webnovel

Archaeologist Law (1)

Nngangrukbaru, Tlogo, Kec. Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. 2015.

Seorang anak terbangun dari tidurnya dengan napas memburu udara. Matanya cepat menyapu pandang. Dilihatnya sebuah ruang tidur berukuran 3 x 5 meter yang hanya menyediakan dua tempat tidur, sebuah nakas dan kamar mandi dalam.

Tepat di depannya, Afkari, Ayah anak itu memberinya segelas air. "Mimpi tenggelam, huh?" tebaknya.

Si anak duduk di tepi ranjang lalu menerima suguhan dari ayahnya. "Apa yang terjadi?" ia balas bertanya.

"Kau membuatnya aktif," ucap Afkari sambil mengarahkan pandangannya pada sebuah batu berwarna biru gelap di atas nakas yang mereka dapatkan beberapa minggu sebelumnya di Candi Prambanan. 

Kejadian tersebut sempat membuat masyarakat geger sebab ada gempa kecil yang disebabkan oleh aktivitas tidak biasa yang berpusat dari bangunan bersejarah itu. Untungnya hasil temuan Afkari dan anaknya akan ruang rahasia di bawah bangunan tersebut juga benda-benda bersejarah peninggalan Majapahit, membuat anggota Keraton dan beberapa masyarakat sekitar berterima kasih kepada mereka. 

Terlebih bila melihat sikap sejarawan itu yang hanya meminta satu buah batu untuk mereka teliti, dan batu tersebutlah yang entah bagaimana memancarkan cahaya terang ketika Kavi memegangnya. Hingga membuat bocah berumur tujuh belas tahun itu tertidur sampai dua hari.

"Bagaimana kau menyebutnya? Itu tampak seperti stone of truth," ucap Kavi.

"Kalau cara kerjanya begitu, sebut saja begitu," jawab Afkari. "Jadi ... apa yang kau lihat?" imbuhnya.

Belum sempat menjawab terdengar suara perut yang keroncongan. Jelas saja, mana ada manusia yang tidak kelaparan setelah tidur dua hari lamanya?

"Mari lanjutkan di meja makan," kata Afkari sambil melempar senyum.

***

"Kukira, kita bakal makan di tempat yang mewah," tutur Kavi dengan wajah sinisnya. Bagamana tidak? Setelah mereka menemukan harta negara, ayahnya hanya membawa ia untuk makan di warteg yang berada tepat di belakang tempat mereka menginap.

"Kita harus menghemat," cakap Afkari lalu menyeruput es teh dan kembali melahap paha ayam goreng.

"Kau memang sepelit itu, dari dulu," Kavi menggerutu sambil menyantap sepiring nasi bersama sayur kangkung dan kering tempe, juga mendoan.

"Untuk apa membawa semua barang ini?" tanya Afkari seraya mengarahkan matanya pada sebuah ransel di samping meja mengindahkan kalimat anaknya.

"Kita tidak tahu kapan mereka akan datang, lagi," jawab Kavi tanpa mengalihkan tatapannya. 

"Sekalian saja kau bawa semuanya," tutur Afkari.

"Baiknya.... kau memilih barangmu sekarang. Bakal repot kalau harus menggendong sebanyak itu sambil lari,"

"Kau saja yang lemah," ledek Afkari, tapi tetap mengikuti kemauan anaknya. Membongkar isi tas tersebut, lalu memilahnya. Mengambil benda-benda yang menurutnya penting, yang setidaknya bisa mereka bawa tanpa menenteng atau menggendong apa pun. 

"Jadi ... apa yang kau lihat?" tanya Afkari beberapa saat kemudian.

"Kau tahu.... semua hal ada bayarannya," jawab Kavi balas meledek.

"Kau persis seperti Elly," kata Afkari lalu menunjukkan sebuah surat kepada anaknya.

Tanpa menunggu kalimat ayahnya, Kavi membacanya. Seketika bola matanya melebar.

"Kapan kita pergi?" Kavi merespons omongan ayahnya sambil melirik ke beberapa orang yang mencoba menutupi diri mereka sambil melihat ke arahnya secara tidak wajar. Kemudian mengambil ponselnya dari saku.

"Hargai makanan di depanmu. Aku selalu mengajarimu itu," tutur Afkari memaksa anaknya menyimpan kembali ponselnya setelah mengirimkan sebuah pesan.

"Kita harus cepat pergi," Kavi merespons omongan ayahnya menggunakan bahasa Jawa Pertengahan setelah ia menyadari kalau beberapa orang yang melihat ke arah mereka secara tidak wajar pergi dari tempat itu, meski sebagian masih diam di posisi mereka masing-masing. 

"Ada pemburu?" cakap Afkari memakai bahasa Gayo.

"Mungkin saja. Atau anggota Keraton?" Kavi balas bertanya dengan bahasa Sansekerta.

"Hahaha ... aku sudah menolak mereka untuk menjemput kita," jawab Afkari berbahasa Koptik.

"Kenapa menolaknya? Itu justru bagus untuk kita menghindari para pemburu," ucap Kavi mengenakan bahasa yang sama dengan ayahnya.

"Semua selalu ada alasannya. Kau tahu—" perkataan Afkari mesti terhenti di situ sebab si pemilik warung datang menyerobot.

"Kowe ki ngomong apa, to?"

Mendengar itu, seketika kedua pria tersebut terbahak.

"Oooh.... wong gendeng, ya?!—Oooh.... orang gila, ya?!" sambung si pemilik warteg.

Afkari menanggapi dengan beranjak dari duduknya lalu menggebrak meja keras dan berkata, "Aku … ra due duit,—Aku … ga punya uang,"

Jelas saja respons yang ditunjukkan oleh si pemilik warteg ada wajah jengkel.

***

"Pancen, wong gendeng!—Memang, orang gila!" gerutu Kavi sambil melempar tatapan sinis pada ayahnya sembari menyuci gerabah di dapur si pemilik warteg.

Sementara Afkari yang mengelap hasil cucian anaknya, terbahak tanpa adanya rasa bersalah sedikitpun. "Kita harus menghemat,"

"Jangan bawa-bawa aku!" sentak anaknya.

Mendapati Afkari yang tidak merespons seperti biasa, Kavi menyambung kalimatnya. "Mahawangsa ... dari barang yang mereka pakai, aku yakin … itu Kerajaan Gangga Negara,"

Afkari tak bisa menutupi keterkejutannya. Ia menghentikan pekerjaannya sekadar melihat ke arah Kavi. 

"Apa yang terjadi di sana?" tanya Afkari seakan menyetujui hipotesis anaknya, meski benaknya tidak bisa menerima informasi tersebut sebelum mendapatkan detail-detail yang akurat. Namun, ia tak bisa melewatkan kesempatan untuk mendapatkan laporan dari anaknya secara gratis.

Selama ini, saat Afkari membawa Kavi dalam pekerjaannya, ia selalu meminta bayaran sebelum memberikan informasi yang didapatkannya. Walaupun jumlah yang dikeluarkan tidak mencapai setengah dari biaya arkeolog profesional. 

Memang cukup tidak masuk akal bagi seorang arkeolog yang bekerja sama dengan bocah SMA, tapi bagi Afkari, anaknya berbeda dari kebanyakan arkeolog sepertinya. Lebih daripada itu, dirinya mesti menjaga janji yang ditinggalkan istrinya sebelum meninggal: menjadikan Kavi sebagai pengganti Elly.

Memori akan hal itu masih terpatri di benak Afkari. Ia ingat ketika istrinya itu diujung kematian, Elly menggenggam tangannya erat sambil berkata, "Waktuku tidak banyak. Kau harus janji, kalau kau akan menjadikan Kavi sebagai penggantiku,"

"Tidak Elly, kau pasti selamat," jawab Afkari sambil membendung air matanya. Sebisa mungkin ia berusaha agar tidak menangis di depan istrinya. Ia tidak ingin Elly merasa dikasihani akan kondisinya. Wanita itu sangat benci dikasihani. "Bala bantuan akan segera tiba,"

"Aku tahu ... dia masih kecil," ucap Elly menghiraukan perkataan suaminya. "Tapi kau sudah melihatnya sendiri, kalau dia ....berbeda. Di-dia berbeda ... dia berbeda dengan arkeolog seperti kita, dia istimewa," ucap Elly terbata-bata. Kondisinya kian melemah. Wajah dan sekujur tubuhnya telah sangat pucat. Bibirnya pecah-pecah sampai mengeluarkan darah.

"Sudahlah, berhenti bicara," pinta Afkari agar istrinya menghemat energi. Setidaknya menggunakan tenaga yang tersisa untuk terus menjaga kesadaran sampai para medis tiba.

Namun Elly terus melanjutkan kalimatnya, "Itu seperti ... para leluhur menyokongnya,"

"Elly...." panggil Afkari pelan sebab istrinya telah menutup mata. Meninggalkan dirinya dan Kavi untuk selama-lamanya. Tak kuasa, akhirnya air mata itu menetes dibarengi akan perginya istri yang sangat ia cintai.

"Mereka mengejar seseorang," tutur Kavi menyadarkan Afkari dari ingatannya.

"Siapa?" sahut Afkari beberapa saat kemudian.

Kavi menggeleng kepala.

"Apa yang kau lihat selanjutnya?" tanya Afkari.

"Orang itu melompat," jawab Kavi.

"Siapa?"

Belum sempat menanggapi terdengar sebuah ledakan yang begitu dahsyat sampai membuat tanah yang mereka pijak bergetar hebat. Langsung saja keduanya keluar dan menyapu pandang. Orang-orang di sekitar tempat itu pun melakukan hal yang serupa dengan mereka. Dilihatnya pemandangan yang mengerikan. Api berkobar menghasilkan kepulan asap yang tebal dan menjulang tinggi di tempat menginap Afkari dan Kavi sebelumnya.

"Itu jelas perbuatan mereka," cakap Kavi meminta konfirmasi dari ayahnya.

"Mereka memang selalu nekat," ucap Afkari yang menahan kekesalannya. "Ah sialan! Barang-barangku masih di sana,"

"Ayo pergi," ujar Kavi sambil menarik tangan ayahnya untuk menjauh dari sana.

Baru beberapa meter keduanya pergi si pemilik warung berteriak, "Arep maring endi?! Kowe ki urung pada bayar! Ngubaih ge urung rampung!—Mau ke mana? Kalian ini belum bayar! Nyucinya juga belum selesai!"

Mendadak Afkari berseru, "Ayo pergi!"

"Bayar dulu," Kavi mencoba menghentikannya. Namun setelah ia melihat apa yang ditunjukkan oleh ayahnya, bocah tujuh belas tahun itu akhirnya mengikuti langkah Afkari.

Dan seperti yang biasa terjadi di banyak tempat, semua warga ikut mengejar anak dan ayah tersebut setelah si pemilik warung berteriak, "Maling!"

Kerumunan yang tadinya mengarah penuh ke tempat terjadinya ledakan, kini sebagian berpindah untuk menguber kedua orang tadi. Baik si pemilik konter yang sedang melayani pelanggan, tukang becak yang sedang nyantai, bapak-bapak yang lagi benerin sarung, ibu-ibu yang lagi njemur—malahan pakaiannya ikut dibawa lari, sampai orang yang baru ketahuan nyolong motor juga ikut dalam rombongan itu sambil berseru, "Maling!"

Semua orang ikut mengejar maling, tanpa mau tahu apakah orang yang dikejar itu benar maling atau tidak. Bagai berebut harta yang tak ternilai harganya, persis seperti kericuhan saat pembagian BLT. Berusaha menguasai semuanya seorang diri.

"Yang mengejar makin banyak. Harusnya tadi bayar saja," Kavi menggerutu sambil berusaha menyamakan irama lari dengan ayahnya yang seakan sengaja mengambil jalur ke tempat di mana banyak warga berkumpul.

"Hahaha...." tawanya meledak lalu berkata, "lebih baik dikejar warga daripada pemburu,"

"Bagaimana cara mengatasi mereka?" tanya Kavi.

"Ikuti aku." jawab Afkari yang mulai menjejakkan kaki di tembok. Kemudian merayap bak cicak. Selanjutnya melakukan gerakan parkour yang telah ia dan anaknya pelajari lebih dari tiga tahun ke belakang.

Tak mau kalah akan kelincahan pria yang telah berkepala empat, Kavi melakukan hal serupa. Bahkan lebih baik.

Afkari yang baru pertama kali melihat gerakan anaknya sebagus itu bergumam dalam hati, "Sejak kapan gerakannya jadi sebagus itu?"

Aksi keduanya yang bagai kucing. Melompat dari satu bangunan ke bangunan yang lainnya, menyulitkan warga yang mengejar mereka. Kebanyakan memilih berhenti, meski mulut tak berhenti melontarkan umpatan. Beberapa terus berusaha mengejar, meski terpogoh-pogoh. Dan sebagian sisanya mengikuti aksi Afkari dan anaknya dengan sempurna.

"Mereka tepat di belakang," tutur Afkari sedikit berteriak. "Percepat langkahmu!"

Kavi melaksanakan sesuai perintah. Namun di sela-sela ia berlari, anak itu mengecek ponselnya.

"Apa kau sinting?! Simpan hp-mu!" Afkari menyentak sambil terus melakukan gerak pindah tempat dengan cekatan.

"Mereka bakal menjemput kita di Gedung Pertemuan Ki Hajar Dewantoro," kata Kavi yang cepat-cepat menyimpan ponselnya lalu memperbaiki tali yang mengikat stone of truth.

"Siapa?"

"Abdi Dalem,"

"Dasar bocah kurang ajar. Sudah kubilang jangan menyadap hp-ku!" Afkari menggerutu.

"Aku akan memimpin jalan." ucap Kavi mengacuhkan ucapan ayahnya. Kemudian mengarahkan jalur mereka ke Kedung Jabang Bayi.

"Kau yakin, bakal lompat?" tanya Afkari setibanya di tepi jurang dengan ketinggian puluhan meter itu.

Kavi mengatur napas. Ia melempar pandang ke arah belakang. Dilihatnya tiga orang pria yang sebelumnya mengamati mereka dari kejauhan. Sayangnya mereka berdua tidak dapat mengenali, sebab para pemburu menutupi wajah mereka dengan hoodie.

"Mari lakukan pertaruhan,"

Seakan memahami kalimat anaknya. Afkari menyeringai lebar lalu berkata, "Tentu saja aku membawanya!"

Pria empat puluh tahunan itu mengambil dua buah benda bulat dari sakunya, kemudian melemparnya kuat. Seketika asap tebal menyembul keluar, menutup pandangan para pemburu.

Cepat-cepat ketiganya melompat mendekat dan menghilangkan asap itu memakai jubah yang mereka pakai. Para pemburu mendapati kalau kedua orang tadi baru saja melompat masuk ke dalam air dari gerakan yang ada di sana.

Ketika salah seorang diantara mereka hendak terjun, rekannya mencegah dan melempar beberapa peledak. Air menyembul tinggi, ikan-ikan mati mulai muncul ke permukaan. Di sekeliling tempat itu, rerumputan dan beberapa tanaman ikut terkena imbasnya.

"Madha tafa'ali! Yumkin an yaqtulahum!—Apa yang kau lakukan! Itu bisa membunuh mereka!" sentak pria yang tadi hendak terjun.

"Laqad asbahuu tahdida. La yumkin alsamah bihadha ba'da alan,—Mereka sudah jadi ancaman. Hal semacam ini tidak dapat dibiarkan lagi," jawab pria yang melempar peledak.

"Qufi! 'Alayna an na'ud alan,—Berhenti! Kita harus kembali sekarang," sahut rekan satunya. Mengentikan perseteruan kedua pria itu sambil menunjukkan sebuah pesan di ponselnya.

Si pria pertama mengembus kesal, sementara si pelempar peledak masih bergeming di tempatnya.

"Altawaquf 'an alqiyam biashya muhmalat mitsala hadha. Laysa kulu syaia yumkin haluh bialmal.—Berhentilah melakukan hal ceroboh seperti ini. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang." tutur pria yang mengajak mereka kembali.

Namun si pria pelempar peledak tidak menanggapi. Ia terus saja mematung dengan tatapan fokus menyisir apa yang ada di bawah sana. Mencari kedua orang yang mereka buru sejak lama, tapi tak ia temukan tanda-tanda adanya mereka bahkan setelah kedua rekannya itu pergi. Benak pria itu berkata, "Aku pasti akan menghentikan kalian, sebelum kalian mendapatkan stone of Eden."