Azizah terdiam, menatapku sejurus sebelum akhirnya menghela napas. "Kalau suka dalam artian yang sebenarnya sih, belum. Tapi, aku mengaguminya, Ain."
Kulepaskan hijab dan berganti pakaian, menatapnya yang sudah membaringkan tubuh di atas ranjangku.
"Itulah sebabnya, aku tidak langsung ingin menerima permintaannya untuk ta'aruf. Aku ingin kami saling mengenal atau lebih tepatnya berteman dulu. Aku tidak mau Ustadz Ahmad menyesal karena buru-buru ingin membuat komitmen serius denganku. Di samping aku hanya wanita biasa yang tinggal sebatang kara, kuliahku juga masih setahun lagi menuju wisuda. Aku tidak mau mempersulit ataupun membebaninya jika menjadi istrinya nanti," ungkapnya dengan wajah sedikit murung.
Aku terdiam, ucapan Azizah memang ada benarnya. Kami hanya tinggal berdua di dunia ini, orang tuaku entah ada di mana. Seperti lepas tangan dan tak mau lagi bertanggung jawab padaku. Sedangkan orang tua Azizah meninggal enam tahun lalu. Kami bertemu saat bersama-sama sedang luntang-lantung. Melangkahkan kaki sesusai kehendak hati, hingga akhirnya di pertemukan di kota ini.
Rumahku saja aku tidak ingat ada di mana. Aku sudah lupa nama desa dan jalannya. Jika aku mengingatnya, kepalaku akan terasa sakit. Sepertinya bukan hanya TTH kronis yang kuderita, tapi semacam amnesia pun bersarang di dalam diriku seusai perceraian itu. Tak bisa di pungkiri, aku bahkan sulit mengingat wajah kedua orang tuaku. Terlalu lama bagiku berpisah, hingga bayangan mereka kabur dalam ingatan.
"Apapun itu, asalkan menjauhi diri kamu dari Zina, maka lakukan saja, Az. Jangan terlalu dekat, bertemanlah secara islam. Bagaimanapun Ustadz Ahmad adalah lelaki yang bukan mahrammu." Aku berkata, lalu bergabung dengannya.
"Iya, aku akan menjaga batasanku, Ain. Tidurlah, kamu pasti lelah. Aku sudah tidur sebentar tadi, mau shalat tahajud dulu." Azizah bangkit, meninggalkanku yang sudah mengambil posisi.
Memejamkan mata, aku memutuskan untuk beranjak tidur. Aku akan bangun untuk shalat tahajud nanti, menjelang shalat subuh. Sesaat, aku tak mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Tubuhku lelah delapan jam bekerja di pabrik, hanya satu jam jadwal istirahat yang kami dapat. Selebihnya, terus menerus menghadap meja dengan ribuan potongan cemilan yang meluncur dari mesin pemanggang.
***
"Kamu sedang apa?" Aku bertanya saat melihat Azizah yang sudah sibuk. Berjalan ke sana kemari, mengerjakan ini dan itu.
Azizah menoleh, lalu tersenyum lebar. "Sudah shalat dhuha?"
Aku mengangguk, lalu menutup mulutku menahan kantuk. "Jam berapa pengajiannya? Boleh aku ikut?" Kuambil baju-baju yang akan di jemur, membawanya ke halaman belakang.
Azizah pasti sudah mencuci, jadi giliranku untuk bagian menjemur. Tak lama, Azizah sudah ikut berdiri di belakangku, turut membantu.
Beberapa suara terdengar dari dalam kamar kost yang ada di sisi kanan dan kiri kami. Para penghuninya yang rata-rata wanita anak pabrik dan mahasiswa universitas sudah memulai aktivitas. Sibuk memasak, mencuci dan berkemas, sebelum akhirnya nanti berlari-lari di jalanan untuk mengejar jadwal.
"Jam sepuluh, di Masjid Raya. Kamu harus ikut dong, kenapa mesti bertanya lagi? Bukankah selama ini kita selalu pergi bersama?" Diambilnya satu potong baju gamis, lalu membantuku menjemurnya di atas jemuran kawat.
"Ya, mana tahu. Ini 'kan kajian istimewa dengan calon mertua yang turut hadir. Aku bertanya karena takut mengganggu," ujarku menggoda, sambil mengedipkan mata kearahnya.
Wajah Azizah memerah, lalu menyikut lenganku pelan. "Apa sih! Kamu ini, mengada-ada. 'Kan aku dan Ustadz Ahmad belum ada hubungan apa-apa."
Aku menatapnya jahil. "Belum itu bukan berarti tidak akan, bukan? Belum itu artinya masih menuju proses!"
"Ain!"
Aku tertawa dan bergerak sedikit menjauh, apalagi saat Azizah sudah ingin melibaskan baju yang di pegangnya ke tubuhku. "Eh, ampun, Az! Aku 'kan hanya mengatakan hal yang benar saja. Kenapa kamu marah?" Masih tertawa aku bertanya, membuat Azizah mengerucutkan bibir.
"Lihat saja, siapa nanti yang akan duluan menikah. Kamu atau aku?" ujarnya merajuk, kembali menjemur baju.
"Ya kamu lah! 'Kan calonmu sudah pasti. Kalau aku, masih tersimpan namanya di Lauh Mahfuz!" Kembali mendekat, aku menghiraukan delikan mata Azizah.
"Oke, siapa yang akan tahu kalau misalnya jodohmu datang hari ini. Tidak apa, Ain. Ejekanmu itu akan menjadi doa bagiku, mudah-mudahan aku dan Ustadz Ahmad benar-benar bisa menjadi pasangan halal," imbuhnya membulatkan pipi.
Aku tertawa lagi, suasana pagi ini sama seperti yang kami lalui selama lima tahun terakhir. Tertawa bersama, menangis bersama, bercanda dan saling menghibur. Tidak pernah kami saling menyakiti, kalaupun bertengkar, salah satu diantara kami akan menjadi penengah, lalu menasihati dan kembali akur.
"Biar aku yang melanjutkan ini, Az. Kamu bisa memasak, ini sudah setengah delapan." Aku berkata tanpa melihatnya, fokus menjemur pakaian kami.
"Ain," ucapnya sesaat kemudian.
Aku hanya berdehem kecil tanpa menoleh, sebelum akhirnya terdengar lagi suaranya. "Perasaanku kenapa tidak enak, ya? Aku takut."
Gerakan tanganku terhenti, menatapnya yang masih berdiri di sebelahku. "Apa yang kamu takutkan?"
Azizah tak langsung menjawab, telunjuknya dia ketukkan di dagu. "Aku hanya takut, Ain. Walaupun Ustadz Ahmad masih muda, tapi dia sudah cukup terkenal sebagai penceramah. Rasa-rasanya, terlalu bermimpi tidak sih, kalau aku berharap bisa menjadi istrinya?"
Aku terdiam, membenarkan ucapannya. "Kamu ragu?" Azizah mengangguk, lalu menatapku dengan wajah sendu. "Apa yang dia pandang dariku? Kamu tahu sendiri, aku hanya anak gadis sebatang kara. Aku hanya pekerja pabrik, tidak punya kelebihan, tidak punya kemampuan hebat, apalagi harta dan kedudukan. Ilmuku, hanya seujung kuku jika di bandingkan dengannya. Aku-"
"Az, jangan berkecil hati," potongku membuat ucapannya terhenti seketika. "Terkadang, berjodoh itu bukan berarti untuk saling menganggarkan kesempurnaan. Jodoh itu untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Kamu salah jika menganggap dirimu tak pantas dengan Ustadz Ahmad. Benar, dia Ustadz terkenal, sholeh, berilmu dan juga orang yang berada. Tapi, apalah artinya itu tanpa adanya kamu, seorang wanita yang di pilihnya sebagai pelengkap iman? Bukankah Ustadz Ahmad sendiri yang mengatakan bahwa dia ingin membuat hubungan serius denganmu?" Aku bertanya, menyelesaikan baju terakhir.
"Iya," ujarnya sambil menghirup udara pagi. "Bahkan, sewaktu aku mengantarnya kemarin. Ustadz Ahmad masih kembali bertanya, apakah aku mau memulai ta'aruf yang dia tawarkan seminggu terakhir?"
Memasuki rumah, aku menyimpan ember di dekat pintu kamar mandi. "Kamu jawabnya apa?" Kuikuti dia kemeja dapur, menatapnya dari belakang yang sudah mulai mengambil bahan-bahan.
"Aku tidak menjawab, Ain. Bagaimanapun, aku malu mengatakan iya atau tidak. Kamu tahu, Ustadz Ahmad juga banyak berjasa dalam kehidupan kita enam bulan terakhir. Bagaimana aku bisa menolak permintaan seorang pria sebaik dirinya?" Azizah menghela napas, membuatku tersenyum dan menepuk bahunya pelan.
"Aku juga sempat menawarkan satu hal," ungkapnya lagi, membuatku mengerutkan kening. "Aku pernah meminta syarat, jika nanti aku menyanggupi permintaannya dan menjalankan proses ta'aruf. Aku meminta padanya setelah menikahiku beberapa bulan, aku juga ingin dia segera menikahimu."
Mataku membulat sempurna. "A-apa?
Bersambung!