webnovel

Vol. 1 - CH 1 Ketukan Hati Upik Abu

Hamparan luas semak belukar mengayunkan hijau. Perasaan saat dipermainkan oleh kebohongan yang indah pada akhirnya menjadi bunga yang tak pantas untuk dilihat.

Kota Z, 24 Mei 20xx ....

Terik panas menyelimuti kerikil yang terseret langkah kaki. Gerobak dan kedai Lantas berjajar melayani pembeli. Ada yang berteriak histeris, menemukan hasil matematis, dan mengarang opini tak logis. Beberapa menyuguhkan musik indah nan kharismatik. Aliran hip-hopnya terdengar magis dengan ritme yang cepat tetapi tetap manis.

"Ini salah, aliran Yin dan Yang serasa ada yang kesumbat," ujar Pepy berjalan gemulai di pinggiran trotoar pasar lama setelah dimiliki seikat sayur dan tentengan ubi jalar. Kenapa harus seminggu, sih? Pepy merasa melewatkan sesuatu saat dirinya menelpon mengajak Jun berkencan. Kini ia telah disadarkan, bahwa inilah kesalahannya. Ish! Bisa nggak ketemu sebelum kencan? Dahinya menyeruduk tiang mirip seperti banteng yang sedang menguji tanduk.

"Pepy, kan? Nggak nyeberang?"

"Argh! nggak waras nih. Suaranya udah kayak panggilan Mikail."

"Pepy?"

"Iya! Iya! Keep calm Hirda Ajeng Pepynan tetep ku ...," sontaknya radius lima meter terpotong. Matanya terbuka lebar. Pepy belum menerima kenyataan sampai harus mengkonfirmasi kehadiran pihak lain apakah hanya ilusinya atau benar kenyataan. Menyentuh sejumput lengan baju pria di depannya sambil bertanya, "JUN?". Ditatap singkat pria itu lalu menoleh pada lampu lalu lintas yang masih berwarna merah.

"Lampunya jalan," ucap Pepy gagap dengan kakinya melangkah gesit, kabur dari lokasi tanpa membalas sapaan pihak lain.

Pepy yang terengah-engah mulai menghentikan langkahnya dengan lirikan ke belakang langsung diterpa angin dari kendaraan yang tiba-tiba melintas. Napasnya mendecit seperti anak ayam ketika dibayangkan saudara daun kangkung yang tertinggal di zebra crossing setelah terjatuh dari kantung plastik belanjaannya adalah dirinya sendiri yang tergencet roda truk setelah lampu berkedip hijau.

"Save," keluh Pepy sempoyongan disertai gerah oleh keringat dingin. Tubuhnya masih terhuyung tertabrak angin sepoi-sepoi setelah tampak pria yang berusaha dihindarinya lenyap dari seberang. Tangannya mengacung ke depan. Acak mencegat kendaraan roda empat bertuliskan taxi terpajang pada atapnya.

Lantas dengan segala cara Pepy memutar otak untuk bisa menghindar setiap hari sebab dunianya dalam sepekan nyatanya seperti Nobita yang kehilangan baling-baling bambu dan pintu kemana saja. Ia persiapkan segalanya matang, mulai dari mengenakan jaket, penutup wajah dan topi hitam setiap keluar jauh dari rumah. Sesekali ia diduga sebagai ter*ris residivis ketika sedang berbelanja di sebuah swalayan ternama.

Kota Z, 26 Mei 20xx ....

"Rasanya kayak habis perang jiwa. Spesial hari ini jadwalnya mesti nyewa psikolog sama spesialis syaraf," ujar Pepy dengan lingkaran hitam di bawah matanya.

"Siapin Vodka-ri. Simpan ion dikit buat nanti."

"V-vod apa?"

Keramaian yang pernah didengar oleh Pepy saat berbelanja kebutuhan rumah dan makanan. Suara-suara di mana kalimat tawaran, pengalihan, dan penerimaan bergabung menjadi satu oleh gerak ratusan mulut orang yang berbicara.

Terlalu beauty abadi. Jadi, bajunya ga bakal bisa nandingi kecantikan gua yang secara nyalip Raisa, kalau-kalau dilukis model gaya Monalisa. Pepy berdiri menghadap cermin untuk kesekian kalinya.Tidak jarang ia menganga. Menguap lebar luar biasa saat berusaha meloloskan kepala atau saat mengancing benik dari pakaian yang berbeda-beda, itupun terus-terusan distok tanpa batas yang jelas.

"Ibumu sangat aktif," cibir karyawan yang nampak kelelahan karena harus berlama-lama di samping Pepy. Sudah berapa lama? Tentu saja, sejak Pepy mulai memasuki sebuah distro pakaian yang kebetulan atau memang sengaja dicari yang sepi pengunjungnya.

"Dia bukan ibuku dan dia masih lajang. Sekarang jadi cukup ragu mendapat bala bantuan darinya," dumel Pepy saat melihat Igy muncul sambil memegang selusin pakaian yang tampak asing.

"Wieh, kayak bidadari turun dari pohon taoge." Igy meninggikan suaranya ketika dilihat Pepy keluar dari kamar ganti.

Pepy tampak dewasa mengenakan gaun biru navy. Mengkilap, sempurna terpancar warna kulit kuning langsat lengkap dengan aksesoris elegan di salah satu pergelangan tangannya. Perawakannya menjadi lebih tinggi sebab sepatu yang dikenakan sedikit menanjak pada bagian tumit. Begitulah mereka akhirnya meninggalkan tempat segera setelah membayar di kasir.

"Butuh bantuan make over?" tanya Igy.

Dari atas sampai bawah Pepy melihat gaya fashion Igy yang tergolong khas atau tua, berkata, "Taksonominya seperti Kingdom Paleolithicum-Filum Dramatization, spesies Prehistoric. Terimakasih, dengan segala hormat yang satu ini saya lebih aktif," kupasnya.

"Nggak usah ngarang pakek ilmu analis. Lagi! Kamu yakin akan menunggunya di sini?"

Pepy keluar mobil berjalan memutari separuhnya. Pada hasil akhir, ia berdiri tepat di depan teras toko bunganya. Menghela napasnya dengan longgar ia berkata, "Jauh dari rumah dan jauh lebih ramai."

Malam mulai larut, tiga setengah jam berlalu setelah sang surya tertutup tirai air tawar di kejauhan. SMS-nya kebaca gak sih? Dihembuskan nafasnya keras, meluap seketika awan merintikkan hujan. Haruskah meditasi ngehitung tetes hujan? Dari dalam ruang tampak jalanan depan toko bunganya sepi meski ribut terdengar di atas kepala. Lelah matanya menahan kantuk. Terpejam setelah lama menunggu.

"Dia masih di sini?" ucap seorang pria memasuki toko bunga. Dimulai tiga langkah pertama dari pintu, tampak Pepy tengah terlelap. Pendek jarum jam menghunuskan tajam tepat pada angka sebelas menunjukkan petang. Berhasrat jarinya merapikan helaian rambut. Ia takut, gangguan kecil bisa saja membangunkan putri tidur.

Lantas diaktifkan kamera ponselnya. "Ini kencan pertama kita," bisiknya mulai memotret.

Ditatap penuh wajah wanita yang sesekali mengigau. Benaknya sedikit terusik. Dilepaskan jaketnya menjadi selimut yang menutup punggung Pepy setelah dilekatkan plester luka dengan tampilan animasi dinosaurus sedikit imut.

Bergegas ia turunkan korden bambu penutup kaca jendela dan memadamkan lampu toko. Lalu bagaimana aku mengunci pintu? Apa harus aku membangunkannya?

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" ucap seorang wanita bernada datar tengah berdiri di belakangnya.

"Temanku menunggu dan tertidur sampai belum menutup toko. Anda ibunya?

"Apa? Ah ... be-begitukah? ya benar. Aku ibunya," ucapnya meringkukkan payung. Air bekas hujan menetes menitik lantai di sekelilingnya.

"Karena Anda disini saya bisa pulang tanpa perlu cemas," ucap pemuda tersenyum cerah dengan mata bulan sabit yang sedikit terangkat.

"Dari awal tidak perlu cemas." Tanpa memandang pihak lain segera dilangkahkan kaki mengantar tubuh melewati ambang pintu.

"Baiklah, selamat malam," tutup salamnya seiring dengan pintu yang mendadak tertutup. Dalam sekejap raut wajahnya tenggelam. Pun dilangkahkan pula kakinya meninggalkan toko bunga sampai akhirnya terlindungi kendaraan yang bergerak menerjang deras air hujan.

Siapa yang peduli jika pintu kembali terbuka, apa yang terjadi setelah pintu tersebut ditutup? Orang yang sedang bersembunyi, ia tau jawabannya. Pria itu bukan Jun. Apa yang saudaranya lakukan di sini?