Mursal meraba kepalanya. "Ah, iyaa. Mana?"
Aini tersenyum dan melangkah ke dekat ranjang. Di sana lebih tepatnya di atas nakas, Mursal meletakkan pecinya setelah shalat dhuha tadi.
"Pabrik sudah buka, Pak?" tanyanya sambil memakaikan peci itu.
"Emm, sudah dari empat hari lalu. Kenapa?"
Gadis itu menggeleng. "Jadi sekarang Pak Mukhtar dan Papa bekerja?"
"Iya, dan kenapa kamu panggil Pak? Panggil saja dia Mas, karena dia adalah kakak iparmu," ucap Mursal sambil menyeka debu di dadanya.
"Emm, tidak ah ... Sudah biasa saya memanggilnya Pak. Terlalu aneh kalau berubah panggilan," ucapnya membuat Mursal menggeleng pelan.
"Tidak akan ada masalah apa-apa, 'kan kita sudah sah, Sayang?"
"Saya tahu." Aini mengangguk cepat. "Saya akan usahakan, Pak. Namun untuk mengubahnya secara langsung saya tidak bisa. Saat ini saya sedang berusaha memanggilnya Papa dan Mama dengan benar, saya takut salah panggil."
Mursal terkekeh pada akhirnya, lalu mengantongi dompet dan mengambil kunci mobil.
Support your favorite authors and translators in webnovel.com