webnovel

Baby's Dragon

Leo, Penyihir berusia ribuan tahun terbangun dalam wujud bayi setelah lama tertidur demi memulihkan tubuhnya pasca perang yang tak berkesudahan. Namun ketika ia keluar dari Ruang Jiwa ... "Baby ... ," Seekor Naga jantan, menatap batita kecil di depannya dengan mata yang berkilau cerah. Iris emas itu penuh kebahagiaan dengan sentuhan kejutan yang tak tertahankan. "Baby, panggil Papa." " ... ." Sebentar ... BUKANKAH MEREKA BEDA SPESIES?! BAGAIMANA BISA NAGA INI MENGANGGAPNYA ANAK?! Leo sakit kepala. Degan tubuh bayi dan bahasa Naga yang terdengar cadel, pada akhirnya ia mendidik Ayah angkatnya dari Naga Primitif yang konyol dan idiot, menjadi seekor Naga berdarah murni yang berwibawa. Oh, ini Papanya! Leo bangga. Namun sayang, masa depan selalu tidak terduga. Art Cover by: Fai

AoiTheCielo · LGBT+
Not enough ratings
65 Chs

15. Kelas Pertama

Enam orang Penyihir memiliki kelas yang berbeda. Meski sama-sama berada di kelas siang, mata pelajaran yang diambil semuanya berbeda. Kebetulan, hari ini Leo mendapat mata pelajaran perihal tanaman Lonceng Kematian. Saat membacanya, si perak terdiam. Bagaimanapun, Lonceng Kematian bukan tanaman yang ramah, itu adalah tanaman Karnivora. Namun mengingat bahwa tanaman itu sudah berevolusi …

Jadi, di sinilah Leo. Mengenakan masker dan sarung tangan, di sebuah rumah kaca yang asri dan sejuk, berdiri bersama beberapa Penyihir muda. Bagaimana pun, mereka sudah dibagi menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok hanya boleh memegang satu pot dan satu kelompok, terdiri dari empat orang. Pasangan Leo adalah 3 orang Penyihir ras campuran, ketiganya adalah wanita.

"Baiklah, kita sudah membagi kelompok masing-masing. Tolong jangan ribut dan Elizabeth, bisa kau menaruh potnya kembali?" seorang wanita jangkung menepuk tangannya yang berlapis sarung tangan kulit, menarik perhatian para murid yang penuh dengan antisipasi. Ras manusia, dengan rambut hitam keriting itu tersenyum saat berhasil menarik perhatian semua muridnya. Sosok bernama Elizabeth dengan malu, menaruh kembali pot berisikan Tanaman Lonceng Kematian.

"Nah, hari ini kita akan praktek secara langsung untuk mengelola Tanaman Kematian. Yah, kita semua sudah belajar tentang tanaman ini tetapi belum melakukan eksekusi secara nyata. Namun sebelum memulai, kita kedatangan ketiga tamu yang sangat penting dari Academy Ruby, Academy Sains dan Academy Penyihir Yuron."

Beberapa penyihir bertepuk tangan, menyambut ketiga Penyihir muda yang memasuki kelas mereka. Leo dan dua orang lainnya tersenyum, mengangguk sebagai salam sopan.

"Baiklah, untuk ketiga tamu, sebelumnya saya ingin bertanya, apakah sebelumnya kalian sudah belajar tentang Tanaman Lonceng Kematian?"

Ketiga orang, tanpa ragu, menjawab 'Sudah'.

"Nah, kalau begitu, bisa kalian jelaskan tentang Lonceng Kematian kepada teman-teman kita?"

Penyihir Ras Manusia dari Negeri Yuron tanpa ragu buka suara. "Tanaman Lonceng Kematian merupakan Tanaman Karnivora. Mereka mampu untuk menembakkan getah ke mangsa mereka dan membuat mangsa mereka lemas. Getah mereka mengandung racun anastesi yang membuat hewan dan serangga kecil lemas karena mati rasa. Saat mangsa jatuh ke semak-semak, saat itulah Tanaman ini memakan mangsanya."

"Bagus sekali," wanita itu tersenyum puas. "Nah, apakah ada yang ingin menambahkan?"

"Getah yang dimiliki oleh Lonceng Kematian sebenarnya bisa digunakan untuk pengobatan berupa bius lokal," Elf dari Academy Sains tanpa ragu menambahkan. "Salah satu keunggulannya adalah, getah tersebut bisa digunakan secara langsung tanpa pengolahan, terlebih getah tidak perlu masuk ke tubuh dan cukup dioleskan pada bagian luar tubuh."

Guru wanita itu bertepuk tangan. "Bagus sekali," pujinya seraya tersenyum. Lalu sepasang iris menatap ke arah si perak bertubuh paling kecil. "Nah apakah ada yang ingin ditambahkan?"

Jelas, pertanyaan ini untuk Leo.

Si perak terdiam selama beberapa detik. Ekspresi wanita itu tidak berubah, terlihat menunggu. Hal ini mau tidak mau membuat si kecil menarik napas panjang dan … "Tiga helai daunnya bisa dijadikan obat antidepresan, sulurnya bila dikeringkan dan dicampur dengan daun Mind, kaki egik dan taring Xorius, bisa membuat pil yang berguna untuk mencegah terjadinya pembekuan darah, baik yang disebabkan oleh racun atau kecelakaan alami. Akarnya bisa digunakan untuk obat pencernaan, tetapi bila dalam jumlah yang salah, bisa dijadikan racun mematikan karena mengandung sianida. Pada getahnya, bisa digunakan sebagai anestesi lokal, tetapi bila dikelola, bisa dijadikan obat penetral dari racun ular derik dan gas beracun yang dikeluarkan oleh Tanaman Tulang. Oh ya, Daunnya juga bahan terpenting untuk Pil Penumbuh Daging."

Leo terdiam selama beberapa detik. Kepalanya menunduk, menatap pot kecil yang berisikan Lonceng Kematian muda. "Harganya, bila aku tidak salah ingat, satu pot kecil seperti ini bisa mencapai lebih dari 100.000 koin emas, tetapi untuk jenis Lonceng Kematian buatan, karena efeknya sangat jauh dengan yang hidup di alam liar, hanya sekitar 50 koin emas."

Hening.

Ruangan mendadak hening, menatap sosok perak yang masih terlihat acuh tak acuh setelah menjelaskan perihal Lonceng Kematian. Oh, bahkan harga pasarannya juga disebutkan!

Guru wanita itu tercengang, lalu beberapa detik kemudian, ekspresinya benar-benar terlihat puas. Ia tertawa. "Ahahaha … benar-benar pantas menjadi murid Academy Ruby," ujarnya, memuji. "Nah … bisa kau beritahu kami apa perbedaan besar Lonceng Kematian asli dan buatan?"

Remaja cantik itu cemberut. Terlihat kesal karena terus menerus dilemparkan pertanyaan.

"Lonceng Kematian yang asli, tidak akan menembakkan geta, tetapi akan membuat getah yang dikeluarkannya memuai menjadi bentuk gas. Ukurannya juga jauh lebih besar, hidup di kapur dan tidak bisa hidup di pot seperti ini. Namun yang terpenting adalah efek yang diberikan ketika pemrosesan. Dalam Lonceng Kematian buatan, hanya bisa mendapatkan sekitar 5% dari manfaat aslinya."

"Bagus sekali," wanita itu tanpa ragu memuji. Senyumannya semakin mengembang. "Nah, itu adalah penjelasan tentang Lonceng Kematian dan seperti yang dikatakan teman kita, pot yang sekarang berada di ruangan ini adalah Lonceng Kematian buatan."

Semua orang refleks menunduk, menatap pot berisi tanaman dengan bunga kecil bak lonceng yang menghiasi. Sosok guru wanita tanpa ragu menjelaskan lebih rinci. Ia berjalan mengelilingi kelas, lalu mulai menyuruh setiap kelompok melakukan pemotongan, pencucian dan pengeringan.

Guru mempraktekkannya sekali. Bagaimana cara memotong, mencuci dan mengeringkannya. Terlihat sederhana, tetapi benar-benar sulit saat dipraktekkan. Bagaimanapun, ini adalah langkah yang penting. Penyihir yang baik, tahu bagaimana cara mengelola bahannya dan tahu bagaimana cara membedakan bahan yang baik dan buruk.

Tiga orang ras campuran yang menjadi teman sekelompok Leo, terlihat panik. Mereka sangat gugup ketika memegang pisau perak yang tajam. Agak gemetar ketika mencoba memotong daun. Terlebih hanya ada 5 helai daun. Masing-masing daun terlihat tipis dan sangat kecil. Hanya sepanjang 1 cm.

"Hati-hati, tanganmu gemetar," suara temannya memperingatkan. "Bagaimana bila aku memegang daunnya dan kau memotong?"

"Tidak," wanita itu menggelengkan kepala. "Pisau ini sangat tajam, ukuran daunnya juga sangat kecil. Bila aku melenceng sedikit, jarimu bisa terluka."

"Hanya luka kecil, tidak masalah!"

"Bisakah kalian jangan bertengkar? Daun-daun ini masih harus kita potong," sosok yang sejak tadi menonton dan merekam melalui Asisten, terlihat cemberut. "Kita masih akan menggunakan daun ini untuk dicuci dan dikeringkan."

"Tetapi daunnya terlalu kecil … ."

"Biar aku yang memotong," Leo menyela. Remaja yang lebih pendek itu mengulurkan tangannya, meminta pisau. "Biar kalian yang mencuci dan mengeringkannya nanti."

Perempuan itu terlihat ragu, tetapi pada akhirnya tetap menyerahkan pisau. Leo menghela napas. Ia membungkuk dan memperhatikan setiap helai daunnya. Setelah menyentuh daun selama beberapa detik, pisau perak dengan lembut dan mulus, memotong daun-daun yang kecil dan tipis.

Ketiga remaja bersorak senang. Mereka tanpa ragu menaruh lima helai daun ke atas nampan, lalu menyerahkannya kepada Guru untuk dinilai. Wanita itu terlihat kaget. Ia menatap daun di atas nampan, memeriksanya beberapa kali.

"Ini dipotong dengan sempurna," wanita itu berdecak kagum. "Siapa yang memotongnya?"

Ketiga siswa dengan canggung menatap ke arah Leo.

Wanita itu tersenyum mengerti. Lalu, tanpa ragu mulai mendesak untuk melanjutkan praktek. Bagaimanapun, setiap kegiatan akan dinilai. Jadi ketika salah satu mulai mencuci dan mengeringkan daun, beberapa kesalahan terjadi. Leo, dengan sabar mengajarkan mereka. Namun hasil yang diberikan tetap tidak sebaik apa yang ia pikirkan. Yah … sudahlah, toh ini praktek pertama.

Jadi, selain pemotongan yang mendapatkan nilai sempurna 100, pencucian dan pengeringan hanya mendapatkan nilai 60. Namun, point yang didapat sudah sangat besar. Hal ini membuat Leo dipandang oleh banyak pasang mata dengan sorot yang menakutkan.

Hal ini, mau tidak mau membuat si perak mengubah ekspresinya. Bagaimana tidak? Semua orang jadi datang ke mejanya untuk menanyakan ini dan itu! Apakah mereka mengira ia adalah ensiklopedia berjalan?! Leo sangat marah. Ekspresinya berubah dingin dan bibirnya menjadi rata. Tanpa ragu, ia langsung menolak siapa pun yang kembali bertanya.

Jadi, ketika pelajaran selesai, Merci yang sejak tadi berdiri di lorong kelas mendapati bahwa Penyihirnya … berjalan sambil dikelilingi oleh banyak Penyihir lainnya. Remaja perak memasang ekspresi 'Jangan menggangguku!'. Benar-benar terlihat sangat marah dan kesal, tetapi orang-orang di sekitarnya tidak mengerti.

"Le--"

Deg.

Jantung Naga Biru terasa mencelos. Leo berjalan cepat ke arahnya. Sepasang kelereng emas itu memandang seolah ingin menguliti seseorang hidup-hidup. Namun Merci tidak menghindar, sebaliknya, ia tetap berdiri di tempatnya sampai mendadak, tubuh lembut dan hangat menghambur ke dalam pelukannya.

Sosok perak yang tanpa ragu melingkarkan tangan di pinggang Naga Biru, sukses membuat keturunan Diandra mendadak kaku. Tanpa sadar, ia menahan napas. Rasa panas langsung menjalar dari wajah ke seluruh tubuhnya.