Cahaya memanjang, menembus permukaan lapisan kaca transparan dan menyinari permukaan datar meja kayu yang berisikan banyak perkamen. Dengan majunya teknologi, sebuah kertas bukanlah lagi barang yang biasa terlihat di mana pun. Benda ini langka, menjadi fosil dan hanya tersedia di dalam museum. Bahkan untuk selembar kertas, merupakan hal yang luar biasa untuk bisa melihatnya secara langsung.
Namun berderet buku tua tersusun dengan rapi di dalam ruangan itu. Menyimpan berbagai ingatan masa lalu yang tertoreh dalam bentuk kata. Bukan satu atau dua buku, tetapi ribuan buku tersusun dengan baik di dalam rak-rak yang tercipta khusus untuk buku-buku yang termakan usia.
Tidak ada yang pernah membalik lembaran buku-buku yang berharga itu lagi. Mereka takut. Tidak berani bahkan untuk menyentuh. Benda tua itu begitu rapuh, sentuhan ringan dari sebuah hembusan angin yang sambil lalu, bisa saja merontokkannya menjadi kepingan partikel tak berbentuk. Karena itu, setiap buku hanya sebagai simbol. Simbol informasi yang tak lekang oleh waktu.
Srak …
Berjalan di antara rak-rak yang menjulang tinggi, seorang pria tua yang mengenakan jubah hitam itu terlihat sangat tenang. Seluruh helai rambutnya telah memutih. Garis usia tergores apik pada setiap kulit. Namun, sepasang iris abu-abu itu begitu lembut. Pada setiap ketajaman dan kekerasannya, telah ditebas habis oleh waktu yang terus berputar maju. Sepasang tanduk hitam yang melengkung dan besar terlihat di antara helai putih rambut. Agresif, tetapi semakin memberikan kesan bijaksana yang nyata.
Tangan tua itu terulur, menyentuh permukaan transparan yang melingkupi lemari kayu. Lalu, sebuah layar terpampang, memamerkan sederet informasi yang diinginkan pria tua.
Shappire.
Satu kata, tetapi jelas diketahui banyak orang. Penyihir Shappire, sebenarnya itu bukanlah nama seseorang, tetapi nama sebuah organisasi yang pada masanya, sangat berjaya. Kelompok itu merupakan pencetus, dari sebuah kemerdekaan. Setiap ras alien dipersatukan, baik alien terlemah seperti Zili, atau bahkan ras Campuran yang selalu dikucilkan. Namun di atas itu semua, kata Shappire selalu merujuk ke satu orang. Seorang Penyihir Jenius dan pembentuk organisasi. Seorang ras Campuran yang dulu terbuang dan tak dihargai.
"Kakek," suara seorang wanita mendadak terdengar di ruangan yang besar itu. Pria tua yang dipanggil Kakek menghentikan acara membaca, menoleh dan mendapati sosok wanita anggun berjalan mendekatinya.
Wanita tinggi, dengan helai rambut pendek sebahu itu tersenyum lembut. Helai rambutnya sewarna darah, dengan iris emas yang bersinar penuh kehangatan. Terdapat ekor merah yang mengintip dibalik rok yang dikenakan, bersama sepasang tanduk kecil yang menyelinap di antara helai rambutnya yang lembut.
"Kenapa masuk?" pria tua itu bertanya, mematikan layar yang terpampang, lalu menatap wanita yang kini telah berada di sampingnya. "Youna, sudah kakek bilang, selain Penyihir, tidak ada yang bisa masuk ke sini."
Wanita yang dipanggil Youna itu tersenyum geli. Sebelah tangan bergerak, meraih jemari tua yang ia sayangi. "Maaf, Kakek, tetapi Kakek selalu mengizinkanku untuk masuk," ujarnya geli. "Nah, jangan marah dulu. Aku sudah menunggu terlalu lama di luar, tetapi Kakek tidak kunjung ke luar, itu sebabnya, aku memilih untuk masuk."
Helaan napas terlontar dari pria tua itu, tetapi sedikit pun, tidak ada kemarahan. Perlahan, sepasang Kakek dan Cucu berjalan mengitari beberapa rak buku yang menjulang tinggi.
"Jadi, ada keadaan mendesak apa hingga Youna masuk?"
Wanita merah menggelengkan kepala. "Tidak ada yang mendesak," jawabnya jujur. "Hanya … aku terlalu senang, hingga tidak sabar untuk membagikannya ke Kakek."
Pria tua itu hanya diam. Menunggu hingga Youna melanjutkan ucapannya.
"Merci … telah kembali," setiap kata yang terlontar mengandung euforia yang tak tertahankan. Meledak-ledak hingga membuat jantung wanita itu berdebar keras. "Kemarin, pelatihannya telah selesai."
Senyuman kecil merekah di bibir pria tua. Ia dengan bijaksana mengangguk. "Bagus sekali … katakan, sudah level berapa yang dicapainya?"
Youna terkekeh. "Kakek, Merci masih sangat muda, dia melakukan pelatihan bukan untuk meningkatkan levelnya," sangkal sang wanita, menyebutkan kata Merci dengan lembut dan tulus. Bagaimanapun, Merci adalah putranya, Satu-satunya putra yang ia lahirkan sebelum bercerai dengan pria itu.
"Jangan berpura-pura, Youna … aku paling tahu bocah itu. Dia tidak mungkin kembali bila bukan karena telah mencapai keinginannya."
Youna menghela napas, mengulum senyuman dan menggelengkan kepala. "Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan apapun dari Kakek," keluhnya. "Yah … Merci naik Level. Sekarang, dia Kesatria level 3."
Jeda beberapa detik. Pria tua tidak langsung membalas sebelum akhirnya, helaan napas terlontar. Tidak ada kebahagiaan di sana, hanya perasaan tertekan yang kentara. "Dia baru berusia 20 tahun … untuk mencapai Level 3, bukankah terlalu mencolok?"
Wanita merah mengedikkan bahu. Senyuman masih tetap terukir di paras cantiknya. "Merci adalah milikku, Kakek … kami telah sepakat. Bagaimanapun, kami sudah membuat kesepakatan bahwa Merci tidak akan menjadi Putra Mahkota atau bahkan menduduki tahta."
Sepasang iris kelabu menatap cucunya. "Dia sangat berbakat."
"Aku tahu," ada nada bangga ketika Youna mengatakannya. "Tetapi dia tidak bisa memilikinya. Bagaimanapun, Merci adalah milikku. Bila ia ingin calon yang berbakat dan memuaskan … setidaknya, ia harus melatih anak-anak dari wanita itu."
"Apakah kau sudah bertanya lagi dengan Merci? Apakah dia benar-benar tidak ingin gelar Pangeran?"
Youna memutar bola matanya. "Kakek, kau sangat tahu Merci, bukan?"
Pria tua itu tersenyum geli saat mendengar nada sarkas yang terselip dibalik ucapannya. "Jadi, di mana dia sekarang?"
"Ada di rumah," jeda beberapa detik, helaan napas terlontar. "Merci akan mengambil waktu istirahat selama setahun, setelahnya, ia akan kembali masuk ke Academy Kerajaan."
Pria tua itu mengangguk. "Sudah kah kau bertanya, jurusan mana yang dipilihnya?"
"Ia tetap ingin mengambil Jurusan Tempur," alis wanita itu terpaut, lalu mendengus. "Dasar laki-laki, mereka sangat menyukai tantangan dan kekerasan. Tidak tahukah mereka, Ibu mereka sangat khawatir di sini?"
Senyuman kecil merekah, kedua orang itu kini telah sampai di sebuah pintu ganda yang tertutup. Namun, sedikit pun mereka tidak berhenti. Tetap melangkah dengan konstan hingga bayangan pintu menembus keduanya dengan mudah. Membuat sepasang Kakek dan Cucu seolah-olah mampu menembus dinding.
Ini memang pintu, tetapi pintu yang sangat kuat. Hanya mereka yang memiliki izin yang diperbolehkan masuk. Sisanya, akan selalu tertahan dibalik pintu tertutup. Itu sebabnya, Ruang Buku juga akan disebut Raung Tertutup.
"Dia masih 20 tahun," pria tua itu memperingatkan. "Jalannya masih panjang, dia masih terlalu muda untuk melompat kelas. Lagipula, Academy hanya menerima mereka yang telah mencapai level 3 di atas usia 25 tahun."
Alis wanita merah terpaut. "Kakek akan membantu Merci?"
"Aku memiliki teman lama di sana," pria tua itu tidak menyangkal. "Tetapi sebelum itu, Merci harus belajar lebih banyak. Biarkan selama 5 tahun dia di sini, aku akan mengawasinya belajar."
Wanita merah itu terkekeh. "Kakek, tidakkah menurutmu ini akan membuat Merci kesal?"
Senyuman lembut pria tua tidak lepas sama sekali. "Dikelilingi oleh Penyihir, tentu saja dia akan marah. Tetapi aku akan memberinya tempat yang berbeda. Bagaimanapun, ada beberapa area yang tidak boleh dimasuki oleh Kesatria."
Youna mengangguk mengerti. "Baiklah, kuserahkan semuanya kepada Kakek," setujunya. "Aku akan memberitahu Merci malam ini."
Pria tua itu hanya tersenyum. Setelah beberapa patah kata, kedua orang berjalan di lorong berbeda. Ketika langkah kaki menggema di lorong sempit yang sepi, pria tua itu menghela napas. Berhenti di sebuah dinding lalu tersenyum sedih.
Sepasang kelereng kelabu itu memandang ke satu titik. Sebuah bingkai besar yang begitu mencolok dan indah. Penuh artistik dengan ukiran keriting yang rumit pada bingkai besar berwarna emas. Namun, sosok yang terlukis pada bingkai besar itu tidak menunjukkan kemewahan. Hanya keagungan, dengan kemisteriusan yang jelas terasa untuk siapa pun yang memandang.
"Waktu … begitu cepat berlalu," gumam sang lelaki sebelum akhirnya kembali melangkah dan meninggalkan sebuah lukisan yang terpampang besar di sebuah lorong sepi. Lukisan itu begitu indah dan misterius, menampakkan sosok berjubah biru yang duduk di sebuah singgah sana mewah. Wajahnya tak terlihat, hanya separuh wajah. Namun, helai kelabu terlihat menjuntai hingga ke pinggang, dengan separuh wajah terlihat dari hidung ke dagu.
Sosok yang begitu agung dan dipuja. Lukisan yang seolah menampilkan kesombongan dan keangkuhan. Sebuah siluet penampakan yang selama ini selalu diyakini, sebagai pemimpin organisasi Shappie. Penyihir level 10 yang dipuja, Penyihir Shappire yang tak terkalahkan.
okay~ di sini aku akan update 2 chapter sekaligus sebagai bonus karena sudah mau menunggu!