webnovel

7. Tentang Cinta?

"Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas tahun, puteri." Ucap Avery dengan membungkuk.

Ariadne tersenyum dan wajahnya sangat terlihat senang. "Terima kasih, pangeran Avery. Sebuah kehormatan kau datang ke pestaku."

"Tentu saja aku akan datang. Maaf telah membuatmu menunggu."

"Tidak apa-apa, apakah di perjalanan baik-baik saja? Mengapa terlambat?" Tanya Ariadne yang kini perasaannya sangat gelisah.

Avery terkekeh pelan. "Di perjalanan ada kendala kecil, puteri."

"Ah, apa itu?"

"Kudaku kehausan." Jawab Avery dengan terkekeh.

"Kupikir apa. Kau mengagetkanku saja." Ujar Ariadne.

"Ini kado dariku, puteri. Bukalah saat acara selesai nanti malam."

"Mengapa aku tidak boleh membukanya sekarang?" Tanya Ariadne.

"Lebih baik kau buka nanti saja."

"Baiklah pangeran, aku akan menuruti permintaanmu. Terima kasih sudah membawakanku hadiah."

"Sama-sama, puteri. Aku harap kau menyukainya nanti."

"Ah, kau membuatku semakin penasaran saja." Ujar Ariadne sambil menatap penuh harap pada kado yang ia terima. Kado dari Avery ukuran kotaknya lumayan besar. Entah apa isinya.

Dengan sigap Elie langsung meraih kotak kado dari Avery tersebut untuk disimpan di tempat lain.

"Berdansalah denganku.." ajak Avery dan lelaki itu mengulurkan tangan kanannya.

Ariadne terlihat sedikit ragu untuk meraih tangan Avery. Namun gadis itu akhirnya menyambut uluran tangan Avery dengan tangannya. "Baiklah." Ucap Ariadne.

Sementara kedua tangan Darian yang sedang membawa kue dan minuman itu pegangannya mengeras. Lelaki itu terlihat sangat tidak suka melihat Ariadne dekat dengan Avery.

Kerumunan pada tamu undangan dan warga istana langsung terbelah ketika Ariadne dan Avery berjalan ke tengah-tengah lantai yang luas. Musik dimainkan. Avery mulai bergerak lincah dengan memutar tubuh Ariadne kemudian mendekap pinggang gadis itu.

Mereka berdua berdansa dengan gerakan sangat bagus dan memukau. Ariadne sedikit gugup, namun ia bisa mengendalikan kegugupannya. Dari dekat, Avery memang sangat tampan.

Mata biru milik Avery membius mata Ariadne. Pandangan mereka berdua sangat dalam.

"Cukup. Aku ingin berdansa dengan tenang." Pinta Ariadne dengan sopan.

Avery mengangguk. Menghentikan gerakan dansanya yang membuat Ariadne kelelahan. Mereka berdansa dengan gerakan biasa. Kedua tangan Ariadne bertumpu pada leher Avery. Sementara kedua tangan Avery mendekap pinggang Ariadne.

Semua pasang mata yang melihat mereka berdansa langsung berdecak kagum. Seolah sedang melihat pasangan yang benar-benar terlihat sangat cocok. Avery tampan dan Ariadne cantik. Semua orang tahu hal itu.

"Bau wewangianmu sangat enak." Puji Avery dengan menghirup aroma kulit Ariadne di bagian leher.

Ariadne merasa bahwa mereka berdua terlihat sangat intim. Ia ingin sedikit memberikan jarak, namun ditahan oleh tangan Avery yang masih mendekap pinggangnya.

"Biarlah seperti ini. Biarkan semua orang tahu bahwa kita sedekat ini." Ucap Avery.

"Tapi, aku tidak terbiasa dengan jarak sedekat ini."

"Sssttt.. tetaplah berdansa denganku seperti ini, puteri." Pinta Avery.

"Kau tahu Avery? Aku berhasil memimpin kerajaan dengan baik sampai umurku sudah tujuh belas tahun."

"Uhum.." gumam Avery.

"Aku ingin menjadi seorang puteri yang lebih baik lagi."

"Mengapa harus tetap menjadi seorang puteri jika kau bisa menjadi seorang ratu?"

Ariadne langsung menatap Avery. "Apa? Ratu? Kalau aku menjadi ratu, aku harus mempunyai raja."

"Ada aku."

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin menikahimu. Mempersatukan kerajaan kita. Aku sebagai raja dan kau sebagai seorang ratu."

Ariadne tersenyum. "Masih banyak yang harus kuurus, pangeran. Aku tidak ingin menikah terlalu cepat."

"Dan aku akan menunggumu sampai siap."

"Apakah kau mencintaiku?"

"Iya, aku mencintaimu."

"Mengapa baru bicara sekarang? Kau tidak pernah menyatakan cintamu padaku."

Avery terkekeh. "Apakah menyatakan cinta harus dengan kalimat? Tidak cukupkah perjuanganku untuk datang ke sini dua kali seminggu sejak dulu?"

"Aku tidak yakin."

"Tidak yakin apa?"

Ariadne yang semula menunduk, kini berani menatap wajah Avery dengan mendongak. "Aku tidak yakin kau mencintaiku."

"Kenapa?"

"Karena kau tidak ada disaat aku berduka dan susah."

Jawaban Ariadne membuat gigi Avery gemertak. Hati Avery jadi sedikit terluka. Apakah cintanya ditolak begitu saja?

"Kau tidak pernah bilang, puteri. Aku tidak tahu disaat kau membutuhkanku." Ucap Avery.

"Seharusnya kau berusaha mencari tahu. Bukan menungguku memberitahu."

Avery terdiam. Kedua kakinya tetap memimpin dansa. Sedangkan kepala Ariadne kini bersandar di dada bidangnya dengan nyaman.

"Aku akan belajar lagi untuk mencintaimu dengan baik, puteri."

"Tidak perlu belajar. Cukup buktikan saja kalau kau benar-benar mencintaiku."

"Ya, aku akan melakukannya."

***

Pesta ulang tahun berakhir di jam dua belas malam. Semua warga dan tamu penting sudah undur diri. Aula istana mendadak menjadi sepi. Hanya para pelayan yang sibuk membereskan semua sisa makanan dan peralatan makan.

Avery dan Ariadne berada di kursi taman yang panjang. Tubuh Ariadne berbaring dengan tangan kanan Avery yang menahan punggungnya. Tubuh Avery berada di atas tubuh Ariadne. Mereka saling memandang dan membicarakan hal romantis.

Kondisi taman di jam sekarang sangat gelap. Tidak ada penerangan selain cahaya rembulan. Bibir Avery memagut bibir Ariadne dengan perlahan. Tidak ada perlawanan dari Ariadne. Ciuman pertama milik Ariadne berhasil diambil oleh Avery.

Tangan kanan Ariadne mengelus pipi Avery dengan lembut. Pagutan mereka sangat dalam dan memabukkan. Ditemani semilir angin malam yang membuat mereka semakin hangat.

"Jika Elie tahu, aku pasti akan dimarahi." Ucap Ariadne saat ciuman mereka berakhir. Bibir merah mudanya jadi sedikit bengkak. Disebabkan oleh sesapan dari bibir Avery.

"Tidak ada yang berhak memarahimu, puteri."

"Mengapa kau menciumku?" Tanya Ariadne.

"Karena aku mencintaimu."

"Apakah ciuman membuktikan cinta itu nyata?"

"Tidak sepenuhnya. Kecuali untuk para pasangan kekasih."

"Tapi kita bukan pasangan kekasih, Avery."

"Sebutlah aku sebagai kekasihmu, Ariadne. Apakah kau mau menjadi kekasihku?" Tanya Avery dengan menatap lembut wajah Ariadne.

"Haruskah aku mengatakan iya?"

"Tidak, namun itu jawaban yang aku harapkan dari bibirmu."

"Kalau begitu aku mau menjadi kekasihmu. Haruskah kita menikah dengan cepat?"

Avery terkekeh. "Tidak perlu terburu-buru jika itu membuatmu berpikir keras. Aku akan menunggumu sampai kau siap kunikahi."

"Baiklah. Datanglah lagi besok. Aku akan menantimu di jembatan air terjun." Ucap Ariadne.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Darian pasti ada disekelilingmu. Menurutku Darian sangat mengganggu. Tidak bisakah kamu mengganti Darian dengan pengawal baru?"

Ariadne mengecup bibir Avery dengan singkat. "Akan aman. Darian tidak akan ada di dekatku besok. Ia mengawasi tambang berlian satu hari penuh. Dan Elie juga sibuk menata para pelayan di dapur dan kebersihan istana. Jadi, maukah kamu datang ke jembatan itu?"

"Tentu saja jika itu maumu, puteri." Ucap Avery dengan tulus.

Dan ciuman mereka terjadi lagi. Mereka saling memagut bibir satu sama lain sampai kehabisan napas. Hingga suara Elie yang berteriak mencari keberadaan Ariadne langsung memisahkan jarak mereka berdua begitu saja. Seketika suasana malam yang dingin itu langsung terasa menusuk kulit Ariadne.

Avery melepaskan jasnya dan ia pakaikan ke punggung Ariadne. "Sampai jumpa besok, aku pamit." Ucapnya dan Avery pergi begitu saja.

Sedangkan Elie langsung bersedekap dada ketika menemukan Ariadne yang termenung di kursi taman. Rambut Ariadne cukup berantakan dan mahkotanya miring. "Tidak bisakah kamu tidak mencuri waktu berdua dengan pangeran Avery? Bagaimana kalau ada yang melihat kalian?" Tanya Elie dengan perasaan yang sedikit kesal.

***