webnovel

Vol. 1 - CH 11 Odette

Kota Z, 30 Mei 20** ....

Tiga tatapan berbeda menyerang dari tiap sisi. Dihadapannya seorang bangsawan sendok emas, kanan kirinya ras malaikat dan iblis. Hanya halusinasi namun apa daya, dirinya hanya manusia biasa dalam konferensi tanpa meja.

Pepy menebak-nebak apa isi jalan pikiran mereka. Keingintahuan mungkin, mengapa mereka jalan bersama? Logikanya hanya satu.

"Kalian kencan?" Igy melepaskan panahnya.

Pepy bingung apa jawaban terbaik menghindari lebih banyak pertanyaan yang menghujam nantinya. Alis matanya terangkat, meminta bantuan dari orang yang bersangkutan.

"Dua kali aku melihat Pepy berbelanja," pungkas Rhyneo.

Si Bangsawan tahu benar caranya mencuri perhatian. Setiap teman mestinya diperlakukan seolah-olah mereka adalah musuh yang bisa menikam dari belakang. Napoleon aku padamu, Pepy memegangi keningnya yang mulai pening.

"Ehem ...." Igy berbisik keras, "Aku turut andil memilih bajunya. Bagaimana?"

Sudut bibir Rhyneo terangkat. Nyatanya penampilan Pepy malam itu adalah buah hasil dari hasutan sosok wanita di sampingnya. Namun, setelah bola mata mereka bertemu ucapannya mengalir begitu saja. "Cantik."

Pepy tersipu malu. Telinga dan pipinya menjadi merah meski dingin menyebar ke seluruh punggungnya. Satu kata dari pria itu mampu membuat tanda-tanda vitalnya terganggu.

"Dia tampak seperti Beruang Malayan yang sedang hibernasi," timpa Rhyneo tanpa sadar mengingat dirinya pernah sekali merasakan kerasnya lantai.

Apa semua pria mendirikan pabrik bom di dalam mulutnya? Dengan sungut kesal Pepy patahkan tangkai bambu. Neo gelagapan, padahal ia juga punya senjata yang digadang-gadang ampuh dan itu masih utuh. Jagung bakarnya.

Aura suram ada di sisi lain. Seseorang belum juga menyumbangkan suara, entah karena tidak bisa mengikuti alurnya atau malas menanggapi. Mimiknya menggambarkan bahwa segalanya tampak membosankan. Jasmin yang sejak tadi diam akhirnya pergi ke kamar atas. Tindakannya jelas menciptakan canggung.

"Jasmin, kau tidak enak badan?" Pepy datang dengan kotak obat untuk lukanya. Tampak Jasmin tidur tengkurap di atas kasur.

"Jauhi dia," ucap Jasmin tidak jelas karena wajahnya masih menempel pada bantal.

Pepy belum bisa mencerna permohonan Jasmin. Tidak mungkin sahabat tiga serangkainya itu memutus hubungan hanya karena mengirimkan pesan tanpa ada jawaban. Ia pun belum bisa memastikan apakah pernyataan yang diberikan Rhyneo palsu atau benar terjadi.

"Kau suka padanya?"

Seketika Jasmin tersontak, "APA? Pepy, katakan aku salah dengar. Wajah mereka ... maksudku wajahnya penuh dengan kutukan kesengsaraan!"

***

Langkah lesu Rhyneo seolah hadirkan malapetaka bagi orang lain. Bukan karena kutukan kesengsaraan, melainkan perhatian yang tak mengikuti arah jalan. Dirinya bahkan tidak segan-segan memotong barisan bebek yang sedang menyeberang meski antrian kendaraan rela berlama-lama menghabiskan bahan bakarnya.

Jaga jarak? Teh melati yang menyebalkan itu pasti telah menghasut Pepy. Saran dari Pepy sebelum meninggalkan toko bunga membuatnya menebak-nebak. Kesadarannya hinggap seketika setelah klakson sebuah kendaraan mengingatkan bahwa ruas jari kakinya telah memasuki jalan raya.

Bukan sekedar klakson, ia juga sedang merasakan sensasi yang sedari tadi berusaha menarik lengannya. Pepy? Dilepaskannya pandangan ke belakang.

"Kweek!" Suara itu mengejutkannya. Tampak seekor unggas berusaha menarik biji jagung bakarnya.

"Bebek?" Rhyneo mencari gerombolan di sekitar. Mengapa ada seekor bebek? Kakinya dikibaskan mengusir sambil berusaha mencegat taksi yang melintas.

"Anak muda, kau ingin meninggalkannya? Cucuku berkata bebek bisa berubah menjadi putri," kata seorang nenek tidak jauh dari tempatnya berdiri. Pun kelompok kecilnya ikut mengangguk-angguk.

Mereka salah membedakan spesies saat bernyanyi potong bebek angsa di sekolah. Meski begitu Rhyneo tetap mengindahkannya. Tidak lama menunggu, sebuah kendaraan menepi. Berbekal jagung bakarnya Rhyneo menggiring bebek itu ke dalam mobil.

"Turunkan aku di pasar lama."

"Ingin menjualnya?"

"Mobilku tertinggal di sana, bawa bebek ini pulang terlebih dahulu."

"Pulang? Ke rumah, Tuan?"

"Benar. Cepat jalankan mobilnya."

Dering ponsel muncul setelah beberapa saat mobil itu melaju. Berat hati ia mengangkatnya.

"Leona, ada apa?"

"Aku ingin mengambil beberapa gambar sore ini. Periksa chatku dan pilih setelan jasmu."

"Akan kugunakan warna pink." Sengaja Rhyneo memilihnya untuk merusak penampilan.

"Apa? Kau bahkan tahu warna kesukaanku."

Rhyneo mendengus kesal karena terlahir dengan IQ yang relatif rendah. Untuk apa wanita itu menaruh jas pink dari segala warna jas jika tidak untuk dipilih.

"Jemput aku. Aku menunggumu," ucap Leona sebelum mematikan panggilan.

Sampailah mereka di sebuah telaga, ditemani oleh para kru yang sedang mempersiapkan pemotretan. Waktu terbaik adalah sore hari menikmati sensasi matahari tenggelam alias sunset yang menawan. Bentuknya yang seperti hati membuatnya dikenal dengan sebutan Love Lake. Seribu sayang, tidak ada keinginan untuk berlama-lama. Sejenak Rhyneo memejamkan kedua matanya melihat pantulan sinar jingga dari airnya yang tenang.

"Lebih merapat!" teriak sang fotografer mengendalikan sebuah drone dari jarak jauh. Hembusan angin membuat mereka harus mengambil gambar berulang kali. Rambut Leona bahkan wajib disisir setiap tiba waktu istirahatnya.

Oleh karena beban ditambah angin kencang, high heels Leona terlepas. Tidak muncul masalah besar, ia sudah terbiasa melatih keseimbangan tubuhnya.

"Tunggu sebentar," ucapnya mengambil posisi jongkok.

"Ingin ku bantu?"

Leona hendak menolak sebelum angin kencang tiba-tiba meniup sekitarnya. "Mhm ...." Wanita itu tampak sibuk membebaskan kotoran dari dalam matanya.

Rhyneo medekati Leona yang masih merasa kesakitan. Ia sudah tidak sabar menunggu aktivitas sore ini selesai. Ditepis tangan yang sedari tadi mengucek kelopak matanya. "Buka matamu perlahan."

Beberapa kali ia meniup berharap debu itu muncul ke permukaan. Usahanya hampir mendapat hasil tatkala sebuah kilat flash kamera membuat Leona kembali menutup mata. Mengecewakan mengingat waktu yang dihabiskan tidak menghasilkan apa-apa. Waktu yang tepat memang, memotret saat angin berhenti berhembus.

Matahari telah menarik turun sebagian besar sinar. Rhyneo sedikit kesal meninggalkan Leona dan memasuki mobilnya. Pada akhirnya mereka membeli tetes mata sebelum pulang.

***

"Sayang, mengapa seekor bebek tinggal di halaman belakang," rajuknya sambil menunjuk-nunjuk.

"Bebek?" usut tuan Pinyora

"Siapa yang menaruhnya! Bunga-bungaku habis dimakan," protes wanita itu yang tidak lain merupakan ibu sambung Rhyneo.

"Itu aku, Nyonya." Seorang supir tampak ragu-ragu untuk maju.

"Kau tau sudah berapa lama waktu yang dihabiskan agar bunga-bunga itu mekar?" tuntutnya melemparkan beberapa tangkai bunga yang sudah meranggas.

"Apa yang terjadi?" Kedatangan Rhyneo dengan tampilannya yang mencolok mengubah atmosfer.

Supir itu segera mendatangi Rhyneo dengan napas lega bersembunyi di balik punggungnya. "Bebek Tuan merusak bunga di halaman belakang," ungkapnya.

"Rhyneo, kau yang membawa unggas itu ke rumah?" tanya ayahnya.

"Ya, itu aku yang membawanya." Rhyneo melangkah menghampiri bebeknya yang masih berkeliaran.

"Apa kau berencana membuat sejenis makanan?" ayahnya kembali bertanya.

"Namanya Odette, aku sudah memesan kandang."

"Ko ... Kodet apa?" sosor ibunya menajamkan pendengarannya.

"Sudahlah besok akan kubelikan bunga-bunga yang baru, yang sudah bermekaran." Pria tua itu menggandeng lengan istrinya agar tidak memperpanjang persoalan bebek binatang peliharaan Rhyneo satu-satunya.