webnovel

Sang Mitos

Tidak ada yang lebih menyebalkan bagi Anna selain bangun kesiangan saat ada janji wawancara dengan orang penting. Anna meraih tas tangannya dengan kilat. Meraih cardigan putihnya yang tergantung rapi di dalam lemari dan memakainya dengan kilat, tanpa menutup pintu lemarinya kembali. Ia mengambil salah satu sepatu putih berhak sedang yang berbaris di rak sepatunya. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar, Anna kembali mematut dirinya di depan cermin. Melepaskan rol yang membelit poninya. Merapikannya dengan jari tangan. Setelah dirasanya semua sudah sempurna, Anna tersenyum. Senang dengan penampilannya pagi ini yang terkesan profesional.

Ia meninggalkan cermin panjang yang terpasang di kamarnya dengan setengah berlari. Namun sedetik kemudian, sebelum ia benar-benar sampai di depan pintu kamarnya, Anna menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya dan mencari-cari sesuatu. Mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamarnya. Dan sekali lagi tersenyum saat matanya menatap benda kecil berbandul menara eifel yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Dengan setengah berlari Anna menghampiri tempat itu, meraih kunci mobilnya dan kembali melesat meninggalkan kamarnya.

"Ma, aku pergi dulu ya," pamit Anna pada ibunya yang tengah sibuk di dapur. Anna menghampiri perempuan itu dan mengecup pipinya dari belakang.

"Lho kamu gak sarapan dulu?"

"Aduh maaf deh ma, gak keburu. Aku harus ketemu orang penting hari ini. Ngatur jadwalnya susah, Ma. Bos aku bisa marah besar kalau aku sampai gagal wawancara kali ini. Ya udah ya, Ma. Assalamualaikum." Anna berlari meninggalkan rumah setelah mencium tangan ibunya bolak-balik.

"Waalaikum salam. Hati-hati!" seru sang ibu yang masih tergapai telinga Anna.

Anna melangkah cepat menuruni anak-anak tangga yang mengarah ke gerbang rumahnya. Ia tak ingat sejak kapan menuruni anak tangga dengan sepatu hak yang tidak terlalu tinggi seperti ini menjadi sesuatu yang sangat menyulitkan bagi dirinya. Bahkan tak terhitung berapa kali Anna berdecak saat langkahnya terseok. Anna mengaktifkan kunci mobilnya saat sudah tiba di garasi. Dengan setengah berlari ia menghampiri mobilnya. Sejenak Anna memperhatikan dirinya kembali di balik spion di atas kepalanya. Membenarkan poninya dan menghapus keringat yang menetes di keningnya.

Ia berdecak karena keringat sudah melunturkan sedikit make upnya.

Entah ada apa dengan cuaca belakangan ini. Pagi hari yang masih terlalu dini saja matahari sudah sangat menyengat. Tapi ketika seharusnya mata hari berada di atas kepala, malah mendung seperti hendak hujan.

Ditariknya selembar tisu di dasbor mobilnya dan mengelap keningnya. Setelah itu, Anna memutar setop kontak mobil. Memasang sabuk pengaman dan melajukan mobilnya di jalanan. Dalam hati Anna terus berdoa agar ia tak terjebak macet hari ini.

***

Anna terlambat 10 menit. Sambil terus berlari Anna tak henti berdoa agar narasumbernya kali ini mau bersabar menunggu kedatangannya. Jika tidak, mungkin hari ini adalah hari terakhir Anna menginjakkan kaki di kantornya.

"Selamat pagi. Saya sudah ada janji dengan …"

"Ibu Anna?"

Kalimat Anna terpotong saat seorang perempuan cantik yang beridiri di balik meja receptionist menyebut namanya dengan tenang. Anna mengangguk penuh semangat.

"Pak Arsjad sedang keluar sebentar, beliau sudah berpesan kalau Ibu Anna datang diminta tunggu di ruangannya. Mari saya antar, Bu."

Anna mengembuskan napas lega. Saat ini, rasanya ia ingin berlari mencari masjid atau mushola untuk berterima kasih pada Tuhan. Anna melayangkan seulas senyum dan mengangguk pada wanita di balik meja.

Diikutinya langkah-langkah anggun perempuan di depannya menuju sebuah ruangan yang ternyata tak jauh dari tempat mereka.

Perempuan di depannya berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup. Ia membukakan pintu itu dan mempersilakan Anna untuk masuk. Sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan itu, Anna berterima kasih pada resepsionis bertubuh jangkung, berambut panjang sepinggang yang diikatnya tinggi. Perempuan dengan senyuman menawan. Sangat cantik, puji Anna dalam hati. Anna suka, mungkin bukan hanya Anna tapi semua orang akan suka jika pergi ke suatu tempat yang baru dan disambut dengan ramah oleh penghuninya.

"Mungkin sepuluh menit lagi Pak Arsjad akan datang," ujar perempuan itu dengan anggun.

"Oh iya, gak apa-apa saya tunggu saja."

"Baik. Kalau begitu saya permisi dulu Ibu Anna."

"Iya silakan."

Pintu itu kembali tertutup dan Anna ditinggalkan di dalam sebuah ruangan berbentuk lorong dengan beberapa kursi besi berbaris rapi. Anna menatap ruangan itu dengan saksama. Sepertinya, ini hanya sebuah ruang tunggu. Hanya saja, ruangan ini terlalu nyaman untuk sekadar menjadi ruang tunggu.

Anna Memerhatikan bagaimana setiap ruangan di gedung ini tertata dengan begitu rapi. Koridor di pintu masuk, ruangan resepsionis, dan ruangan ini. Vas bunga tinggu yang menampung bunga matahari terpajang di sudut ruang. Sementara ketika ia masuk tadi, aroma kopi sudah memenuhi ruangan. Bukan karena ada yang membuat kopi, tapi memang pengharum ruangan ini menggunakan aroma kopi. Selain itu, dua buah AC yang tersemat di dinding ruangan menjadikannya lebih sejuk. Sementara di sudut ruang yang lain, sebuah pahatan patung terpajang di sana. Seluruh gedung didominasi dengan cat warna putih, menambah suasana nyaman di gedung ini.

Anna menghampiri salah satu jendela besar yang terbuka lebar di salah satu sudut ruangan. Menatap pemandangan kota di bawah sana. Anna tersenyum. Mungkin hari ini keberuntungan sedang berpihak padanya. Rasa-rasanya sedikit mustahil Jakarta Baru beberapa menit di dalam gedung ini, Anna sudah menyukai suasana dan seluruh desainnya.

"Selamat pagi."

Anna tersentak dan segera memutar tubuhnya. Mengalihkan pandangannya dari pemandangan di luar gedung pada seseorang di balik tubuhnya. Sial, ia bahkan tak mendengar suara pintu dibuka, tahu-tahu laki-laki itu sudah berada di dalam ruangan yang sama dengannya. Untuk beberapa saat, Anna terpaku. Ia tak pernah menyangka kalau Arsjad Bagaskara adalah laki-laki bertubuh tegap dan berwajah tampan khas timur tengah. Sangat tampan malah. Ia mempunyai mata yang dalam tapi ramah. Hidungnya sangat mancung hingga membuat ujungnya sedikit bengkok ke dalam. Bentuk wajahnya yang oval dan pecahan di dagunya menambah ketampanannya. Ia juga memiliki bibir yang tidak terlalu tipis, sangat proporsional. Dan demi Tuhan, Anna selalu terpikat pada laki-laki yang memiliki bulu-bulu tipis di sepanjang rahang dan dagunya. Di mata Anna, laki-laki ini persis seperti pahatan boneka ken yang begitu sempurna. Sepertinya Tuhan memang tidak main-main saat merancang fisik dan bentuk tubuhnya.

Keberhasilan laki-laki ini sudah membuatnya tanpa sadar menjadi viral di gedung tempat Anna bekerja. Tapi ternyata, ia tidak hanya sukses diusianya yang masih muda, tapi juga rupanya ia dikaruniai wajah yang akan membuat setiap gadis tidak sanggup untuk berpaling.

Namun, kesibukannya membuat siapa saja putus asa untuk dapat memwawancarainya. Dan Anna merasa seperti mendapatkan jackpot karena sudah berhasil mengatur waktu dengan laki-laki mitos ini. Dan itu artinya, Anna akan berhasil menyelesaikan hukumannya.

Sedikit kisah, sebenarnya mewawancarai seorang Arsjad Bagaskara adalah sebuah hukuman buat Anna dari presiden NinEleven karena sudah mengacaukan wawancara pentingnya dengan salah satu pengusaha muda berbakat dua hari lalu. Tapi sejujurnya, Anna tidak menyesal telah merusak wawancara itu. Seseorang dengan kesombongan di atas rata-rata menurut Anna berhak mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Lagi pula menurut Anna, ia masih dalam batas wajar dengan mengusir narasumbernya itu dari tempat pertemuan mereka. Laki-laki itu masih beruntung karena Anna tidak melakukan kekerasan fisik padanya, seperti melemparkan sepatu hak tingginya yang benar-benar tinggi, atau mencolok mata laki-laki itu dengan pulpen di tangannya. Tapi, apa laki-laki ini sama seperti yang kemarin? Anna menggigit bibirnya dan mengembuskan napasnya. Dengan memantapkan hati, Anna melangkah dengan seulas senyum, menghampiri laki-laki bertubuh tegap yang masih berdiri di ujung pintu.

"Selamat pagi, Pak Arsjad ...." Anna membalas sapaan Arsjad dengan berusaha tenang. Meski pun laki-laki di depannya ini memotong kalimatnya dengan mengangkat tangan.

Arsjad menyodorkan tangannya ke depan Anna.

"Arsjad Bagaskara. Panggil Arsjad atau Bagas. Terserah. Tapi jangan pakai pak atau mas, ya. Karena saya rasa kita masih seumuran," tebak Arsjad. Anna tersenyum. Ia menyukai cara laki-laki ini menyambut tamu. Bahkan tamu yang tak dikenalnya sekali pun. Anna menjabat tangannya.

"Jeanna Anindita. Paggil Anna saja," jawab Anna.

"Nama yang bagus," puji Arsjad. "Oke Anna, Kita bicara di ruangan saya saja. Silakan ikut saya."

Arsjad berjalan mendahului Anna menyusuri lorong panjang tempat Anna menunggu kedatangannya. Dari belakang tubuhnya, Anna memperhatikan penampilan Arsjad yang sempurna. Kemeja biru langit yang dikenakannya hari ini terlihat begitu pantas di tubuhnya. Setara dengan warna kulitnya yang putih. Bahkan lebih putih dari Anna. Setidaknya Anna bersyukur karena ia sudah tampil tak kalah menawan dari narasumbernya hari ini.

Keduanya melangkah, menuju sebuah pintu di dalam ruang tempat Anna menunggu tadi yang mengarah ke sebuah ruangan lainnya. Ruang kerja Arsjad.