webnovel

Hangatnya Cinta

Arya mengernyit lalu berdecak kesal, keinginannya tidur di bawah jam 10 malam pada akhirnya bisa terwujudkan ketika belakangan ini dirinya sering tidur di atas jam 12 malam. Membuka selimutnya sedikit, Arya menjulurkan tangannya ke nakas tepat di sebelah kasurnya. Sangat berguna ketika dirinya memutuskan membeli barang itu ketika dirinya lulus SMP.

Begitu melihat layar ponselnya, Arya sangat terkejut. Bagaimana tidak, sosok yang dinantikan kabarnya saat ini tiba-tiba meneleponnya. Sambil merebahkan tubuhnya kembali, Arya mengangkat telepon itu tanpa menunda lama.

"Halo..." sapa Arya singkat.

"Halo? Maaf ya, kalau aku meneleponmu malam-malam. Bolehkan aku meneleponmu?"

"Tapi kau sudah meneleponku. Untuk apa kau meminta izin?" Baru pembukaan saja Arya sudah dibuat kesal oleh teman kecil… maksudku, pacarnya.

"Kau lagi di mana?" tanya Amelia nadanya sangat lembut dan menenangkan.

"Di rumah, di kamar. Memang kenapa?"

"Oh, lagi belajar?"

"Belajar? Sejak kapan aku rajin belajar?" Arya bertanya-tanya. Sudah lama dirinya tak belajar atau membaca buku pelajaran, terlebih ketika dirinya memasuki kuliah dan berstatus pemain profesional.

"Kau tak pernah belajar? Bukannya kau sangat suka menulis dan mencatat semua yang ditulis guru di papan tulis ketika kita masih satu sekolah?" Amelia terkejut perubahan, sangat besar terjadi pada Arya.

"Entahlah. Aku tak bisa bilang kalau gemar meulis itu juga dianggap belajar. Memang sebelum aku mengenal basket dan setelah kepergianmu ke Denmark, aku tetap rajin menulis dan tak pernah melewatkan kesempatan ketertinggalan catatan apa yang disampaikan guru-guru di papan tulis. Tapi kalau dikata rajin belajar… mungkin aku tak suka."

"Kenapa? Bukanya belajar itu bagus?"

"Enggak ada alasan khusus. Anak-anak seumuran kita memang tak suka belajar dan lebih suka bermain dengan temannya. Apa aku salah?"

"Hmm…" Amelia berdeham panjang sambil berpikir. Teman-teman yang ia kenali saat ini memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, terlebih Amanda dan Dyah. Bahkan saking parahnya, ia sangat jarang melihat temannya mengunjungi perpustakaan meski berulang kali sang dosen menyuruh mereka membaca beberapa buku tentang hukum atau apapun itu, dibanding mereka mencari e-book melalui internet.

"Mungkin kau ada benarnya juga. Beberapa temanku ada yang sangat ambisi dengan impiannya. Bahkan ada juga yang tak memiliki tujuan apapun di perkuliahannya selain memperluas lingkaran pertemanan."

"Nah, menurutmu. Lebih buruk mana dibanding aku?" Arya bertanya dengan nada sangat semangat.

"Kau bilang ingin menjadi pemain basket , kan? Aku tak terlalu paham tentang olahraga, tapi jika kau bertanya siapa lebih buruk… mungkin temanku lebih buruk, tapi aku juga tak menganggapmu lebih baik dari mereka."

"Jawabanmu netral sekali, ya."

Tanpa sadar Amelia terkekeh.

"Hei, kalau kau sedang di kamar, boleh aku melihat wajahmu?"

"Eh, untuk apa?" Arya kebingungan sekaligus tergugup.

"Kalau kau tak mau, tak apa-apa. Tapi bukankah kita sebelumnya juga pernah melakukannya?"

"Kau tak salah sih, tapi…" Arya tak bisa mengatakan jika dirinya sangat malu memperlihatkan wajahnya sekarang. Setelah mereka resmi berpacaran, mereka sangat jarang melakukan interaksi, baik secara langsung maupun melalui pesan. "Enggak tahu kenapa, rasanya aku malu."

Amelia mengerang kesal, namun terdengar sangat imut di telinga Arya. "Kau malu pada orang yang sudah lama kau kenal. Bukankah kita sudah berpacaran?"

"Justru karena kita pacaran aku jadi malu."

Amelia berdeham kasar lalu berkata. "Ya sudah, kalau begitu kita sudahi saja telepon malam ini. Sampai besok…"

"Tunggu sebentar! Kenapa kau mengakhiri telepon ini sangat cepat hanya karena aku tak mau menunjukkan wajahku?"

"Lantas bagaimana? Aku ingin melihat wajahmu karena kita cukup lama tak bertemu. Apa tak boleh?" tanya Amelia.

Hati Arya seakan ditusuk-tusuk sejuta cinta mendengar ucapannya, sangat manis dan susah menolak ajakannya jika nadanya sudah seperti itu. Dengan jantungnya yang berdebar kencang, Arya menarik napas sangat dalam dan dihembuskan pelan-pelan, agar tak terkesan terpaksa.

"Oke, kalau kau yang meminta, akan aku turuti."

Amelia tersenyum manis, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Hanya saja dirinya tak sadar jika Arya bisa melihat wajahnya sebab gadis itu terlebih dulu mengaktifkan kamera depannya tanpa sengaja. Arya juga tersenyum kecil sembari menggeleng pelan melihat wajahnya begitu menggemaskan. Bagaimana mungkin Arya bisa menolak jika gadis yang paling dicintainya sudah kesenangan seperti itu?

Detik berikutnya Arya juga mengaktifkan kamera depannya, dan mereka saling tatap satu sama lain di depan layar ponsel mereka.

"Wajahmu terlalu dekat dengan kamera, terlebih kepalamu juga miring. Apa kau sedang tiduran?" tanya Amelia memastikan.

"Ya, begitulah. Sebenarnya aku berencana ingin tidur sekarang…"

"Yang benar? Berarti aku mengganggu waktu tidurmu?" Amelia langsung menyela cepat sebelum Arya menyelesaikan ucapanya. "Maaf sudah mengganggu waktu tidurmu. Pantas saja kau tak mau menunjukkan wajahmu. Atau kita sudahi saja teleponnya?"

"Jika teleponnya selesai sekarang, apa kau puas melihat wajahku hanya beberapa detik?" tanya Arya menggoda

Amelia tertegun sejenak. Ingin berkata jujur jika melihat wajah Arya hanya 5 detik pun tak ada kepuasan sama sekali, tapi apa yang ia rasakan begitu berat dan terbata-bata ketika berusaha menyampaikan perasannya. "Ya… sebenarnya… enggak puas sama sekali. Bahkan… kalau hanya melihat saja… juga tak puas…"

Arya bisa melihat wajah pacarnya merah padam ketika mengatakan itu. Namun reaksi Arya juga sama karena ada maksud lain di kalimat terakhirnya, sebelum ia bisa terkekeh senang menyaksikan wajah imut Amelia yang tak pernah ia lihat selama ini.

"Aku pikir semenjak pertemuan kita di belakang gedung Fakultas Hukum, kau sudah menjadi kepribadian yang berbeda ketika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Namun nampaknya aku terlalu cepat menyimpulkan, teman kecilku ini masih membutuhkan perlindunganku, ya."

"Ihh! Siapa bilang aku butuh perlindungan seperti dulu! Aku sudah besar dan punya banyak teman sekarang. Itu semua karena usahaku selama di Denmark, mencari teman demi teman seorang diri setelah terus-menerus berlindung di belakangmu."

Spontan Arya tertawa keras sampai Sherla di kamar sebelah mendengar suara itu sangat keras.

"Ternyata memang masih sama saja, ya. Amelia yang aku kenal ternyata sekarang tak berbeda dengan dulu."

Amelia menggerutu kesal panjang lebar, namun respon Arya hanya berupa kekehan kecil sambil memejamkan matanya. Kemudian suasana menjadi hening sejenak, tak ada inisiatif apapun dari mereka untuk memulai pembicaraan. Mereka hanya menatap satu sama lain seakan sedang mengikuti kontes 'orang paling lama tak berkedip'

"Hei, apa besok kau senggang?"

"Besok?" Arya mengingat sejenak, agenda apa saja yang harus ia lakukan. "Aku ada kuliah pagi, terus sorenya latihan basket seperti biasa. Kau sendiri?"

"Sebenarnya besok aku tak ada perkuliahan sama sekali. Dan… aku juga ingin bertemu denganmu besok. Apa bisa?"

Jangan lupa vote dan kirim power stone ya ^^

Bimbrozcreators' thoughts