webnovel

Vol. 1 - CH 6 Kepala Siapa Sekarang

Kota Z, 29 Mei 20xx ....

Suhu mencapai 40 derajat celcius siang ini. Pepy tampaknya tidak sadar bahwa dirinya ikut terlibat dalam perubahan warna kulitnya. Dia sibuk mencari, memetik bunga-bunga liar yang dikantonginya dengan baik menggunakan baju, persis kanguru. Tetapi tampaknya dia tahu bahwa dia ditinggalkan, karena mendadak saja dia mendongak memandang si rekan yang telah pergi ke lain tempat.

"Tunggu, Neo! Sigh! Kulitku terbakar," keluhnya.

Dua kali Pepy melangkah sama dengan satu langkah pria itu berjalan. Dia tampak tidak senang dengan kondisi kakinya sekarang. Saat pertama kali mereka bertemu ukuran tubuh Pepy sejangkal lebih tinggi membuatnya punya waktu untuk menyombongkan diri. Pepy mendecak dan bergumam dengan sungut kesal, "Kau hanya berjalan, tapi aku harus berlari."

Jun, "...."

Meski tidak dapat dilihat secara langsung ia berangsur-angsur mulai menyamai langkah kaki Pepy. Tidak ada yang memperhatikan adanya sedikit perubahan bentuk pada sudut bibirnya. Jun juga tidak sadar kalau Itu sedikit terangkat setelah melihat Pepy yang berjalan dengan nyaman.

Ada muara anak sungai di sekitaran bukit. Airnya cukup jernih untuk memamerkan bebatuan dan bangkai pohon di dasarnya yang tenang. Cuaca panas mendorongnya pergi berendam di sana. Jun telah hampir sampai di tujuan sebelum Pepy muncul dan membuat masalah. Membuatnya memilih jalan memutar menghindari sekelompok preman.

"Neo ...." Pepy mengalihkan bola mata bukan tanpa sebab.

"Apa? Kau sudah sering melihatnya saat membatuku mengoleskan obat."

Benar .... "Apa masih sakit?"

"Tidak, hanya sedikit geli saat tersentuh," jawab Jun tiba-tiba mendekat dan mengedikkan kepalanya. Menyudutkan Pepy sampai harus menempel seperti cicak di sebuah pohon besar.

"Tatapan seperti itu ... aku membencinya."

Wajah pria terlalu dekat dengan wajah Pepy membuatnya melangkah mundur tanpa ia sadari. Paras wajah dengan auranya yang sangat menyeramkan. Ditambah karena postur tubuhnya yang lebih tinggi, tatapan Jun seperti hendak membuat lubang besar di tubuhnya.

Suasana apa lagi ini? Lapang pandangnya beralih pada daun-daun yang sedang berjatuhan. Pepy pun menarik napas panjang sebelum lutut runcingnya digerakkan bebas ke depan.

"Keuk! Kau!"

"Da-dasar otak udang! Tidak ada yang mengasihanimu. Ah! Matahari sialaaan!" seru Pepy melemparkan semua bunga yang telah ditampungnya tadi. Berlari menuju muara sungai yang tidak jauh dari tempat ia berdiri.

Tubuhnya dijeburkan tanpa haluan sehingga menciptakan cipratan air yang melawan gravitasi. Dari sisi transparant itu tampak sosok pria dengan senyum terbaiknya. Dengan beberapa mahkota bunga yang menasang pada rambutnya.

"Sudah tiga hari aku tidak pulang ke rumah," keluh Pepy memeras pakaiannya.

"Tinggal pulang saja."

"Apa yang harus kukatakan padanya saat tiba di rumah? Aku takut mama masih marah."

"Aku yakin dia merindukanmu."

"Benarkah? Sepertinya aku akan pulang hari ini,"

Mereka berpisah setelah Pepy menginjakkan kakinya di muka hutan. Meski dedaunan kini menampakkan tenang, meski batang-batang pohon diam tak bergeming, beberapa orang mungkin berlarian melangkahi akar-akarnya, mencari sesuatu.

"Wanita itu, aku akan mengingatnya." Giginya menggertak.

"Tidak perlu mengingatnya."

"Kau pria dengan nama banci itu. Neo, kan? Kenapa baru sekarang menampakkan batang hidungmu? Apa kau malu? Terlihat seperti pecundang di hadapan pasanga-"

Jun meluncurkan sebuah kepalan ke wajahnya. Sebelum pria itu melawan balik ia menambahkan satu pukulan lagi.

"Bangsat! Bajingan!"

Rekan-rekannya langsung berdatangan mengepung Jun seorang diri. Perkelahian yang berat sebelahpun tidak tetelakkan. Hantaman dari pemukul bisbol bahkan sudah berkali-kali mengenainya. Beberapa pukulan umumnya membuat lawan segera menyerah tapi Jun berbeda.

"Gila."

"Aaarrrrgggh!"

"Tidak mungkin," gumamnya tidak percaya. "Ka-kau tidak tau siapa aku. Ayahk-"

"Apakah ini tangan yang melukai pipinya?" tanya Jun menginjak telapak tangan pria itu di tanah. Perlahan melumat kelima jarinya menggunakan sol sepatu.

"Ugh .... Jangan, jariku. Aaarrrrgggh .... "

Kepakan sayap burung terdengar meninggalkan sarang. Mustahil satu pria bisa mengalahkan sekelompok orang. Jika ia tidak berkata menyerah maka ia harus rela berpisah dengan jari manisnya. Pandanganya kosong dengan wajah pucat pasi.

"Hei."

"Y-ya!"

"Jaketnya pasaran."

"Ma-maaf!"

***

Gedung-gedung kaca tampak indah dari dalam sebuah ruang kedap suara. Wanita itu akan mengambilnya lagi. Bersandar menyangga tubuh tuanya yang hampir hilang sadar, hatinya masih belum tenang meski meja kerjanya telah porak-poranda. Kembali terkenang masa lalu dirinya yang nyaris menduduki puncak kejayaan.

"Tuan, seseorang datang untuk menemuimu."

"Suruh dia masuk."

Seorang anak muda muncul dengan tampang berantakan. Satu telinganya seperti akan terlepas dan satu dua jari hilang. Tampak darahnya masih menetes melewati sela perban menandakan bahwa jaringannya baru saja terbuka.

"Aku tidak tau apa yang terjadi, ayahku menelpon menyuruhku datang kemari untuk berlindung."

"Siapa nama ayahmu?."

"Razif Kadafi."

"Bawakan dia minum air putih," pintanya pada sekertarisnya. Menyeruput halus secangkir Rosella tea ia kemudian berkata, "Ruanganku sedikit kotor. Maaf jika membuatmu kurang nyaman."

Dering panggilan muncul setelah tegukan kedua. Pandangannya langsung mengarah pada gagang telepon yang menggelantung terpisah dari kepala mesinnya. Pria tua itu berdiri sedikit bungkuk mengingat ia baru saja duduk. Beberapa menit terlewat setelah mendengarkan orang yang ada di sisi lain berbicara.

"Berapa banyak yang sudah kau bunuh."

"Apa?"

"Teman-temanmu."

"Ini ... ini salah paham! Bukan aku yang membunuh mereka!" pekiknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Bukan kau. Lalu siapa?"

"Psikopat berengsek itu!" Tangannya digebrakkan pada meja kayu.

"Jam tangan? Kau yakin ini miliknya?"

"Tentu saja! Aku sendiri yang bengambilnya. Jika bukan karna pria itu mereka pasti bisa kabur. Neo, dia harus tahu dengan siapa dia berhadapan." Senyumnya lebar memenuhi wajah.

"Siapa?"

"Ayah aku membawakan air putihnya." Seorang pria datang dengan goblet glass berisi air mineral.

Dikuatkan tangannya menggenggam lengan Rhineo seolah menyuruhnya berhenti melakukan apapun. "Rhyneo pembicaraan kita selesai kemarin." Ia lalu Mendorongnya dan lanjut berkata, "Segera pergi dari sini."

"Tapi a-"

"Kamu ... NEO? Rhyneo nama aslimu, huh? Ini semua terjadi karenamu! Akan kubuat kau menye ...."

Pria itu kini diam tak bergeming. Pecahan kaca yang terbentur di lantai masih terngiang setelah sinar sepasang mata berubah menjadi suram. Membunuh tanpa ragu bersenjatakan gelas yang ia bawa tepat di hadapannya.

"Aku hanya membantumu menyelesaikan satu masalah," ujar ayahnya masih memegang kaki gelas yang digunakan untuk menikam leher pria malang itu.

Rohaninya bergidik tidak karuan. Ini kali pertama Rhyneo melihat seseorang membunuh dengan mudahnya. Melihat ayahnya sendiri yang terlibat membuat matanya terbelalak berkaca-kaca.

"Antar mayatnya. Katakan dia bunuh diri setelah mengaku salah. Sampaikan juga salamku pada ayahnya," cakapnya pada sekertarisnya yang baru saja kembali.

Ibu, kakak, lalu pria itu. Rhyneo merasakan mual sepanjang epigastriknya. Di depan westafel ia membasuh wajahnya dengan rasa bersalah. Kehadiranku melayangkan kepala mereka tanpa sebab.