webnovel

Meminta Dadakan

Tak tanggung-tanggung, bahkan orang di bawah pandangannya sempat teriak melengking, hingga Arya merasa telinganya akan pecah jika mendengar suara sekeras itu lebih dari 5 detik. Ratusan orang lalu lalang masuk keluar kampus seketika mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara. Namun begitu Arya cepat-cepat menutup mulutnya, orang-orang tadi tampak kebingungan seakan ia mendengar suara yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Mereka sejenak melihat sepasang laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki itu sangat mencurigakan sebab terus menutup mulut gadis di depannya. Tak ingin dipandang sebagai lelaki cabul, Arya memutuskan membuka mulutnya, lalu membicarakan apapun agar suasana di sekitar mereka terlihat sangat hangat dan penuh kejutan.

Setelah dilepas mulutnya, gadis tersebut langsung menampar… bahkan sampai memukul perut Arya menggunakan tangan kanannya yang sangat lemah. Seketika Arya memundurkan tubuhnya ke belakang, walau tak terasa sakit namun ia biasa merasakan kalau gadis di hadapannya akan melanjutkan serangannya kalau dirinya tak menghindar.

"Sudah hentikan! Mau sampai kapan tinjumu terus kau kerahkan?" Arya bertanya tanpa menatap kedua mata lawan bicaranya, saking sibuknya menghindari pukulan demi pukulan yang dihantarkan.

"Salahmu sendiri! Orang datang baik-baik langsung di hajar!"

"Tia, Tia, lain kali jangan seperti orang mencurigakan atau orang sialan. Kita sudah satu semester berteman dan begini caramu menyapaku? Setidaknya sebut namaku dari jarak yang tak terlalu jauh."

Ya, gadis itu adalah Tia, dan Arya juga tak mengerti kenapa temannya itu masih berada di daerah kampus, mengingat ia tak mengikuti kegiatan atau organisasi apapun.

"Sudahlah, lupakan saja. Aku pikir kau sudah pulang dari tadi. Apa yang membuatmu kembali? Aku dengar kau ikut klub renang," tanya Arya penasaran.

"Meman itu yang sebenarnya. Tapi kedatanganku ke sini karena ingin menemui Aliyah."

Ah, Arya mengerti tujuan gadis itu. Tia memang tak mengikuti organisasi atau UKM apapun namun sebaliknya, Tia cukup aktif sebagai mahasisiwa di semester awal dengan mendaftarkan diri 2 organisasi sekaligus walau keduanya juga sama sekali tak menyakut tentang olahraga.

"Apa aku harus tahu urusanmu mencari Aliyah?" tanya Arya.

Sebenarnya Arya tak ingin alasannya sekecil apapun sebab itu sudah pasti bukan urusannya. Lagi pula menurutnya berurusan dengan perempuan seumurannya terkadang benar-benar merepotkan namun di sisi lain sangat baik melatih kesabaran dan mengendalikan emosinya. Akan tetapi mengingat Tia yang terlebih dulu menyapa Arya, bahkan sampai menepuk pundaknya, entah mengapa firasatnya menunjukkan kalau dirinya sebentar lagi akan terlibat dalam urusan mereka.

"Tentu saja kau harus tahu. Kau ingat kami besok lusa akan mengikuti kompetisi basket, kan?"

Arya mengangguk pelan sambil menunggu Tia melanjutkan.

"Kami sebenarnya sudah cukup lama latihan bersama. Ah, maksudku bukan hanya aku dan Aliyah saja. Tapi temannya Aliyah juga ikut beberapa kali… atau bahkan sering."

"Oh, itu bagus. Kemampuan memang sangat diperlukan tapi kerja sama antar individu tak bisa diabaikan. Lalu kalian akan latihan lagi sebelum kompetisi itu tiba?"

Tia membenarkan. "Walau temannya Aliyah sendiri yag mengatakan kalau tak harus memenangkan kompetisi itu, namun aku merasa sangat bersalah kalau pada akhirnya aku menjadi beban mereka dan tak bisa memberikan yang terbaik. Kami memang baru bertemu dan tak bisa dianggap sebagai teman dekat, tetapi hasil buruk tetap membuat kami merasa bodoh dan tak bisa melakukan hal lain selain menangis dan menyesali kemampuan kami yang tak ada perkembangan pesat.

"Tak perlu khawatir. Kau sendiri sudah melihat gaya permainan temannya, kan? Bagaimana menurutmu?" tanya Arya, dalam hatinya ia sangat penasaran terhadap penilaian Tia.

"Er… menurutku cukup handal. Seperti pengalamanku sampai sekarang, menggiring bola tanpa terlepas bukan hal yang mudah dikuasai. Namun ia benar-benar menyatu dengan bola di tangannya dan sama sekali tak gugup memperlihatkan kemampuannya. Mungkin bisa dibilang aku melihat dirimu dalam bentuk perempuan."

Arya membayangkan dirinya berubah wujud menjadi perempuan. Namun secepat mungkin ia memutuskan membuang pikiran itu, tak membiarkan pikirannya semakin liar dan sangat bersyukur terlahir sebagai laki-laki.

"Memang kau sendiri pernah melihatku benar-benar bermain basket?" tanya Arya memastikan, keningnya mengerut seakan sudah tahu jawabannya.

"Apa latihan tanding yang sempat kalian lakukan beberapa waktu lalu juga termasuk?"

"Sayangnya tidak. Saat itu aku tak bermain serius karena aku bukanlah pemain yang menjadi andalan pelatihku. Asal kau tahu saja, sebaik apapun kau menganggapku bermain basket, tapi aku tak pernah menjadi pemain utama."

Tia memang tak mengerti basket atau olahraga semacamnya, namun mengenai makna pemain inti, orang awam sepertinya sudah pasti paham. "Kenapa? Apa kau selalu bersikap sombong dan tak diperbolehkan pelatihmu menjadi pemain utama?"

"Itu fitnah! Bahkan aku tak pernah membanggakan diriku di hadapan mereka!" Arya teriak memekik, tak terima.

Gadis itu menggeleng pelan sembari mengayungkan telapak tangannya. "Kalau begitu, kita pergi sekarang. Aliyah pasti sudah menunggu di sana," ucap Tia sembari melangkah.

"Ba… Tunggu sebentar. Apa kau tadi mengatakan kita?" tanya Arya mengulangi. Seumur hidupnya Arya tak pernah mengalami gangguan pendengaran, dan apa yang baru saja ia dengar tentu memicu firasatnya semakin tak menjadi-jadi.

Dengan terpaksa, Tia menghentikan langkahnya kembali lalu membalikkan bada, menatap Arya lamat-lamat. "Kau tak tuli, kan? Kalau aku bilang kita ya kita. Kau juga ikut denganku, sekarang!"

Sejenak Arya melepas helmnya lalu menaruhnya di atas spion motor sebelah kanan. Nampaknya sebentar lagi akan terjadi peperangan yang akan terulang kembali walau Arya tahu mereka telah membuat keributan sebelumnya. "Aku tak tahu kenapa kau seenak jidat melibatkanku. Bukankah aku sudah bilang kalau sudah tak ada lagi yang perlu aku ajarkan pada kalian? Lagi pula kau sendiri juga sudah mendengar berulang kali jika temannya Aliyah bukanlah pemain amatir. Kau sendiri juga bilang begitu, kan?"

"Aku tahu, tapi tanpa adanya pelatih yang mencoba mempersatukan kami, mungkin tak akan bisa berkembang. Walau temannya Aliyah sangat berbakat bermain basket, tapi mulutnya terkadang seperti pedang menusuk hati ketika memberi komentar. Dan juga apa yang ia inginkan harus terwujud dan tak mau jika salah satu di antara kami sampai melakukan kesalahan."

"Apa memenangkan kompetisi itu juga keinginannya?"

Tia mendadak ragu. Saking banyaknya komentar temannya terus memutari isi kepalanya, hingga ia kebingungan memastikan apa saja yang pernah dikatakan pada mereka beberapa waktu lalu. "Mungkin… iya. Tapi aku sendiri tak yakin."

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Arya. Nampaknya permasalahan temannya Aliyah semakin rumit dan sangat mengekang Tia dan Aliyah. Jika harus berkata jujur, Arya sama sekali tak peduli karena tugasnya hanya melatih mereka agar bisa bermain basket, bukan menjadi penengah bagi mereka seakan Arya menjadi pelatih dadakan di kompetisi yang sama sekali tak menarik di mata Arya.

Jangan lupa vote, collect, dan kirim power stone, ya ^^

Bimbrozcreators' thoughts