"Kau harus segera menikah. Om sudah menjodohkan kamu dengan laki-laki kaya raya, dan mungkin tampan." Tegas Brama dengan tenangnya.
**
Mata Zelin membelalakkan, mulutnya mulai terbuka. Pikirannya mulai kosong, pernyataan itu membuat gadis berambut panjang, lemas sehingga terduduk di lantai. Seraya memegang handphone di depan telinganya. Perkataan Brama mampu membuat Zelin tak berdaya dan kaget. Di tengah-tengah kesuksesannya, masa dirinya harus menikah. Di tambah Zelin belum siap cemoohan fansnya.
"Aku belum siap Om ..." Jawab Zelin masih dengan nada rendah, menghormati kepada Pamannya.
Suara Brama seperti sedang membuang nafas kasar. "Tidak ada penolakan, Line ... harus menerima ini semua." Final Brama, dengan suara berat khas pria paruh baya.
Mata Zelin mulai berkaca-kaca. "Om Zelin masih mau seperti ini tanpa pasangan –" Kalimat Zelin terpotong sebab telepon tiba-tiba sudah diakhiri oleh Brama secara sepihak.
Kini kedua tangannya mulai lesu, kepalanya secara terpaksa melirik pada Lili yang sedari tadi menatapnya, dengan tatapan penuh tanda tanya. Tangan mungil Lili langsung memegang kedua pipi Zelin, matanya mulai mengeluarkan cairan bening dengan menatap Lili. Pancaran itu seperti meminta tolong pada Lili. Segera tangan lembut Lili menarik tubuh Zelin agar memeluknya. Zelin pun menangis di dekapan Lili, tangan Lili mulai menepuk-nepuk pundak Zelin agar mengeluarkan kesedihannya.
Setelah mata Zelin sudah cape mengeluarkan air bening, karena bibirnya sudah lelah dengan rasa cairan asin tersebut. "Udah lah, pelukannya ... gua udah cape nangis terus he-he-he." Zelin pun mulai menjauhkan tubuhnya dengan Zelin, tangannya mulai mengibas lembut cairan masih tersisa di daerah matanya.
Lili hanya tersenyum, melihat ketegaran yang Zelin alami. Dirinya tidak akan bertanya apa pun sampai Zelin sendiri yang menceritakan masalahnya. "Yu berdiri Ka." Ajak Lili, kemudian mengukurkan tangannya.
Zelin menerima uluran tersebut, lalu berdiri bersamaan dengan Lili. "Li kita berangkat sekarang." Kata Zelin dengan tatapan serius, tanpa mengindahkan hidung dan mata merah.
Lili pun mengangguk, kemudian mengeluarkan sandal darurat yang tersedia di tas multifungsi miliknya. "Pakai ini Ka, jangan pakai hak berdosa itu he-he-he." Kata Lili, seraya menyimpan sendal tersebut di depan Zelin.
Dengan cepat Zelin memasukkan kakinya ke dalam sendal capit biasa. "Ha-ha-ha terima kasih Lili, kau memang asisten terbaik!" Tutur Zelin sambil mengacungkan jempol.
Kaki Zelin mulai melangkah terlebih dahulu meninggalkan Lili, "Gua duluan Li." Teriaknya seraya berjalan dengan santai.
Lili pun mengacungkan jempol pertanda setuju, dirinya mengambil tas milik Zelin tepat di atas meja rias, dan meraih map yang terjatuh di atas lantai. Dengan cepat Lili berlari mengejar ketertinggalannya. Sambil menenteng tas dan Map di kedua tangannya. Lili tidak pernah menyerah dengan pekerjaannya. Sebab Zelin adalah penolong dalam hidupnya bisa digaris bawahi Zelin memiliki jasa di kehidupan Lili.
Langkah Zelin masih dengan santainya menelusuri lorong perusahaan, tanpa mengindahkan tatapan karyawan lain. Melihat sendal yang dipakai Zelin, dengan tatapan lurus mampu menilai Zelin adalah wanita sangat percaya diri. Sebab Zelin memiliki prinsip dirinya akan melakukan apa pun yang dia sukai. Bahkan pikirannya kini, memikirkan rencana untuk membatalkan perjodohannya.
Mata Udin melihat Zelin sudah hampir mendekati mobil yang sudah di parkir di depan gedung, segera tangan Udin mulai membukakan pintu untuk Zelin. Wanita tersebut begitu cepat langsung duduk di jok mobilnya. Dengan nafas terengah jelas terdengar ditelinga Udin. Pria paruh baya itu, berlari kecil menuju tempat mengemudi. Tidak butuh waktu lama Lili datang lalu berlari menuju pintu di seberang pintu Udin tadi masuk.
Setelah meliat Lili sudah duduk di sampingnya. Segera Udin melajukan mobil berwarna putih tersebut, berjalan dimalam yang gelap gulita. Sesekali melihat ke kaca spion mobil, raut wajah Zelin tidak bisa berbohong. "Ada apa gerangan Non?" Tanya Udin, pada Zelin khawatir. Dirinya sudah anggap Zelin anak sendiri, sebab selalu kasihan dengan anak yatim-piatu itu.
Zelin hanya tersenyum kecil pada pria di pantulan spion itu. "Kita ke rumah Om Brama dulu Pak." Ujar Zelin, tatapan matanya langsung mengarah keluar jendela mobil.
Udin pun mengangguk, matanya menatap Lili. Seperti bertanya lewat tatapan matanya, namun Lili hanya menaikkan bahu, mengisyaratkan bahwa dirinya tidak tahu.
**
1 jam kemudian.
Dikarenakan jarak tempat kerja Zelin, dan rumah pamannya begitu jauh memakan waktu agak lama. Setelah sampai di gerbang rumah, satpam yang sedari tadi menyadari ada Zelin mampir ke rumah bosnya. Segera membuka gerbang menjulang tinggi, mempersilahkan Zelin untuk masuk. Udin pun melajukan mobilnya, sampai di halaman rumah bernuansa klasik tersebut. Segera Zelin membuka pintu mobil sendiri, lalu berjalan ke rumah pamannya. Dengan tatapan kecewa dan marah.
Bragk.
Pintu rumah di buka secara kasar. "Om ..." Teriak Zelin di depan pintu, segera dirinya sedikit masuk ke dalam rumah.
Muncullah keponakan Zelin dari dalam rumah. "Ada apa? Datang-datang bukannya salam." Kata gadis lebih muda dari dirinya. Seraya menyilangkan kedua tangannya.
"Ini bukan urusan kau ... mana Bapak lu?" Jawab Zelin dengan nada masih netral.
Tidak lama kemudian, muncul pria paruh baya. "Mau apa ke sini? Ada perlu apa?" Ketus Brama, yang sedang berdiri di ujung sana.
"Om ... Zelin minta ... batalkan perjodohan yang Om maksud tadi." Pinta Zelin dengan nada memelas.
"Ga akan bisa, semua sudah terlanjur." Tegas Brama, sambil menatap tajam Zelin.
"Udeh terima ajeh nasib lu!" Sentak Keponakannya.
Tatapan Zelin kini mengarah pada gadis berambut pendek. "Ajeng! Jangan ikut campur urusan gua!" Murka Zelin, tatapannya kini begitu tajam.
Mendengar keributan di tengah malam, muncullah wanita paruh baya. "Eh ada Zelin, mau makan dulu?" Sapa Gladis-Bibi Zelin.
Melihat kedatangan bibinya, segera Zelin berlari ke pelukan Gladis. "Tante ... Zelin minta tolong, batalkan perjodohan itu." Rengek Zelin, sebab wanita yang selalu mendukung hanya Bibinya itu.
Tangan Gladis mulai mengelus lembut puncak kepala Zelin. "Sabar yah nak ... ini keputusan terbaik kami." Kata Gladis membuat Zelin melepaskan pelukannya.
Zelin langsung menjauh dari dekapan Gladis. "Tante ko malah bela Om?" Tanya heran Zelin.
"Halah ... mulai drama." Decak Ajeng, seraya memutarkan bola matanya.
Zelin kini menatap semua orang berada di dalam ruangan tersebut, kini tempat berlindung malah berpihak pada Pamannya. Dengan rasa kecewa Zelin langsung membalikkan badannya. Terlihat di luar ruangan Udin dan Lili menyaksikan itu semua, dengan tatapan penuh kecewa berat. Zelin mulai melangkah keluar rumah Pamannya.
Namun setelah kakinya menginjak teras luar rumah, tiba-tiba matanya membelalakkan tidak percaya begitu banyak para pria memakai jas hitam. Dan kacamata hitam, dengan tubuh kekar dan menakutkan. Zelin tidak percaya lagi dengan kejadian ini, tubuhnya terpaku seperti tidak bergerak.
"Mereka bodyguard akan menjaga kamu, sampai pernikahan selesai." Suara berat Brama begitu berat, terdengar dari belakang sana.
Bersambung ...