1 Sosoknya

Kulangkahkan kaki memasuki area sekolah. Masih sunyi, belum banyak siswa-siswi yang datang. Mengembuskan napas, aku memilih duduk di sebuah kursi taman, lalu mengeluarkan sebuah Al-quran kecil dari dalam tas.

Semilir angin menyeruak, menerpa tubuhku hingga khimarku sedikit terangkat. Aku menghela napas panjang, merasakan sejuknya udara pagi yang menyegarkan wajah. Baru beberapa menit aku duduk, seseorang berdiri di depanku.

"Boleh saya duduk?" Suara itu bertanya sopan, membuatku menengadah.

Mengerjabkan mata perlahan, aku masih tak percaya siapa yang bicara padaku. "Ah, boleh, Pak. Silakan." Ku geser sedikit tubuhku kesudut kursi, menyisakan ruang di tengah-tengah saat Pak Mursal mendudukkan tubuhnya di sana. Beliau meletakkan tas hitam yang selalu di bawanya, seakan menjadi pembatas.

Lenggang, tidak ada percakapan antara aku dan Pak Mursal. Dia hanya duduk diam, menatap sejurus. Sedangkan aku memfokuskan diri pada bacaan Mushaf di tanganku. Jujur saja, walaupun Pak Mursal adalah seorang guru bahasa Arab yang pendiam, dia juga seseorang yang perhatian. Terbukti dari beberapa kali Pak Mursal membelaku saat seorang teman sekelasku mengejek dan menghinaku. Sifatnya yang tegas membuat siapapun yang di tatapnya langsung ciut.

"Kenapa kamu hanya diam saja, saat teman-teman mengejekmu, Aini?"

Satu pertanyaannya lolos, sejak lima belas menit meminta bergabung. Aku mengangkat kepalaku dari Mushaf, lalu menoleh kearahnya yang masih menatap lurus.

"Saya tidak pernah bisa membalas siapapun yang mengejek saya, Pak. Saya biasa mengabaikannya," jawabku pelan, dengan nada sesopan mungkin.

Senyuman terbit di wajahnya, sebelum akhirnya menghela napas. "Kenapa? Bukankah kamu berhak melawannya jika sudah menyangkut hinaan atas dirimu?"

Aku terdiam sejenak, lalu menutup Al-Quran itu dan menciumnya. "Saya tahu, Pak. Tapi saya tidak mau melakukannya. Karena saya ingat tentang hadist Nabi Muhammad SAW tentang hal ini."

Kali ini beliau menoleh kearahku, sejak daritadi menatap lurus kearah gedung sekolah tiga tingkat di hadapan kami. Sekolah ini lengkap, ada TK, SD, SMP dan juga SMA. Saat ini aku masih mengenyam pendidikan di kelas dua SMA. Dan Pak Mursal adalah guru SMA sekaligus kepala sekolah SD di sekolah ini.

"Oh ya? Hadist yang mana?"

Aku tersenyum. "Saya mungkin tidak tahu siapa periwayatnya, Pak. Cuma hadist itu mengatakan 'Lawanlah siapa yang mengejekmu seperti apa yang dia ejekkan padamu. Jika dia memukulmu, maka pukullah dia. Jika dia menghinamu, maka hinalah dia. Tetapi jika kamu tidak bisa melakukannya, maka bersabar lebih baik'. Mungkin saya agak salah dalam penyampaiannya, cuma seperti itulah kurang lebihnya."

Pak Mursal tersenyum lagi, tapi langsung mengalihkan pandangannya dariku. "Itu benar, bersabar adalah yang paling baik. Saya salut karena kamu bisa bersabar selama dua tahun ini. Memang dari awal saya bisa melihat kamu amat berbeda dari yang lain. Kamu lebih rajin dalam menjalankan program sholat yang di atur jadwalnya oleh pihak sekolah, setiap setoran hapalan kamu lebih banyak dari yang lain, lebih semangat dalam belajar dan mengerjakan tugas yang di berikan."

Pak Mursal menoleh lagi kearahku, tatapannya meneduhkan pandangan, seperti saat aku melihat wajah-wajah Syekh atau Ulama di televisi.

"Dan satu lagi, kamu tidak suka membahas cinta ataupun pacaran seperti temanmu yang lain. Demi Allah, saya mengatakan hal ini bukan berniat untuk menimbulkan penyakit A'in dalam dirimu. Saya hanya mengatakan apa yang sebenarnya saya lihat. Ini bukan pujian, karena semua yang baik dan sempurna hanyalah milik Allah semata."

Aku tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Terima kasih atas ucapannya, Pak. Dari sini saya bisa menyempurnakan apa yang kurang dari diri saya. InsyaAllah saya juga tidak akan besar kepala demi mendengar ucapan Bapak. Hanya saja, saya akan lebih mengoreksi diri saya sendiri agar bisa menjadi lebih baik. Bapak benar, hanya Allah maha sempurna dan maha baik."

Pak Mursal tersenyum kecil, lalu menatap lagi kearah depan. "Suatu saat, saya ingin menjadi orang pertama dan terakhir di dalam hidup kamu."

Aku tersentak mendengar ucapannya, apa katanya?

Tapi belum sempat aku menjawab, bel sekolah sudah berbunyi. Pak Mursal bangkit lebih dulu, merapikan tas dan baju koko cokelat yang dipakainya.

"Saya pamit duluan ya, Aini. Jangan lupa beritahu teman-temanmu untuk mengerjakan PR yang saya berikan semalam."

Aku ikut bangkit, lalu menunduk sopan. "Baik, Pak. Saya akan mengatakannya pada mereka."

"Ya sudah, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawabku.

Pak Mursal berlalu, membuatku kembali duduk. Aku memang datang lebih cepat hari ini, padahal kemarin sudah di beritahu bahwa jadwal pembelajaran hari ini dimajukan hingga jam sembilan. Ku lirik Arloji untuk melihat jam, masih setengah delapan. Masih ada satu jam setengah lagi untuk masuk.

Kembali kubuka Al-quran, melanjutkan hapalan yang sempat tertunda.

***

"Assalamu'alaikum," ucap suara yang sudah kami kenal, sedikit datar.

Aku dan kedua belas teman-temanku langsung menatap pintu. Di sana, sesosok guru yang ditakuti oleh semua siswa sudah berdiri tegak. Matanya menelisik seluruh ruangan, memastikan bahwa tidak ada yang bolos sebelum jam pulang.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."

Serempak, kami menjawab salamnya. Membuatnya memasang senyum tipis lalu melangkah lebih dalam. Setelah meletakkan tas hitam yang di bawanya, beliau kembali memastikan wajah-wajah murid di dalam kelasku. Sedikit aneh terdengar karena murid di kelas sebelas Aliyah hanya tiga belas orang. Tapi, ini adalah desa yang lumayan terpencil. Sekolah yang baru berdiri sekitar sekitar enam tahun ini, jelas masih sedikit yang tahu dan berniat untuk mendaftarkan anaknya di sini. Entah karena apa, padahal perkampungannya lumayan ramai. Hanya saja, mereka lebih memilih untuk keluar dari desa dan sekolah jauh-jauh di sana.

"Keluarkan pekerjaan rumah yang saya berikan semalam. Letakkan di sini!" Tangannya menepuk sudut kanan meja, menunduk untuk meraih sesuatu dari dalam tasnya.

Aku tersenyum cerah, mengambil buku PR bahasa Arab yang sudah selesai ku kerjakan. Sebelum mengantarnya ke depan kelas, aku menatap para temanku yang sedang krasa-krusu, berbisik-bisik lalu panik. Tak ada satupun yang bangkit dari kursinya. Apakah mereka belum mengerjakan PR itu? Astaghfirullah, bukankah aku sudah mengingatkan mereka tadi?

"Satu!" Suara hitungan di mulai oleh Pak Mursal, wajahnya menatap lurus ke layar laptop.

Aku masih diam, walaupun buku sudah terbuka di tanganku. Kulihat teman-temanku mulai panik, mereka bahkan ada yang memeriksa laci. Entah apa yang di cari, tapi yang pasti aku tahu bahwa PR mereka belum siap.

"Dua!" Suara itu semakin tegas, wajahnya mulai terlihat keras.

Aku menghela napas, tak ada satupun dari mereka yang bangkit, membuatku tak perlu lagi menunggu. Berdiri sambil mendorong kursi, semua mata memandang kearahku dengan tatapan mata yang sedikit kagum juga memohon pertolongan. Apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya murid biasa dan juga teman yang serba salah bagi mereka.

Kuletakkan buku itu di meja guru, balas tersenyum saat Pak Mursal tersenyum bangga melihatku. Baru saja aku akan berbalik, suaranya terdengar tegas.

"Yang lain mana?"

Aku tersentak sedikit kaget, lalu memutuskan bergegas untuk kembali ke tempat duduk. Barisan mejanya yang sejurus dengan mejaku, membuat aku dapat melihat wajahnya yang mulai memerah karena amarah. Kuakui dia tampan, tapi aku juga takut pada auranya yang sedikit dingin dan tertutup. Melihatnya tersenyum saja amat jarang bagiku, hanya beberapa kali itupun hanya sebentar. Dan tadi pagi dia yang meminta bergabung satu tempat duduk, itu adalah kebanggan sekaligus keanehan yang pernah kualami.

"Jawab! Mana punya kalian?" sentaknya membuat jantungku pun hampir ikut terlepas.

"Be-belum siap, Pak." Salah seorang murid wanita mewakili, sedangkan yang lain menunduk dalam.

"Keluar!"

Dan bisa kubayangkan apa selanjutnya yang akan terjadi. Kedua belas teman sekelasku di hukum, wajib memenuhi masing-masing satu keranjang dengan sampah. Lesu, tapi tak bisa membantah mereka keluar. Membuatku menghela napas pelan. Tidak ada yang mendengarkanku saat menyampaikan pesan tadi, mereka semua masih menganggap enteng semua hal.

Karena iseng seorang diri, buku belum di periksa, tugas lain belum di berikan. Aku memilih untuk kembali membuka Al-quran, melanjutkan bacaan. Hening, bahkan jika cicak jatuh dari dinding mungkin bisa terdengar suaranya. Pak Mursal yang masih menahan emosi dan kekesalannya, tak berani ku lihat, wajahnya lumayan menakutkan jika marah.

"Aini," panggilnya membuatku mendongak.

"Ya, Pak?"

Dia tersenyum tipis, lalu menatap lurus padaku. "Ada yang salah di sini, boleh saya catat poin pentingnya di halaman belakang buku kamu?"

Aku mengangguk tanpa ragu, kapan lagi dapat bonus seperti ini dari guru?

"Silakan, Pak." Dia diam, lalu menatap fokus ke atas buku milikku.

"Berapa usiamu?"

Aku yang sudah kembali melanjutkan hapalan mendongak. Pak Mursal bertanya sambil menulis sesuatu di atas bukuku.

"Tujuh belas tahun, Pak." Walaupun aneh akan pertanyaannya, aku tetap menjawab sopan.

Pak Mursal menghela napas, beliau kini menatap lurus kearahku yang langsung mengalihkan pandangan ke halaman Mushaf. Sedikit gentar saat membalas tatapannya yang teduh namun wajahnya datar.

"Saya ingin mengatakan sesuatu padamu, Aini."

"Apa itu, Pak?" Saat ku lirik sekilas, beliau tengah membenahi peci hitam di kepalanya.

"Saya akan berhenti mengajar, jadi saya ingin menitipkan pesan untuk kamu," ucapnya pelan.

Aku mendongak lagi. "Pesan apa itu, Pak?"

Bersambung!

avataravatar
Next chapter