"Kalau dilihat seperti itu, kak Hazel sebenarnya termasuk mendingan." Cibirnya, sambil memandang ke seberang lapangan. "Walaupun kepribadiannya memang sangat buruk."
Mengikuti arah pandangannya, Alisa dan Arin pun ikutan melihat ke arah sana. Ke tenda yang sedang sibuk menyiapkan bubur jagung dan sandwich untuk sarapan nanti.
Hilda yang menangkap pandangan mereka melambai pelan dengan senyum secerah mentari, tapi Hazel yang ada di dekatnya jelas kelihatan sedang merengut kesal karena harus mengangkut ini-itu di hari liburnya.
Padahal biasanya tidak ada yang mengganggunya kalau hari minggu, tapi tiba-tiba saja Hilda malah meneleponnya dan memintanya untuk membantunya hari ini. Dan karena Hilda mintanya agak memohon, Hazel pun jadi tidak bisa menolaknya.
"Awas saja ekskul memasak…" Gerutu Hazel untuk kesekian kalinya. Soalnya meski Hazel sudah lama tidak ikutan senam di sini, dia tahu kalau harusnya ini adalah tugas mereka. HIlda bahkan tidak biasanya langsung ikutan bantu ke sini.
"Bisa-bisanya mereka semua malah pergi ke luar untuk lihat chef terkenal dan membuatku bekerja di hari minggu. Kusumpahi wajah mereka terciprat saus tomat!"
Tersenyum kecil, Hilda membiarkan Hazel menggerutu dulu sepuasnya. "Tapi makasih ya. Aku tidak tahu lagi harus minta tolong siapa. Tapi untung Aku ingat kalau kau orangnya baik hati."
"Hmph…" Celetuk Hazel yang tidak mau kelihatan tersipu. "Padahal kalau memang tidak ada yang lain, kakak tidak usah saja buka tendanya sekalian. Biar semua orang makan roti tawar saja—"
"Kalau itu tidak boleh!"
Terdiam, Hazel baru ingat kalau Hilda memang punya obsesi aneh tentang memberi makan murid-murid. "Tapi nanti Aku cuma harus bagikan rotinya saja kan?" Tanya Hazel kemudian sambil berjalan ke meja yang ada tumpukan rotinya.
Tenda sarapan yang biasanya dibangun khusus pada hari minggu normalnya hanya terdiri dari dua counter. Yaitu satu untuk menu yang paling populer, yaitu bubur jagung. Dan yang kedua adalah untuk aneka roti dan sandwich. Dan karena Hilda sekarang sedang berdiri di counter yang jagung, itu artinya Hazel pasti kebagian menjaga counter yang satunya lagi.
"Tentu—"
"Oh? Kalau begitu haruskah Aku jaga yang bubur jagung?" Tiba-tiba saja terdengar suara yang selalu spontan buat orang was-was.
Wtf… "Kak Fiona kenapa ke sini…?"
==================================================
Setelah senam yang lumayan melelahkan, normalnya semua murid akan langsung mengantri ke tenda untuk mendapatkan sarapan mereka, terutama pada bubur jagung si bintang utama. Tapi karena ada sesosok makhluk yang sedang memasang senyum mengerikan di tengah kedua counter itu, semua orang jadi enggan mendekat ke sana. Baik ke meja bubur maupun ke meja roti.
"Nah, kita mau bagaimana nih?" Kata Mary yang memasang posisi ancang-ancang. "Mau kelaparan sampai siang atau pertaruhkan nyawa untuk makan itu?"
Alisa hanya diam mendengar candaan Mary, tapi Arin kemudian menyahut dengan nada merengut. "Padahal hari ini Aku ingin makan dua-duanya."
"Aku juga." Sahut Mary lagi. "Tapi karena kak Fiona kelihatan memegang centong untuk bubur jagung, kurasa lebih aman kalau kita makan roti saja? Meski sialnya bubur jagungnya betulan wangi banget hari ini." Ocehnya lagi.
Arin dan Mary masih saja berdebat mengenai itu selagi Alisa tidak bisa tidak teringat kejadian dua hari lalu itu. Pandangan Rei yang kesal padanya memang menyeramkan, tapi sejujurnya tawa Fiona yang berterima kasih padanya karena sudah berhasil membuat Rei terluka… Lebih membuatnya trauma.
Padahal dulu dia tidak pernah berpikir macam-macam meski yang lain selalu bilang Fiona itu berbahaya. Tapi sekarang Alisa akhirnya punya sedikit rasa was-was terhadap sosok asli wakil ketua Osis itu.
"Ehem! Ehem!" Tapi di konter itu tiba-tiba saja Fiona kelihatan mengeluarkan megaphone. "Untuk 3 orang pertama akan kuberi hadiah lho." Katanya mengumumkan. Walaupun entah bagaimana, baik Arin, Mary, maupun Alisa langsung merasa kalau tadi Fiona sedang bicara ke arah mereka.
"...Kurasa Aku pilihnya kelaparan saja." Celetuk Arin akhirnya, yang langsung punya firasat kuat kalau Fiona akan mengincarnya hari ini. Bagaimanapun dia adalah bahan taruhan mereka waktu itu.
Mendengar itu Mary dan Alisa juga jadi tidak yakin lagi. Tapi begitu melihat Fiona meletakkan berbagai macam hadiah di konter itu, mata Mary akhirnya jadi terpaku pada salah satu figure transformer model terbaru yang ada di situ.
Bahkan Alisa juga menyadari itu. "Mary, bukannya itu figure baru yang kau inginkan?" Katanya.
Cuma terdiam, Mary melipat bibirnya untuk menahan dirinya supaya tidak langsung lari ke sana. Tapi seperti yang sudah Alisa tahu, Mary bukan orang yang bisa menahan perasaannya. "Ugh, sialan!" Gerutu Mary yang akhirnya berjalan ke sana.
Alisa agak ragu untuk ikut menyusul, tapi karena dia lebih khawatir meninggalkan Mary sendirian, dia pun akhirnya memutuskan untuk ke sana juga. Walaupun sebelum menyusul dia tidak lupa untuk menggandeng lengan Arin dulu. "Mungkin tidak apa-apa? Lagipula kak Hilda dan kak Hazel juga ada di sana." Bujuknya.
"...Ahh, perasaanku benar-benar tidak enak." Keluhnya lagi, meski pada akhirnya dia tetap mengikuti Alisa--untuk setidaknya memastikan apakah Mary keracunan atau tidak.
"Aha… Akhirnya datang juga." Kata Fiona senang. "Nih hadiah untukmu. Aku tahu kau suka kotak musik." Tambahnya sambil mengulurkan kotak musik dengan patung raja kelinci beserta para anak buahnya di atasnya. "Tidak usah terima kasih."
Dengan ragu, Arin pun memandangi hadiah itu. "Dari mana kakak tahu Aku suka…?"
"Eyy, tidak penting Aku tahu dari mana." Balas Fiona. "Dan ini untukmu. Sejujurnya Aku tidak tahu kau sukanya apa, jadi kuambilkan saja buku ini." Lanjut Fiona sambil mengeluarkan sebuah buku kecil yang judulnya ditulis dengan tulisan tangan, 'My Diary'.
Di situ tidak kelihatan nama pemiliknya, tapi Alisa sebenarnya mengenali tulisan tangan itu. Mengingat orangnya sering mengerjakan pekerjaan Osis di sebelahnya kalau sedang main ke pondok. Makanya dia diam-diam menggeser langkahnya ke arah Hilda. "A-Anu, ini, kakak saja yang kembalikan pada kak Hana."
Dengan bibir yang sama getirnya, Hilda pun mengambil buku itu.
Tapi tentu saja hadiah-hadiah itu boleh diambil hanya kalau mereka mau makan dan menelan bubur jagungnya. Dan sebagai orang yang paling putus asa, akhirnya Mary yang harus jadi kelinci percobaan.
Meski begitu, tidak sesuai dengan kekhawatiran seluruh dunia, baik bubur jagung maupun rotinya sama sekali tidak ada yang beracun.
Walaupun Hilda sebenarnya sudah tahu itu. Karena kalau ada bahan asing yang memasuki makanannya, dia seharusnya tahu saat mencicipinya tadi. Meski tetap saja, itu masih tidak menjelaskan alasan Fiona kemari sebenarnya.
Lalu anak-anak yang lain juga, setelah melihat 3 pelanggan pertama itu masih hidup, perlahan-lahan akhirnya semua orang juga mulai mengantri ke counter seperti biasa. Terutama karena Fiona langsung mengembalikan centong buburnya pada Hilda setelah mengurus 3 anak tadi.
"Hilda, senyum ke sini." Panggil Fiona yang sekarang sudah sibuk dengan handphonenya lagi. Dia bahkan sampai bawa tripod juga. "Hazel juga. Merengut ke sini." Tambahnya sambil tertawa geli sendiri saat Hazel menoleh dengan ekspresi yang memang diharapkannya.
Hilda awalnya hanya diam, tapi akhirnya dia pun bicara. "Sebenarnya tadi Aku sudah sms ke Rei dan Hana kalau kau ke sini. Tapi mereka tidak balas."
"Begitu? Mungkin karena semalam Aku melempar handphone mereka ke danau, entahlah." Balas Fiona. "Ah tapi tenang saja. Nanti juga Rei ke sini kalau sudah di mulai."
Nah, muncul juga red flag-nya. Makanya sembari menahan jantungnya mencelos, Hilda pun melanjutkan pertanyaannya. "Mulai apanya—"
Dan detik berikutnya, tiba-tiba saja counter Hazel meledak.