webnovel

Harap Bukan Sesaat 2

Tubuh pemuda gondrong meninggalkan sepeda motornya sebelum menghampiri dua remaja yang bagai tersihir kaku. Hanna cemas jika kakak laki-lakinya yang susah jinak akan menerkam Prada yang tampak bersamanya. Sementara Prada bingung akan bertindak apa.

Pria dewasa tampan itu mengisi celah lebar di antara dua sejoli yang tegak berdampingan pada permukaan trotoar. Dia melipat lengannya angkuh. Tatapannya estafet penuh selidik.

Hanna dan Prada hanya mampu melempar lirikan dari sudut bola mata masing-masing. Suara menelan ludah terasa nyaring menyentuh gendang telinga keduanya.

Paras pria berkulit porselin menghampiri Hanna. "Kenapa kamu jalan bersama orang asing?"

Bibir Hanna membentuk celah. "Orang asing?" beonya disertai palingan mata pada Prada. "Maksud Kak Hanry dia orang...."

Prada yang memahami arah benak si pria dewasa segera meraih jemari Hanna.

Hanna tersentak. Sepasang biji mata jernih menegang kesal. Dekapan lembut jemari Prada dan kerlingan ringan kelopak matanya segera mampu menyamankan kegundahan benak Hanna.

Prada memangkas jarak dengan Hanry. "Saya minta maaf!" ucapnya buka suara.

Hanna memutar bola matanya mendengar Aksen palsu Prada. Pemuda asli ras kaukasoid yang terbiasa bercakap bahasa nasional dan daerah sejak belia sebenarnya tak memiliki aksen negara kelahirannya. Iris birunya berselimut softlens gelap dan helaian pirangnya bersembunyi di balik imitasi.

Hanry bergerak ringan hingga bahu tegapnya bersinggungan dengan pemuda yang hampir setinggi dia.

Prada mundur satu langkah. "Maaf," ulangnya.

Hanry menelusuri pahatan paras sang pemuda yang bersusah payah membangun ketenangan. "Menyesal membawa anak orang keluyuran malam-malam, ya? Sebenarnya kamu siapa?"

Prada tersenyum samar. Dia yakin dengan hipotesanya.

"Kenapa diam?" Hanry semakin tak sabar.

Prada meraih lengan Hanry. "Saya minta maaf. Saya hanya tersesat and your sister helped me."

Senyum lebar Hanna merekah kemudian mengangguk sepakat. Hanna merasa dihimpit dua bahagia yang tak biasa. Identitas penyamaran Prada yang tetap menjadi rahasia dan kemampuan bahasa asing Prada meningkat dari nol.

"Saya berjalan sedikit tapi saya tidak bisa kembali." lanjut Prada bermimik pasrah.

Hanry mengangguk paham. "Setelah aku mencarikan Hanna taksi, aku akan mengantarmu mencari tempat kau makan malam sebelumnya."

"Apa?" teriakan logat daerah meluncur tanpa penyaringan.

Hanna refleks menekan sepatu Prada dengan heels yang rendah. Meskipun tak tajam dan menjulang, heels laknat itu mampu menarik garis penderitaan pada bibir Prada.

Hanry menoleh. Mata elangnya membidik dua tingkah remaja yang terasa ganjil di benaknya.

"Forgive me, I ... saya buat anda kaget. Iam just saying ... apa anda tidak repot? Just it!"

Hanry menepuk bahu sang pemuda. "Aku tidak masalah. Aku akan membantumu!"

"Thanks!"

Hanry menggeleng pelan. "Nama?"

Prada menyinggungkan telapak tangan pada dadanya. Kedua alisnya bertaut karena sedikit ragu dan takut.

Kepala si pria dewasa mengangguk kesal. "Iya, nama kamu?" ulang Hanry memperjelas.

Uluran tangan Prada disambut hangat Hanry. "Iam Pr...."

"Peter! His name is Peter!" sela Hanna setengah menjerit.

***

Jalur utama koridor sekolah yang bermuara pada kantin mendadak banjir bandang oleh bocah-bocah kelaparan. Bagai peserta lari marathon setelah mendengar aba-aba, bel penanda rehat belajar sejenak menjadi awal mula gelombang persaingan para murid menuju tempat mengisi lambung. Jika tak tangkas, mereka tak akan mendapat celah.

Ada segelintir murid yang lebih senang menahan orkes musik dalam perutnya daripada harus menguras energi berebut tempat di cafetaria sekolah.

Prada yang masih dalam masa kemerdekaan dari tekanan bos muda, melangkah malas menuju kantin. Dia tak minat mengisi perut lagi setelah menelan dua porsi nasi sambal tempe di dapur karyawan keluarga Ken. Kerongkongannya hanya butuh kesegaran aroma pucuk teh melati yang diracik tradisinal oleh salah satu pengelola kantin.

Sementara bos muda keluarga Ken sedang tak berselera mengunyah sesuatu. Dia hanya berdiam dalam ruang kelas dengan tumpukan buku yang mengelilingi.

Suara gesekan alas kaki pelan mengusik telinga Prada yang jauh lebih peka pada koridor yang lengang. Parasnya berpaling pada balik punggungnya. Mata samuderanya melebar menangkap bayangan gadis mungil yang mengendap-endap di belakangnya.

Prada menahan tawa sambil menarik langkah ke belakang tanpa memutar tubuhnya. Langkahnya tertahan setelah menyamai langkah si penguntit manis.

Prada berdehem pelan. "Kenapa berjalan pelan?"

Si manis mungil tak melanjutkan langkahnya. Dia membeku pada pijakannya.

Prada menyinggung bahu si mungul dengan bahunya. "Sudah, biasa saja!" godanya.

Si mungil berjingkat menggapai telinga Prada. "Aku masih takut, Kak Prada!"

Prada menepuk ubun-ubun rambut legam terurai si mungil Hanna. "Sudah, tenang saja!"

Hanna hanya menggigit bibir bawahnya menahan debaran dada.

Deheman palsu mengalun bersama derap langkah sepatu yang mengentak teratur. Aura kemarahan terasa seiring tekanan alas kaki pada lantai koridor. Prada dan Hanna menahan obrolan dalam kebekuan. Tubuh keduanya berputar setengah lingkaran setelah memantapkan hati menghadapi kenyataan.

Tepuk beberapa pasang tangan lentik berhasil menyentak Prada dan Hanna.

Tiga gadis menawan tengah menghampiri mereka angkuh. Seorang pemimpin kelompok berdiri di antara dua gadis lainnya.

Si cantik nan eksotis melempar pandangan serupa pisau. "Jadi gadis biasa ini masih mendekati senior populer?"

Hanna dan Prada saling melirik. Pertanyaan menyudutkan belum memercik api dalam benak keduanya.

"Jadi kamu memang berencana merebut Prada dari Shara dengan mengajaknya jalan bersama?" tuding Beautya kembali.

Lengan Hanna merentang ketika Prada mulai membuka kalimat. Gelengan Hanna mengurungkan niat Prada membuang suara.

Hanna membalas tatapan sembilu sang kakak kelas. "Kakak yang cantik, ini adalah jalur umum untuk semua penghuni sekolah kita. Jadi secara logika siapa yang melewatinya pada waktu bersamaan akan berjalan bersamaan pula. Saya mustahil menunggu pengguna koridor lain pergi baru mulai berjalan."

Mata Beautya mulai berurat. "Jadi kamu mulai berani membantah saya?"

Hanna menggeleng tenang. Senyum mungilnya tetap bertahan sabar.

"Lalu apa maksud perkataanmu tadi?" desaknya tak mau kalah.

Hanna mendesah pelan. "Saya hanya menjelaskan yang sebenarnya, Kak! Sekarang kita juga jalan bersama di koridor ini, kan?"

Bibir dua pengabdi Beautya menganga lebar. Mereka saling pandang tak percaya.

Sepasang tangan Beautya terkepal kesal. "Oke, kali ini kamu lolos! Tapi aku tak akan membiarkanmu berpasangan dengan Prada. Karena Prada hanya untuk Shara!"

Hanna memukul kepalanya pelan menyaksikan tiga dara idaman itu melenggang cantik bagai model menjauhi mereka berdua.

Lengan kanan Hanna melambai kemayu pada Beautya. "Kita jalan bersama sekarang, kak!" teriak Hanna ceria

Beutya dan punggawanya hanya memamerkan tinju kesal tanpa berpaling.

Hanna melirik Prada. "Kenapa dia ngotot kalau Kak Prada harus bersama Kak Shara?"

Pandangan Prada mengikuti pergerakan tiga gadis kelas atas hingga lenyap pada tikungan kantin.

Prada menumpukan sepasang lengannya di depan dada. "Karena Dia suka Sans. Shara yang dekat Sans sedari kecil merupakan ancaman! Jadi Shara harus bersamaku menurutnya!"

Hanna mengangguk ringan.

Prada menyenggol lengan Hanna. "Kamu pinter banget hari ini. Bisa menjawab serumit itu?"

Hanna menyembunyikan dua tangannya pada saku blazer gelapnya. "Karena aku sudah tahu kenyataan. Kak Prada yang memerintahkan untuk tenang, kan?"

Bibir Prada menghampiri telinga Hanna. "Kalau begitu kita bersama lagi menjadi kekasih, yuk!"

Hana membeku seketika sebelum menjulurkan lidahnya. "Tidak ada janji, ya!" balasnya sambil kabur.

Prada menyamai langkah Hanna dengan mimik panik. "Kok jawabannya begitu?"

Hanna menjulurkan lidah kedua kalinya disertai tawa meledek. "Siapa yang amnesia dan bilang kita tidak ada hubungan apa-apa?"

Prada menyinggungkan sepasang telapak tangannya di depan dada. "Aku minta maaf, ya! Kamu tahu sendiri alasannya."

Hanna menambah laju langkahnya dalam tawanya yang meledek Prada.

"Hanna tunggu!" teriak Prada frustasi.

Prada tetap semangat mengikuti Hanna kemana langkah gadis itu berlabuh hingga energinya bagai runtuh terserap magnet bumi. Sepasang biru samudera menangkap bayangan seorang yang dikenal tengah meraih lengan Hanna secara tiba-tiba.

Hanna menahan langkahnya. "Elang?" teriak Hanna semangat.

Bibir Elang melengkung sumringh.

"Lama aku tak melihatmu. Bagaimana turnamen karetenya?"

Elang menggenggam jemari Hanna sembari menggoyangkan pelan. "Aku masuk final dan tanding hari minggu besok."

Hanna melonjak-lonjak girang. "Hore!!!" teriaknya.

Prada hanya menunduk lesu menyaksikan romantisme adegan drama korea yang tercetak pada retinanya. Tak ingin terpuruk lebih lama, Prada memutar haluan berlawanan arah dari mereka.

Namun teriakan pemuda menghentikan langkah Prada. "Sensei!"

Prada menoleh pada kakak kelas yang telah tegak di sisinya. "Kak Elang, jangan memanggilku sensei jika tidak sedang berlatih!"

Elang menepuk bahu Prada. "Baiklah, Pra."

Prada mengulum senyum.

"Prada harus datang hari minggu menyaksikan hasil didikanmu ini yang masuk final!" paksa Elang.

Prada mengangguk pelan. "Aku usahakan akan datang!"

Elang melirik penampakan Hanna yang menunggu di ujung koridor. "Sekalian jaga dia!"

Prada mengikuti arah pandang Elang. Tampak seorang gadis yang tengah gelisah menanti sang kakak kelas. Bukan Prada melainkan Elang.

Prada menarik sebelah alisnya. "Jaga? Tapi kenapa?"

Prada paham makna permohonan Elang. Hanya saja waktu yang tiba-tiba sedikit mendebarkan hatinya.

Elang menghela napas panjang. "Aku merasa tatapannya berbeda jika itu kamu."

***