Sebelum dia bisa membuat keputusan, teleponnya berdering, nomor Jamie muncul di layar. Dia menjawab. "Halo?"
"Jiya..." Dia kesal. Bernafas keras. Tidak seperti Jamie, darah Jiya menjadi sedingin es. "Aku tidak tahu apakah aku harus meneleponmu, tapi—"
"Ini Andry?" Hatinya tahu. Hatinya sudah tahu sepanjang pagi. Mengapa dia tidak mendengarkan? "Ini Andry. Apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu. Dia ada di rumah sakit."
Suara menyedihkan keluar darinya, seperti seseorang menginjak mainan anak-anak. "Apakah dia baik baik saja? Apa yang terjadi? Apakah Kamu berbicara dengannya? "
"Aku berbicara dengannya. Dia terluka tapi hidup. Apakah dia baik baik saja? Aku tidak tahu. Aku tidak berpikir begitu." Dia menghela napas keras. Pintu mobil terbanting di latar belakang. "Kebahagiaannya bukan tanggung jawabmu, Jiya. Apakah Kamu mendengar aku? Tapi aku pikir Kamu ingin berada di sana—"
Support your favorite authors and translators in webnovel.com