webnovel

Prophecy

Mojokerto, 10 Oktober 2024.

Pagi itu, matahari baru saja naik, menyinari sawah-sawah yang terhampar luas di sisi jalan. Langit biru tanpa awan memberikan kesan cerah yang menyegarkan. Mobil SUV hitam yang mereka tumpangi melaju di jalan beraspal yang membelah pedesaan Jawa Timur, menuju situs Majapahit tertua yang terletak di Trowulan, Mojokerto. Lokasi ini dikenal sebagai pusat kekuasaan Majapahit, menyimpan banyak misteri arkeologis yang belum terungkap sepe-nuhnya.

Kavi duduk di kursi penumpang depan, sementara Keano Aryendra, teman sekaligus pengemudi mereka, fokus menyetir dengan santai. Aria Putra, yang selalu ceria, duduk di kursi belakang bersama Rafael Yasendra, yang sibuk memeriksa kartu tarotnya di dalam ransel.

Radio mobil menyala, memutar berita terbaru dari dunia arkeo-logi.

"....dan artefak yang ditemukan beberapa bulan lalu di situs Trowulan masih menjadi pembicaraan hangat. Mustika Dyah Pitaloka, sebuah permata yang konon berasal dari abad ke-14, ditemukan oleh tim arkeologi Indonesia yang dipimpin oleh Kavi. Penemuan ini menggemparkan dunia arkeologi internasional...."

"Wah... wah... siapa yang jadi selebriti sekarang?" Aria menimpali dengan cepat.

Kavi memutar bola matanya sambil tersenyum kecut. "Kenapa harus diulang-ulang?" gumamnya pelan.

Keano yang masih fokus menyetir bertanya, "Aku masih penasa-ran, kenapa kau absen dari acara penghargaan itu?"

Aria kembali menimpali. "Kau melewatkan kesempatan yang semua arkeolog ingin mendapatkannya!"

Kavi hanya mengangkat bahu. "Tidak semua orang sepertimu." jawabnya santai.

Rafael menambahkan sambil tersenyum tipis, "Setidaknya dia punya alasan logis. Kadang acara seperti itu lebih melelahkan daripada menggali situs."

"Mboten Trep! [1] Menggali situs seribu kali lebih melelahkan daripada menerima hadiah!" Aria berseru histeris.

"Kau hanya belum pernah mengalaminya." timpal Keano.

"Jangan meledek!" ucap Aria bersungut-sungut.

"Sudahlah, mari dengarkan yang lainnya." kata Kavi sambil me-mutar radio.

Berita di radio beralih ke ramalan cuaca. "Hari ini diperkirakan cerah sepanjang pagi hingga siang hari di kawasan Mojokerto, dengan suhu sekitar 28 derajat Celsius. Namun, sore hari kemung-kinan akan terjadi hujan lebat di beberapa area—"

Klik.Kavi mematikan radio dengan cepat.

"Kenapa dimatikan?" tanya Keano. "Takut semuanya akan ber-ubah buruk untuk ekspedisi nanti?"

"Ramalan itu tidak logis," katanya tegas. "Cuaca bisa berubah kapan saja. Tidak ada yang bisa meramalkan sesuatu yang begitu dinamis."

Rafael mengangkat alis, tampak tertantang. "Kamu tidak perca-ya ramalan, ya? Bahkan yang ilmiah seperti cuaca?"

"Bukan masalah percaya atau tidak. Hanya saja, ramalan selalu penuh ketidakpastian."

Melihat perdebatan mulai memanas, Aria menyela. "Hei, kita akan bertemu dengan profesor terkenal, loh! Raka Wijaya dari Indonesia dan beberapa profesor mancanegara lainnya. Mereka akan melakukan ekspedisi bersama kita hari ini. Sebaiknya jangan memasang wajah tegang seperti itu!" Aria berkata sambil terse-nyum lebar.

Kavi mengangkat alis. "Profesor Raka Wijaya? Aku tahu dia. Tapi siapa saja yang lainnya?"

Aria terkekeh sambil melempar pandangan pada Rafael. Pria itu mengembus napas lalu membuka smartwatch-nya dan menunjuk-kan daftar nama yang akan melakukan ekspedisi di situs Majapahit bersama mereka hari ini.

"Dari Indonesia, ada Profesor Dr. I Gede Ardana, seorang ahli dalam bidang pra-sejarah Bali dan Jawa. Lalu, ada Prof. Dr. Sukarno Agung, yang terkenal dengan penelitiannya mengenai hubungan kebudayaan Jawa dan India kuno. Juga, Prof. Dr. Hendra S. Pratama, yang banyak mengungkap temuan-temuan penting dari Candi Borobudur."

Rafael melanjutkan, "Kemudian ada Prof. Dr. Tutyana Suryawan, dengan risetnya tentang pengaruh kolonial Belanda. Dan tentu saja, terakhir, ada Prof. Dr. Raka Wijaya, yang penelitian dan teori tentang Majapahit sudah diakui dunia."

Aria terkejut, "Wow, mereka semua hebat! Tapi siapa lagi yang akan bergabung dari luar negeri?"

"Hei... hei... bukannya kau yang harusnya menjelaskan?" Keano balas bertanya.

"Ayolah.... aku hanya sedikit lupa." ucap Aria sambil cekikikan.

"Alasan!" gerutu Keano.

Rafael tersenyum, "Ada Profesor Dr. Zahi Hawass dari Mesir, ahli besar yang telah menemukan banyak makam Firaun di sana. Juga ada Profesor Dr. Brian Fagan dari Amerika, yang penelitian tentang peradaban kuno dan dampak perubahan iklim sangat terkenal. Prof. Dr. Jane Lyndon dari Australia, yang mendalami kebudayaan pribumi Australia, dan Profesor Ian Hodder dari Inggris, ahli teori arkeologi terkenal yang menemukan situs Neolitik di Catalhoyuk."

Rafael melanjutkan, "Jangan lupa Prof. Dr. Francisco J. Ayala dari Spanyol, yang terkenal dengan penelitiannya tentang peradaban kuno di Eropa Selatan, dan Prof. Dr. John H. Baines dari Inggris, yang banyak memberikan kontribusi besar di bidang arkeologi Mesir Kuno."

Aria yang mendengarkan, terkesima. "Wah, lengkap sekali! Ini pasti akan menjadi ekspedisi yang luar biasa."

"Omong-omong soal profesor…." Rafael berkata sambil mena-tap layar smartwatch-nya, "aku tidak melihat nama Profesor Helena Strauss di daftar tamu. Bukankah dia terkenal sangat ambisius dalam mencari artefak di situs Majapahit? Bahkan dia pernah tinggal sebulan penuh di sana."

Keano menoleh sekilas dari kemudinya. "Bagaimana menurut-mu? Bukankah kau yang bekerja sama dengan Profesor Helena sebelum menemukan mustika Dyah Pitaloka, Kavi?"

Kavi tetap menatap jalanan, tidak menjawab seketika. Setelah beberapa detik, ia menjawab datar, "Entahlah…. mungkin dia sudah menemukan apa yang dia cari."

"Ayolah…. bukankah mustika itu yang dia cari selama ini?" Aria bertanya dengan nada penasaran.

Namun, tidak ada jawaban dari Kavi. Pria itu masih membisu. Seandainya bukan karena pengetahuannya yang luar biasa, Aria pasti malas bersama orang sepertinya. Namun, Aria dan kedua temannya memahami sifat Kavi yang demikian, karena ia telah kehilangan orang yang selama ini menjadi panutannya, yaitu Prof. Dr. Afkari Caraka, ayahnya.

Keheningan menyelimuti beberapa detik, sebelum Aria men-coba mencairkan suasana dengan sedikit bergurau. "Oke, omong-omong soal ramalan, Rafael. Buktikan dong kalau ramalan itu bisa dipercaya!"

Rafael tertawa kecil. "Baiklah. Berhenti sebentar di pinggir jalan, aku akan menunjukkan sesuatu."

Keano melambatkan mobilnya dan menepi di bawah pohon rindang. Rafael membuka ranselnya, mengeluarkan setumpuk kartu tarot, dan mulai mengocoknya dengan lihai.

"Oke, siapa duluan?" tanya Rafael sambil tersenyum penuh percaya diri.

Aria dengan antusias maju terlebih dahulu. Rafael menyuruh-nya mengambil satu kartu, lalu membacakannya. Ramalan yang Rafael sampaikan membuat Aria tertawa karena sesuai dengan sifatnya yang ceria dan optimis.

Keano mengambil giliran berikutnya. Rafael membaca kartunya dengan nada dramatis, membuat semua orang di mobil tertawa terbahak-bahak.

Ketika tiba giliran Kavi, suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Kavi mengambil satu kartu dan membaliknya. Gambar kartu itu membuat Rafael terdiam, wajahnya berubah serius.

"Apa itu?" tanya Keano dengan penasaran, melirik kartu di tangan Kavi.

Rafael menatap Kavi dengan mata melebar, raut wajahnya tampak serius. "Apa akhir-akhir ini kau sering mengalami mimpi buruk?" tanyanya tiba-tiba.

Kavi tersentak mendengar pertanyaan itu. Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin dia tahu?" Memang benar, se-lama tiga bulan terakhir ia dihantui mimpi yang sama—mimpi yang tidak pernah berhasil ia pahami.

"Ayolah, Rafael! Apa hubungannya ramalan ini dengan mimpi buruk?" gerutu Aria, tak sabar menunggu penjelasan.

"Tentu saja ada hubungannya," jawab Rafael dengan nada tenang namun tegas, masih menatap Kavi.

Kavi mencoba tetap tenang. Ia memandangi kartu itu dengan ekspresi datar, lalu meletakkannya kembali ke tangan Rafael. "Hanya mimpi biasa. Tidak ada yang penting."

Rafael menghela napas panjang, lalu berkata pelan, "Kavi, kartu ini… ini bukan sekadar ramalan. Ini menggambarkan takdir besar yang akan kau hadapi. Kamu harus siap—"

Tanpa menanggapi lebih jauh, Kavi mengalihkan pandangannya ke jalan. "Sudah cukup main-mainnya. Ayo lanjutkan perjalanan," katanya datar, berusaha mengakhiri pembicaraan.

Tanpa berkata lebih banyak, Kavi kembali masuk ke mobil. Keano menghidupkan mesin, dan mereka melanjutkan perjalanan menuju Trowulan. Di dalam mobil, suasana kembali ramai, tetapi di hati Kavi, kata-kata Rafael terus terngiang, mengusik pikirannya yang logis.

____________________

[1] Mboten Trep! : Tidak Tepat!