webnovel

Chapter 4: Persiapan

"Tidak," kata kakakku dengan tegas.

"Ehh?! Tapi kakek sudah mengizinkanku!"

"Tidak akan ku ulangi jawabannya tetap sama."

Aku harus meyakinkan dia segera, karena persiapan perjalanan ini membutuhkan waktu.

"Kak, ini adalah mimpiku sejak kecil. Kumohon," pintaku.

Kakakku terdiam sejenak. "...Kau masih kecil dan ibu kota bukan tempat yang aman."

Lupakan meyakinkannya untuk sekarang, aku harus bersiap-siap.

Pertama, aku harus meminjam kuda dari keluarga Barrow. Mereka sempat meragukanku, tapi nenek Bilo datang untuk meyakinkan mereka. Paman Barrow akhirnya setuju dengan satu syarat: mengumpulkan 20 kg kayu bakar. Itu mudah, dan keesokan harinya aku membawa kayu itu. Paman Barrow terkejut tapi tetap menepati janjinya.

Selanjutnya, aku menyiapkan perlengkapan: senjata untuk perlindungan, makanan, minuman, dan sedikit uang. Aku melakukan semuanya secara diam-diam agar kakak tidak mengetahuinya. Kakek meminjamkanku pedangnya, pedang yang dia gunakan semasa muda. Dua hari berlalu, dan tiba waktunya untuk berbicara lagi dengan kakak.

Ketika aku berjalan menuju kamar kakak, aku melihat gadis Atlantis berdiri di lorong, memandangku dengan mata birunya yang penuh misteri. Dia tidak berkata apa-apa, hanya mengawasi dengan tatapan sulit diartikan. Aku melangkah ke kamar kakak dan mengetuk pintu.

"Masuk," suara kakakku terdengar dari dalam. Aku membuka pintu dan melihatnya duduk di tepi tempat tidur.

"Kak, aku sudah siap. Aku akan pergi ke ibu kota," kataku tegas.

Kakakku menatapku lama sebelum menghela napas. "Liam, aku tahu ini penting bagimu, tetapi aku masih khawatir. Ibu kota bukan tempat yang aman, dan kau masih terlalu muda."

"Aku mengerti, Kak. Tapi ini adalah sesuatu yang harus aku lakukan. Aku perlu mencari tahu kebenaran tentang kekuatan Light dan apa yang terjadi di ibu kota. Kakek sudah memberiku izin, dan aku sudah mempersiapkan segalanya. Aku tidak akan berhenti di sini," jawabku, berusaha meyakinkannya.

Kakakku mengangguk perlahan. "Baiklah, kalau begitu. Jika ini benar-benar yang kau inginkan, aku tidak akan menghalangimu lagi. Tapi berjanjilah padaku, kau akan berhati-hati dan kembali dengan selamat."

"Aku berjanji, Kak," kataku mantap.

Pagi harinya, aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku dengan orang-orang di desa. Ini kesempatan terakhirku untuk mengucapkan selamat tinggal dan menerima doa serta harapan baik dari mereka yang sudah aku anggap seperti keluarga sendiri.

Aku memulai hari dengan membantu paman Barrow di ladang.

"Liam, perjalananmu akan panjang dan berbahaya. Tetaplah waspada dan jangan ragu untuk kembali jika keadaan menjadi terlalu sulit," kata Paman Barrow sambil menepuk bahuku.

Setelah membantu di ladang, aku pergi ke rumah nenek Bilo untuk memberi salam perpisahan.

"Nenek, terima kasih atas semua bantuannya. Doakan aku agar selamat di perjalanan dan berhasil mencapai tujuanku," kataku.

Nenek Bilo tersenyum lembut dan memberiku seikat ramuan herbal. "Ini untuk melindungimu dari penyakit dan memberi kekuatan selama perjalananmu. Semoga dewa-dewi menjaga langkahmu, Liam."

Aku mengunjungi beberapa teman sebayaku di desa. Kami bermain dan bercanda seperti biasanya, tetapi ada perasaan yang berbeda karena ini mungkin terakhir kalinya kami bersama-sama sebelum aku pergi.

Saat sore menjelang, aku kembali ke rumah untuk makan malam bersama keluarga. Kami duduk di sekitar meja, menikmati hidangan sederhana namun hangat. Gadis Atlantis itu, yang kini kita kenal sebagai Elara, terus memandangku sepanjang makan. Tiba-tiba, Kakak berkata, "Oh hampir lupa! Elara, kau belum memperkenalkan namamu kepada Kakek dan Liam," ujarnya sambil menepuk punggung Elara.

Elara terkejut dan pipinya memerah, batuk sedikit karena tersedak. Kakek tertawa. "Hahaha, Elara ya? Itu nama yang indah. Terima kasih telah memberitahukan namamu."

"Y..Ya.." jawab Elara dengan gugup, masih terlihat canggung.

Setelah makan malam, aku merasa terlalu bersemangat untuk tidur karena kepergianku esok hari. Aku pergi ke tempat latihanku yang berada di belakang rumah. Di sana, aku melihat Elara berdiri, memandangi bintang-bintang.

"Kau… Liam, bukan? Kau memiliki kakak yang hebat, ya…" kata Elara sambil mengisyaratkan aku untuk duduk di sampingnya.

"Apakah kau menyukai bintang?" tanyanya.

"Tentu, mereka sangat indah. Kau tahu, ada mitos bahwa bentuk bintang melambangkan perasaan seseorang," kataku. "Jika berbentuk hewan, mereka kesepian. Jika berbentuk angka, mereka kebingungan. Jika bintangnya berbentuk acak, mereka berbahagia."

"Darimana kau tahu itu semua?" tanya Elara penasaran.

"Dulu aku sering berbaring di sini bersama Kakak dan Kakek, memandangi langit seperti ini. Suatu saat, Kakak memberitahuku tentang mitos itu."

Elara tersenyum. "Lalu bintang apa yang kau lihat pada malam itu?"

"Bintang yang tidak berbentuk dan berhamburan," jawabku.

Elara kemudian menatapku dengan mata birunya yang dalam. "Liam, izinkan aku ikut menuju Ibu Kota."

Aku terkejut. Sebelum aku bisa berkata apa-apa, Elara melanjutkan, "Aku tahu kau akan bertanya kenapa aku ingin ke sana, namun maaf, aku masih belum bisa percaya kepadamu untuk memberitahukan masalahku. Tenang saja, aku tidak akan membebanimu."

Aku bingung harus bagaimana. Jika membawa Elara ke Ibu Kota bisa menyelesaikan masalahnya, maka tentu saja dia harus ikut. "Kau pahamkan perjalanan ini berisiko?"

Elara mengangguk pelan. "…mau bagaimana lagi… Besok kita berangkat jam 5 pagi, jadi siapkanlah segala yang kau perlukan," kataku akhirnya.

Kami kemudian berdiri dan pulang ke rumah. Aku singgah sebentar, memandangi langit yang penuh dengan bintang.

Pada malam itu, bintang-bintang membentuk angsa.