu sungguh dalam. Kami benar-benar tidak terpisahkan."
"Hah? Yang benar?" Cindy membelalakkan kedua matanya.
Tak kuasa alam memori kesadaran Angela Thema bergeser ke sebagian kecil dari mimpi-mimpinya.
"Kau baru saja pulih dari sakit dan pulang dari rumah sakit, Sayang. Bagaimana kalau kita pindah ke kamar tidur saja dan kau bisa beristirahat dengan lebih nyaman di sana?" tanya sang suami yang masih terus memeluk istrinya. Mereka sedang duduk berduaan di sebuah sofa panjang di ruang tamu.
"Sebentar lagi, Ken. Aku masih trauma dengan kecelakaan mobil yang menimpaku dua minggu lalu. Aku ingin kita tetap dalam posisi begini untuk sementara, setidaknya untuk setengah jam ke depan," kata Belinda dengan gaya manja dan tidak mau melepaskan pelukannya.
"Nah tuh kan… Siapa suruh kau bawa mobil tidak hati-hati, Sayang? Sampai aku harus bawa kau ke rumah sakit di Batavia sana. Untung tidak ada luka berat," kata Kenny Herry mendaratkan satu ciuman mesra ke kepala sang istri.
"Kan aku tidak bisa berpikir jernih hari itu – habis menguping percakapan Ayah & Ibu. Mereka akan mencarikanmu istri kedua. Aku kurang konsentrasi di jalan dan mobil yang aku bawa menabrak tiang lampu jalan. Aku takut sekali waktu itu, Ken."
"Untung tidak kenapa-kenapa. Kan sudah kubilang, Sayang. Mereka boleh merencanakan. Mereka boleh saja menikahkan gadis lain kepadaku. Namun dalam hatiku, istriku yang sah hanya kau seorang."
"Kau bilang begitu kepada Ayah & Ibu?" tanya Belinda dengan sepasang matanya yang sedikit membesar.
"Aku bilang sebagai anak yang berbakti, aku akan bantu mereka melindungi muka dan harga diri mereka. Mereka bersikeras ingin aku memiliki istri kedua, oke… Akan aku lakukan… Namun, aku hanya akan menikah di atas kertas. Aku takkan menikahinya sah secara adat."
"Dan bisa kutebak… Kau bertengkar hebat dengan Ayah setelah itu…"
"Begitulah… Di antara orang-orang yang ada di sekelilingku, hanya kaulah yang paling mengenalku," kata Kenny Herry mendaratkan satu ciuman mesra lagi ke kepala istrinya.
"Ken… Akankah kau tetap seperti ini selamanya?" tanya Belinda kepada sang suami.
"Lihat aku, Belinda… Tatap mataku dalam-dalam dan kau akan menemukan jawabannya di dalam sana…" kata Kenny Herry menatap sang istri lekat-lekat.
"Pejamkan dulu matamu, Ken," bisik Belinda lembut.
Belinda mendaratkan satu ciuman lembut ke kelopak mata sang suami. Kenny Herry tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia mulai membaringkan sang istri ke sofa panjang di ruang tamu, dan mulai menindih tubuh sang istri dengan lembut.
"Kau minta aku menunggumu sampai kau benar-benar siap bukan? Ini sudah satu bulan kita menikah dan aku kira… aku kira… aku tak sanggup menunggu lebih lama lagi, Belinda…" suara Kenny Herry semakin halus dan semakin parau.
Belinda hanya menganggukkan kepalanya. Dia melingkarkan tangannya ke leher sang suami dan tak ingin melepaskannya lagi.
Kenny Herry melumat bibir sang istri ke dalam kerinduan dan cintanya yang tiada pangkal, tiada ujung. Bibir keduanya saling bertaut di bawah penerangan temaram lampu ruang tamu. Selanjutnya, sungguh segala kata apa pun di dunia ini tak sanggup menjelaskan kebahagiaan Belinda Yapardi malam itu.
Memori kesadaran Angela Thema kembali lagi ke alam realita.
"Begitulah, Cindy… Jelas dia sangat menginginkan kemesraan di antara kami. Namun, dia juga tahu jelas aku belum siap, aku belum bisa menyesuaikan diri dengan pernikahan kami yang notabene memang direncanakan oleh kedua orang tua kami – bukan merupakan pilihan kami sendiri. Dia benar-benar menunggu sampai aku siap. Itulah yang dinamakan dengan ketulusan. Bukan hanya sekadar menyampaikan perasaan padamu dan mengajakmu pacaran. Klise banget dan aku sudah bosan dengan tipe laki-laki yang seperti itu."
Cindy memandangi sahabatnya dengan terkagum-kagum.
"Daya imajinasimu tinggi sekali rupanya, Gel. Bertahun-tahun mengenalmu, baru kali ini aku tahu kau memiliki daya imajinasi yang tinggi. Kau lebih cocok di sastra saja daripada di akuntansi, Gel. Kau merasa demikian tidak?"
Angela Thema mendengus ringan dan merapatkan sepasang bibirnya.
"Sebenarnya masih ada contoh-contoh kejadian lain tentang ketulusan seorang laki-laki, Cin. Tapi… Karena kau tidak percaya, ya sudah deh… Daripada nanti kau menganggapku sinting kan…"
"Tentu saja aku tidak percaya. Siapa yang percaya coba? Gadis muda, awal dua puluhan sepertimu – bahkan tamat kuliah saja belum – sudah menikah dan sudah mengalami masa-masa malam pertama dengan suamimu yang katamu sangat tulus itu? Jadi maksudmu sekarang kau sudah tidak virgin lagi, kau sudah menjadi milik orang? Begitukah?"
"Oke… Aku akan beri kau satu pertanyaan terakhir untuk malam ini. Kau percaya aku bisa melihat makhluk-makhluk halus tak kasat mata?" tanya Angela lagi.
Cindy mengangguk mantap, "Tentu saja… Di dunia ini memang ada hantu. Sudah beberapa kali kejadian yang kauceritakan itu klop dan connected, jadi aku percaya betul kau memang bisa melihat dan berkomunikasi dengan mereka."
"Jika kau percaya dengan hantu dan makhluk-makhluk tak kasat mata, kau percaya tidak dengan kehidupan lampau dan reinkarnasi?"
Cindy terdiam sejenak. Dia memerlukan beberapa waktu untuk mencerna pertanyaan itu dan memikirkan jawabannya.
"Sudah… Tidak perlu jawab sekarang… Kau pikirkan saja dulu baik-baik dan sesudah kau yakin, baru kau beritahu aku apa jawabanmu."