Aku dan Bang Sam tiba di bengkel. Seorang laki-laki tua langsung menyambut kami dengan gembira. Tanpa banyak basa-basi beliau langsung memeriksa ban sepedaku dan segera menambalnya. Sambil menunggu pengerjaan laki-laki tua itu selesai, aku dan Bang Sam duduk di bangku panjang yang terbuat dari anyaman bambu. Kami terdiam. Sibuk dengan alam benak kami masing-masing. Aku juga tidak berani untuk membuka percakapan. Padahal banyak sekali yang hendak kutanyakan kepadanya. Namun apa daya aku tak punya nyali untuk bersuara.
''Vivo ...'' Suara berat Bang Sam terdengar menghapus kebisuan di antara kami.
''Ya, Bang ...'' sahutku sembari melirik ke arahnya.
''Kamu tunggu di sini sebentar, ya!'' Laki-laki berhidung mancung ini bangun dari tempat duduknya.
''Mau ke mana, Bang?'' tanyaku. Kepo.
''Mau ke warung, mau beli minuman!'' jawab Bang Sam sembari ngeloyor pergi tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Aku hanya menghela napas dalam-dalam sembari memperhatikan tubuhnya dari belakang. Punggungnya sangat lebar. Lengan-lengannya Kekar. Otot bisep dan trisepnya terbentuk mekar. Bagai pahatan patung para pendekar.

Beberapa menit kemudian, laki-laki tampan beralis tebal itu kembali dengan membawa dua buah ice cream rasa vanila.
''Buat kamu!'' ujarnya sambil menyodorkan sebuah ice cream ke tanganku.
Sebelum aku meraih ice cream tersebut, aku menatap matanya yang bening seperti kaca. Semakin lama aku menatapnya, aku jadi semakin terjerat. Tatapan matanya yang tajam benar-benar seperti medan magnet yang mampu menarikku hingga dalam.
''Terima kasih,'' ucapku pelan.
Bang Sam tersenyum simpul. Masih saja manis. Seperti madu. Kinyis-kinyis. Membuat hatiku makin teriris. Perih. Karena aku makin tak berdaya dan tak bisa menolak bahwa dalam diriku memang menyimpan sebuah rasa. Rasa aneh yang sebenarnya ingin kutepis.
''Makanlah ... ice cream-nya!'' celetuk Bang Sam.
''Minum kali, Bang!'' sanggahku protes.
''Ice Cream benda padat atau benda cair?''
''Hmmm ... cair yang memadat.''
''Kalau padat dimakan atau diminum?
''Dimakan.''
''Nah ...''
''Hehehe ...'' Aku terkekeh, Bang Sam juga. Rancu juga ya, Ice Cream itu yang benar dimakan atau diminum? Salah semua! Yang benar dijilat dan diisap. Wkwkwkwk ....

Ketika kami selesai memakan ice cream-nya, selesai pula pekerjaan Pak Tua itu menambal ban sepedaku.
''Jadi berapa, Pak?'' tanya Bang Sam pada Pak Tua.
''Sepuluh Ribu saja, Mas,'' jawab Pak Tua dengan senyuman lebar.
Bang Sam langsung membuka dompetnya, namun sebelum ia mengeluarkan uangnya aku segera menahannya.
''Bang Sam ... biar aku saja yang bayar!'' ujarku.
''Tidak apa-apa, simpan saja uangmu!'' timpal Bang Sam seraya menyerahkan dua lembar uang lima ribuan ke tangan Pak Tua.
''Terima kasih, Mas!'' ucap Pak Tua girang.
''Sama-sama,'' balas Bang Sam.
Aku cuma bisa tercengang. Diam dan tak tahu harus berbuat apa.
Mengapa sikap Bang Sam semulia itu? Padahal kami baru bertemu. Baru kenal, tapi dia sudah memberikan kesan yang mendalam. Baik dan perhatian. Aku jadi bertambah baper dibuatnya. Tak hanya bagus rupanya, tapi juga bagus akhlaknya. Semoga tidak ada udang di balik nasi ya, dengan sikap baiknya ini. Kalaupun ada juga tak masalah, karena justru itu yang memang aku harapkan. Hehehe ....
''Vivo ...'' ujar Bang Sam mengagetkanku.
''Eh, ya ... Bang!'' sahutku gugup.
''Ban sepedamu sudah tidak masalah lagi, kamu bisa melanjutkan perjalanan pulangmu, jadi saya cabut dulu, ya ...'' kata Bang Sam sembari menunggangi sepeda motornya.
''I-iya, Bang ... terima kasih atas semuanya,'' jawabku.
''Oke ... hati-hati di jalan!'' kata Bang Sam seraya mengenakan helm-nya. Kemudian dia menyalakan mesin motornya dan sejurus berikutnya dia menarik gas motornya hingga kendaraan roda duanya itu meluncur meninggalkan aku yang masih berdiri terbengong sambil menggandeng sepedaku.
Aku terus menatap bayangan tubuh Bang Sam. Postur tubuhnya dari belakang benar-benar sangat mirip dengan tukang ojek yang pernah mengantar kepulangan ibuku. Mungkinkah dia menyambi bekerja jadi tukang ojek juga? __Ah, kurasa ini cuma pemikiran konyolku saja.Terlalu lebay bila aku membandingkan dia dengan seorang tukang ojek.

Setelah bayangan tubuh dan motor Bang Sam hilang dari pelupuk mataku, aku pun segera menaiki sepeda tua ini. Kemudian aku melanjutkan kembali perjalanan pulang yang sempat tertunda gara-gara ban sepeda bocor. Dengan semangat 45, aku menggenjot pedal sepedaku hingga sepeda ini meluncur dengan kecepatan yang maksimal. Aku ingin segera tiba di rumah. Aku ingin menuangkan ceritaku hari ini di buku harian. Cerita indah tentang pertemuanku dengan Bang Sam. Pertemuan yang tak terduga, tapi memiliki kesan yang luar biasa. Membuat hatiku senang dan berbunga-bunga. Bagai kumbang menyambut musim semi. Suka cita. Riang gembira.
Oh, Bang Sam ... engkau memang makhluk Tuhan yang paling seksi. Matamu, bibirmu, hidungmu, sekujur tubuhmu. Sungguh, membuat otakku penuh dengan bayanganmu. Suaramu, gerak-gerikmu, sikapmu dan perhatianmu, benar-benar membuatku luluh. Memaksaku untuk berkata bahwa aku suka padamu. Mengidolakanmu. Namun aku belum sepenuhnya jatuh cinta padamu. Karena aku masih menggunakan sebagian pemikiran warasku. Aku masih menolak untuk menjadi pelaku penyuka sejenis. Aku masih risih. Masih enggan untuk mengakui bahwa aku __ menyanjungmu. Tidak tahu kalau nanti malam, esok atau seminggu yang akan datang.