webnovel

Pengagum Rahasiah

Biyan masih berjalan menuju halte bus yang ada di ujung gang. Cuaca mendung di pagi hari ini, jalanan sudah ramai dipadati para pejalan kaki yang sibuk dengan urusan masing-masing. Begitu juga Biyan, yang sudah hampir satu jam berdiri di depan sebuah gedung berlantai lima membawa sebuah formulir untuk sekolahnya.

Biyan tidak tahu, apakah keputusannya benar atau tidak atau seharusnya dia menolak dengan lantang usulan tuan besar untuk memberikannya beasiswa. Biyan bisa bekerja dan tidak usah mengkhawatirkan finansialnya.

Dari semua pemikirannya seseorang berdiri di sampingnya tanpa suara. Biyan menggeser tatapannya. "Riyu." Biyan langsung membuang wajah tidak suka.

Keduanya masih saling terdiam.

Riyu mengeluarkan amplop coklat dari jaketnya lantas memberikan pada Biyan.

"Apa ini?" tanya Biyan tidak bersahabat.

"Lanjutkan sekolahmu, aku akan membantu," ujar Riyu tanpa menoleh dan itu sontak membuat Biyan tercengang. Sepertinya Riyu baru saja mengalami kecelakaan. "Setelah aku menemukan rumah yang cocok, pindah dari rumah besar itu."

"Tidak perlu memikirkan kami." Biyan menyerahkan kembali amplop itu. Tapi tidak Riyu terima.

Riyu beralih melihat adiknya itu. "Apa aku harus minta maaf? Aku akan mencicil uang itu, kau meminjam uang dari siapa?"

Pertanyaan itu lagi, Biyan tidak bisa menjawabnya sampai sekarang pun ia belum bertemu orang baik itu.

Riyu pergi begitu saja tanpa mendengar panggilan Biyan, dengan amplop di tangannya. Itu adalah kali pertama Riyu memberinya uang.

Riyu akan kembali ke kafe dimana ia bekerja dari kejauhan ia sempat melihat Regina namun tidak dipedulikan. Tanpa disangka Regina juga melihatnya.

Lampu jalan berwarna merah. Orang-orang di sekitarnya juga mulai bergerak. Seharusnya Regina mengambil jalan lurus untuk menuju supermarket, mengisi kulkas kosongnya dengan makanan agar ia tidak kelaparan.

Tapi kakinya justru berbelok. Melewati beberapa pertokoan yang menjual berbagai makanan siap saji. Sampai punggung tegap berjaket kulit hitam itu kembali terlihat, barulah Regina mulai mengatur jarak.

Riyu tiba-tiba berhenti. Regina segera menyingkir dari jalan, bersembunyi di sela pertokoan. Laki-laki itu menunduk kemudian berjongkok untuk mengikat tali sepatu lalu kemudian kembali berjalan. Regina memang gila, bisa-bisanya setelah patah hati dan sekarang ia mengikuti laki-laki.

Oleh rasa penasaran yang tidak bisa dijelaskan bagaimana bisa ada Riyu, Regina kembali mengikuti dari belakang. Hingga laki-laki itu memasuki sebuah kafe di ujung jalan.

Regina ingat itu adalah kafe yang pernah didatanginya tempo hari saat patah hati. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk masuk ke sana lagi. Lagi pula itu tempat umum. Riyu tidak harus curiga akan keberadaannya.

"Selamat datang nona," seruan itu hadir ketika Regina membuka pintu. Seorang laki-laki di belakang meja kasir tersenyum lebar. "Berisi di sana memang nyaman, nona. Tapi aku khawatir kau akan menghalangi pengunjung lain yang akan masuk ke dalam kafe ini."

Terasa tersadar Regina cepat masuk. "Maaf."

"Tidak perlu minta maaf, pelanggan kami adalah raja dan kau adalah ratu."

Regina terkekeh kecil. "Sepertinya kau tidak asing bagiku."

"Aku juga."

"Benarkah?" Wajah Regina antusia.

"Siapa yang bisa melupakan wajah wanita cantik namun sedih duduk berjam-jam di sudut kafe sendirian."

Regina meringis, menyayangkan hal menyedihkan itu harus diingat orang lain.

"Aku tebak, kau pasti lupa siapa namaku?" Pegawai kafe itu menutupi bagian dada sebelah kanan, di mana namanya tercetak.

Regina semakin merasa tidak enak, sungguh hari itu ia tidak mengingat apapun bahkan sampai sopir taksi yang mengantarnya pulang pun tidak tahu apakah Regina sudah membayarnya tau belum. "Maafkan aku…" sesalnya, sendu.

Laki-laki itu tertawa. "Kau harus berhenti mengatakan hal itu, aku Jey. Pegawai paling tampan di kafe ini. Kebetulan aku juga belum tahu namamu dan kita memang belum berkenalan." Jey mengulurkan tanganya.

"Aku Regina."

"Sangat cocok," ujar Jey dengan kedipan mata.

"Terima kasih kau sudah membantumu juga memesankan taksi untukku. Apa kau yang membayar taksinya karena aku lupa sudah membayar atau belum."

"Tidak masalah Regina."

Malam itu Riyu yang mengurus Regina juga taksi itu.

"Tetap saja, aku harus menggantinya."

"Bagaimana jika kau memesan minum dan kita impas," ujar Jey dengan humor. Membuat Regina ikut tersenyum lebar.

"Aku ingin segelas coklat hangat."

"Sama seperti yang tempo hari?"

Regina mengangguk seraya tersenyum.

"Baiklah, minumanku akan segera datang Regina."

"Panggil saja aku Rere, rasanya akan terdengar lebih akrap."

"Baiklah," Jey meninggalkan wanita itu beralih pada meja kasirnya lagi.

Regina menunggu dan waktu itulah yang digunakan untuk memperhatikan sekitar. Kafe itu hampir keseluruhan berbahan kayu berwarna hitam kecuali lantai. Lampu-lampu teduh di setiap sisi dan sudut yang pas membuat suasana menjadi hangat. Juga pajangan berbahan kayu, tanaman di dekat jendela di segala sisinya. Menambah kesan kafe ini seperti sebuah, rumah.

Tapi dari semua itu, matanya tidak bisa menemukan keberadaan sosok Riyu. Padahal Regina sangat yakin jika melihat laki-laki itu masuk ke kafe ini.

"Nah, ini pesananmu." Jey menggeser gelas berpelindung kertas ke arah hadapan Regina. "Apakah ada lagi yang kau inginkan?"

Disaat itu juga pintu masuk kembali terbuka. Memunculkan sosok yang sejak tadi Regina cari, dan kaki ini membuatnya menganga. Bagaimana bisa lelaki itu baru sampai sedangkan Regina yakin jika tadi Riyu lebih dulu.

Riyu mengikuti arah pandangan Regina. "Oh… biar kutebak kau datang ke kafe ini karena mengikuti dia?"

Regina mengerjap, mematung beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng hebat seakan takut ketahuan. "Tidak." Jawaban Regina malah membuat Jey mengulum senyuman.

"Tidak? Baguslah. Berarti kau pengecualian. Karena biasanya para wanita cantik yang datang ke kafe kecil ini alasannya hanya, dia!" Jey menunjuk Riyu yang sudah beralih ke meja kasir. Tidak peduli dengan pembicaraan keduanya.

Jey beralih pada Riyu. "Yu, ada wanita yang datang tapi buka karenamu. Sepertinya kau tidak sememesona itu." Jey tertawa pelan.

Riyu yang ada di balik meja kasir hanya tersenyum tipis tanpa melihat Jey.

"Aku benci dengan senyuman mu itu!" kata Hey lagi.

Regina langsung menarik gelasnya lantas seakan berkonsentrasi menikmati rasa coklat hangat itu.

"Jadi Regina, tidak peduli seberapa dia memesona. Riyu tetaplah pegawai paling tampan, kedua. Di kafe ini, kau harus ingat itu!" kata Jey mengerlingkan pandangannya.

Regina tersenyum geli. "Sekali lagi terima kasih." Regina kembali menikmati coklatnya dengan sedikit mencuri pandang pada lelaki di balik meja kasir.

Setelah coklatnya tandas rasnaya tidak ada alasan bagi Regina untuk tetap tinggal dalam keadaan sadar. Apakah ia harus patah hati lagi agar bisa lebih lama berada di kafe ini? Pemikiran yang gila. Regina segera bangun, menyelempangkan tas pada pundaknya sekilas ia melihat meja itu yang kini kosong.

Apa yang diharapkan?